Oleh Roni Tabroni
Bagi saya, menentukan kandidat kepala daerah yang didasarkan atas bacaan elite politik saja sudah tidak zaman lagi. Sebagai pemegang otoritas dalam penentuan siapa yang akan diusung dalam pencalonan kepala daerah, elite partai politik tidak serta merta menjadi pihak yang paling tahu siapa yang akan dipilih oleh masyarakat. Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) langsung ini sejak awal memberikan isyarat bahwa siapa pun yang ditawarkan harus berbasis pada aspirasi masyarakat.
Paradigma ini yang sebaiknya menjadi acuan saat ini siapa orang yang pantas menjadi kandidat kepala daerah. Partai politik kita hanya melakukan pertimbangan akhir dan verifikasi normatif terhadap kandidat. Akan tetapi, siapa yang akan diusung oleh partai politik maka yang harus ditanya adalah masyarakat. Mengapa masyarakat, sebab yang akan memilih itu masyarakat, sedangkan pengurus partai politik itu dapat dihitung jari. Bahkan mungkin saja, dalam faktanya, elite partai politik tidak memilih kandidat yang diusung oleh partainya dengan berbagai alasan.
Bagi saya, menentukan kandidat kepala daerah yang didasarkan atas bacaan elite politik saja sudah tidak zaman lagi. Sebagai pemegang otoritas dalam penentuan siapa yang akan diusung dalam pencalonan kepala daerah, elite partai politik tidak serta merta menjadi pihak yang paling tahu siapa yang akan dipilih oleh masyarakat. Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) langsung ini sejak awal memberikan isyarat bahwa siapa pun yang ditawarkan harus berbasis pada aspirasi masyarakat.
Paradigma ini yang sebaiknya menjadi acuan saat ini siapa orang yang pantas menjadi kandidat kepala daerah. Partai politik kita hanya melakukan pertimbangan akhir dan verifikasi normatif terhadap kandidat. Akan tetapi, siapa yang akan diusung oleh partai politik maka yang harus ditanya adalah masyarakat. Mengapa masyarakat, sebab yang akan memilih itu masyarakat, sedangkan pengurus partai politik itu dapat dihitung jari. Bahkan mungkin saja, dalam faktanya, elite partai politik tidak memilih kandidat yang diusung oleh partainya dengan berbagai alasan.
Jika melakukan riset terlalu sulit dan memerlukan biaya relatif besar, saya kira elite partai atau siapa pun yang berkepentingan saat ini dapat menggunakan media sosial seperti Facebook dan Twitter sebagai media untuk mengetahui aspirasi masyarakat. Tentu media sosial bukan segalanya dalam menentukan kandidat kepala daerah. Hanya sebagai bagian dari lintasan sejarah, baik dalam sekala global maupun lokal, Facebook dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, termasuk kepentingan politik.
Peringkat pengguna media sosial angkanya terus meningkat seiring dengan perkembangan zaman serta semakin murah dan mudahnya melakukan akses internet, khususnya di fitur-fitur tertentu seperti media sosial yang ditawarkan di berbagai fasilitas telefon genggam. Oleh karena itu, paling tidak media sosial yang mengubah cara pandang politik dari top down menjadi bottom up ini dalam konteks pemilukada langsung dapat dimanfaatkan sekurang-kurangnya dalam tiga sektor – yang pada praksisnya dapat berkembang sesuai dengan kepentingan politik di lapangan.
Pertama, tahap rekrutmen awal. Untuk menentukan siapa yang akan direkomendasi partai politik, masyarakat sebaiknya dipinta masukan oleh partai tentang siapa-siapa saja yang layak diusung menjadi kandidat kepala daerah. Sebab sering kali aspirasi elite politik, khususnya dalam menentukan kandidat, tidak nyambung dengan keinginan masyarakat, sehingga jika ini terjadi pada setiap partai politik, masyarakat akan melakukan pemilihan dengan sangat terpaksa.
Kedua, tahap pemantapan. Sebelum penetapan pasangan calon kepala daerah, sebaiknya partai politik melakukan pendataan dan mengembalikan kepada publik. Jika dari data yang ada lebih dari dua, maka sangat penting mengetahui siapa pasangan versi publik yang selayaknya menjadi pertimbangan partai. Keputusan akhir tentu ada di meja partai, tetapi kandidat-kandidat versi publik ini perlu didengar yang mungkin memiliki argumentasi tidak kalah pentingnya.
Ketiga, tahap kampanye. Menyapa publik tidak selamanya harus melalui berkunjung langsung secara fisik. Kini masyarakat sosial sudah berada dalam dunia maya. Mereka berjejaring dan melakukan pertemanan secara massal. Posisi mereka sangat penting disentuh melalui ruang maya atau media sosial sebab sering kali mereka absen dalam ruang nyata, baik di lapangan maupun gedung-gedung tempat di mana kandidat berorasi dan menyampaikan visi misi.
Keberadaan media sosial seperti Facebook tentu saja tidak kemudian menafikan media mainstream. Posisi media pada umumnya sama pentingnya, hanya media sosial semakin signifikan ketika keberadaannya dapat menggantikan ruang fisik yang dapat menyatukan publik tanpa sekat. Keberadaannya yang interaktif sangat memungkinkan setiap orang melakukan dialog secara sehat.
Di samping efek negatif, sesungguhnya media sosial menyimpan potensi besar untuk sebuah kepentingan politik, ini pula yang memberikan kontribusi besar pada Obama.
Sekali lagi, Facebook memang bukan sesuatu yang final sebab hari ini masyarakat masih euforia sehingga tidak sepenuhnya digunakan untuk hal positif. Namun sebagai bagian dari fakta zaman, Facebook sangat strategis untuk dijadikan instrumen dalam pemilukada langsung. Facebook bukan lagi hanya sebagai media narsisme politik, tetapi sebagai media untuk menampung aspirasi masyarakat melalui mekanisme bottom up.
Ini pun berlaku bagi calon perseorangan. Jangan kemudian membangun ironisme baru dengan adanya fenomena parpol mengusung calon perseorangan, atau calon perseorangan hanya dicalonkan berdasarkan asumsi kemenangan dari elite ormas atau elite masyarakat tertentu. Padahal, elite ormas pun jumlahnya tidak banyak, syukur-syukur kalau memang elite itu merakyat, tetapi bagaimana kalau posisinya menggantung artinya tanpa basis massa yang jelas. Maka yang dilakukannya adalah politik klaim tanpa pemilih yang jelas. Lagi-lagi, sebagai mekanisme penyaringan aspirasi masyarakat, media sosial seperti Facebook dan teman-temannya dapat dijadikan alat bukan saja oleh partai politik tetapi juga oleh kelompok nonpartai yang akan mengusung calon perseorangan dalam pemilukada langsung ini.***
Penulis, mahasiswa Komunikasi Pascasarjana Unisba, Pengurus Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Jawa Barat dan pengasuh Kampung Belajar (www.kampungbelajar.com).
Opini Pikiran Rakyat 23 Februari 2010