TANGGAL 12 Februari lalu, 40 hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) diperingati di alun-alun dan pendapa Kabupaten Pati.
Acara itu dihadiri puluhan ribu orang, baik kalangan NU maupun komunitas lintas agama.
Selain sarasehan dan tahlil akbar, ditampilkan berbagai atraksi kesenian, mulai barongsasi, tong thek, marching band, wayang, baca puisi, sampai musik religi dan kontemporer, mengiringi sejumlah artis Ibu Kota.
Yang menarik, kegiatan tersebut mampu menyatukan umat dari berbagai agama dan tingkatan sosial
.
Para kiai dari berbagai kelompok yang selama ini berseberangan akibat perbedaan pandangan politik duduk bersama dalam suatu majelis. Umat nonmuslim pun berbaur menjadi satu dalam suasana damai. Sekat-sekat primordial, sosial, dan kultural larut dalam kebersamaan. Pejabat dan rakyat, santri dan kiai, semua duduk setara, melebur dalam suasana kebatinan yang sama.
Satu hal lagi yang menarik dari dari peristiwa itu adalah tingginya animo masyarakat berpartisipasi. Mereka datang, bahkan dari luar kota, tanpa dibiayai dan difasilitasi oleh siapapun, termasuk pengisi acara. Mereka datang membawa konsumsi dan menyediakan transportasi sendiri. Bahkan ada sejumlah orang mengirim makanan dan minuman.
Tidak hanya itu, beberapa perlengkapan pendukung seperti sound system, panggung dan tata lampunya, datang sendiri. Artinya panitia tidak menyewa tetapi pemilik secara sukarela meminjamkan. Fenomena ini menarik dicermati karena terjadi di tengah kuatnya arus pragmatisme yang menghinggapi masyarakat kita.
Runtuhnya Mitos
Acara matang puluh-nya Gus Dur merupakan bukti runtuhnya mitos pragmatisme dan materialisme masyarakat. Selama ini ada asumsi kuat bahwa massa hanya bisa dimobilisasi jika ada dana dan imbalan konkret, seperti uang transpor atau berbagai fasilitas lainnya.
Di sini terlihat bahwa sebenarnya masyarakat kita masih memiliki kesadaran berkorban. Artinya, ruang batin mereka masih menyisakan tempat bersemayannya keikhlasan dan kesediaan berkorban yang tidak bisa ditukar dan diukur dengan uang atau materi.
Dalam perspektif Pierre Bourdieu hal ini disebut sebagai cultural capital. Suatu kapital atau modal yang diperoleh dari suatu proses sosial yang panjang yang akhirnya menempel pada diri seseorang (embodied).
Dalam pandangan Bourdieu, kapital tidak hanya terbatas pada aspek material dari kehidupan, tetapi juga menyangkut aspek imaterial. Dalam bukunya The Form of Capital (1986) Bourdieu membaginya dalam empat: kapital ekonomi, sosial, budaya, dan kapital simbolik.
Kapital ekonomi adalah tingkat kepemilikan agen atas kekayaan dan pendapatan. Kapital sosial adalah jaringan sosial yang memudahkan agen untuk mengakumulasi bentuk-bentuk kapital lainnya.
Kapital budaya adalah kepemilikan agen atas benda-benda yang memiliki prestise tinggi, keterampilan, dan pengetahuan yang diakui oleh otoritas resmi (termasuk sistem nilai) dan gaya hidup yang merupakan wujud dari posisi objektif agen.
Kapital simbolik adalah aneka simbol budaya yang dapat memberikan legitimasi atas posisi, cara pandang, dan tindakan sosial agen.
Dilihat dari perspektif Bourdieu, komunitas NU adalah kelompok ; marginal dan miskin kapital ekonomi tetapi kaya ; kapital sosial, kultural, dan simbolik.
Sayangnya elite NU belum bisa mendayagunakan kekayaan kapital nonekonomi tersebut secara efektif dan maksimal. Secara sadar atau tidak, elite NU sering menghambur-hamburkan berbagai kapital dan membelanjakannya secara murah.
Hal ini terlihat nyata pada pertarungan di ranah politik praktis yang dilakukan sebagian elite. Penghamburan kapital ini secara perlahan menggerogoti berbagai kapital sehingga terjadi defisit. Defisit kapital sosial yang dimiliki NU terlihat dari berkurangnya jaringan sosial.
Defisit kapital kultural terlihat munculnya fenomena pragmatisme yang mengalahkan kohesivitas sosial dan luruhnya karisma para kiai sebagai elite NU. Sedangkan defisit kapital simbolik ditandai dengan absennya simbol NU dalam berbagai gerakan sosial atau luruhnya kekuatan NU dalam membangun simbol sosial.
Acara matang puluh itu menyentakkan kesadaran kita sebagai warga NU, bahwa sebenarnya potensi kapital masih sangat besar. Artinya meski defisit belum sampai pada situasi bangkrut. Pertarungan politik praktis yang mengobral berbagai kapital telah melahirkan kecerdikan sikap sosial di kalangan warga nahdliyyin. Mereka mulai bisa melihat dan membedakan antara sikap politik dan kultural.
Berbagai pengalaman politik mengajarkan mereka untuk membelanjakan kapital secara efektif dan efisien. Ketika menghadapi pertarungan politik yang pragmatis maka rakyat bersikap pragmatis, mereka menuntut imbalan material, konkret, dan langsung. Sikap inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi terlihat pragmatis dan materialistis.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menggerakkan dan mengaktualisasikan berbagai kapital yang dimiliki NU di antaranya kejujuran dan keikhlasan para pemimpin. Kalau pemimpin NU mampu meyakinkan masyarakat bahwa apa yang dilakukan adalah berdasarkan sikap ikhlas dan jujur maka masyarakat sukarela menyerahkan seluruh potensinya untuk mendukung dan berpartisipasi.
Kenampakan di alun-alun dan pendapa Kabupaten Pati itu menunjukkan bahwa massa berkumpul bukan oleh faktor eksternal (imbalan, fasilitas, atau aktor lain di luar dirinya), melainkan didorong dari dalam diri setiap aktor yang memiliki kesadaran bersama sehingga terbentuk kohesivitas sosial yang akhirnya menjadi sebuah gerakan.
Hal ini bisa terjadi karena masyarakat yakin bahwa kegiatan itu ditangani oleh orang-orang yang jujur dan ikhlas. Mereka percaya bahwa kegiatan itu tidak untuk kepentingan politik praktis yang sempit dan sesaat. Masyarakat yakin ada dimensi spiritual yang transendental yang bisa diperoleh saat berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Proses transendensi ini untuk melawan fenomena profanisasi di sebagian kalangan NU, yaitu proses penduniaan berbagai hal yang mestinya transendental. Misalnya berbagai tradisi dan ritual seperti istighotsah, silaturahmi, haul, dan sebagainya yang saat ini menjadi profan karena sarat dengan kepentingan duniawi.
Karena ditarik pada tataran yang profan maka masyarakat pun menyikapinya secara profan, dan wajar bila mereka menuntut imbalan konkret, tunai sekalipun. Sebaliknya dalam peristiwa matang puluh Gus Dur, panitia dan tokoh NU di Pati mampu mengembalikan proses transendensi tersebut sehingga bisa menggerakkan dan mengembalikan berbagai kapital yang dimiliki oleh jam’iyyah NU.
Selain komitmen pada nilai keikhlasan dan kejujuran serta adanya proses transendensi, hal penting yang diperlukan untuk menggerakkan kapital warga NU adalah simbol dan momentum yang tepat. Di sini Gus Dur telah menjadi kapital simbolik bagi jam’iyyah NU. Apa yang dilakukan Gus Dur telah mengubah citra komunitas NU dari kaum sarungan tradisional, kampungan, dan kolot menjadi komunitas modern, kritis, dan transformatif.
Perubahan citra ini menjadi kapital sosial yang tidak saja menaikkan posisi tawar NU di hadapan kelompok lain, tetapi bisa menjadi alat akumulasi kapital sosial, sehingga relasi NU dengan kominitas lain semakin kaya dan beragam. Namun kembali lagi, kapital simbolik ini belum bisa didayagunakan dan digerakkan secara maksimal, Perlu ada momentum yang tepat untuk bisa menggerakkan kapital simbolik tersebut.
Di sini, peringatan wafatnya Gus Dur menjadi momentum yang tepat karena melahirkan berbagai event yang mampu menggerakkan dan mengaktualisasikan berbagai kapital: sosial, kultural, dan simbolik, yang dimiliki warga NU. (10)
— Al-Zastrouw Ng, Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) NU, alumnus S3 Sosiologi
Wacana Suara Merdeka 23 Februari 2010