Beberapa hari lalu, saya bersua seorang sahabat, anggota DPR baru. Ia kebingungan karena disambangi birokrat menengah—lengkap dengan disposisi dari atasannya— yang menanyakan dua hal penting: sumber data yang menjadi dasar bagi komentarnya terkait utang Indonesia yang semakin membengkak setahun terakhir; dan apa yang dimauinya dengan komentar negatif seperti itu.
Dengan lugu ia menjawab, sumber data berasal dari berbagai dokumen resmi, dan bahkan secara naïf menunjukkan dokumennya. Sementara untuk pertanyaan kedua, dengan sederhana dijawabnya agar pemerintah bekerja lebih serius lagi. Sahabat saya bertanya lugu, apa yang salah dengannya sehingga birokrat itu mendatanginya? Ia tampaknya percaya yang sedang dihadapinya peristiwa individual.
Jauh sebelumnya, tetapi di bawah rezim yang sama, sahabat lain berkisah tentang undangan sebagai komentator di sebuah TV swasta. Ia diminta tidak memberikan komentar terkait presiden. Ketika dia menolak, acara dibatalkan. Sahabat karib lain yang lantang, bahkan sejak Orde Baru, menceritakan pengalamannya dipanggil dan diperingatkan atasannya atas komentar dan tulisan-tulisannya.
Dengan bijak atasan karib saya meminta agar ia menahan diri. Alasannya sederhana, ia ditelepon dan dikirimi faksimile media yang memuat komentar karib saya oleh seorang petinggi di pusat pengambilan keputusan. Bahkan, secara tersamar sang petinggi mengindikasikan ancaman pengurangan budget dari negara.
Sahabat yang lain mengirimkan SMS sederhana yang menjelaskan pilihannya untuk melawan salah satu pasangan kandidat presiden-wakil presiden selama pemilihan presiden. Ia menyatakan, rangkaian respons dari kubu sang kandidat menyusul kritik menggelitik Butet Kartaredjasa dalam sebuah acara semakin meyakinkan dia untuk aktif menyatakan ”tidak” pada pasangan kandidat tersebut.
Kisah-kisah sejenis silih berganti dikeluhkan teman-teman media dalam berbagai obrolan ringan. Namun, sialnya, saya tidak menyediakan cukup waktu dan perhatian untuk memverifikasi. Sekalipun demikian, Jusuf Kalla (JK) dalam salah satu debat antarkandidat presiden memberikan hints yang meyakinkan, kisah di atas bukan fiksi. JK berbilang lantang tak akan pernah menelepon redaksi media massa.
Dan kini, mencuatnya kisah sejenis menyusul pengakuan sejumlah anggota Tim Pansus Bank Century semakin memperjelas bekerjanya metode di atas. Apalagi, rencana pengendalian informasi lewat rancangan peraturan pemerintah yang sedang disiapkan salah satu kementerian ikut diperhitungkan.
Beberapa bulan yang lalu sahabat lain berkisah tentang pilihan ”madu” dan ”racun”—koalisi dan bui—yang ditangkapnya secara jelas selama proses keras ke arah pembentukan koalisi kabinet. Pilihan dilematis sejenis bukan hal istimewa. Saya begitu sering mendengar keluhan sejumlah bupati/wali kota yang kebetulan saya kenal tentang hal yang sama. Sementara dua minggu yang lalu, sahabat saya yang berada di lingkaran kekuasaan bercerita bahwa ia dan timnya menerima foto yang tidak layak dari salah seorang yang bersuara lantang kepada penguasa yang dikirim orang tidak dikenal. Namun, dengan bangga ia menyatakan, dia tidak pernah menggunakannya untuk tujuan politik.
Sama seperti reaksi sahabat dalam kisah pertama, impresi umum yang saya dapatkan dari para sahabat atas berbagai kisah di atas hampir seragam: mereka mengira ini soal individu, soal pribadi seorang pemimpin, serta soal kepengecutan atasan mereka dan media. Tidak satu pun membayangkan kesemuanya sebagai watak sistemik dari sebuah rezim yang sedang mengonsolidasi diri.
Dua minggu yang lalu, saya bertemu dengan sahabat yang lain dalam sebuah acara sosial. Ia kebetulan berada di lingkaran kekuasaan. Dalam pembicaraan serba ringan banyak hal digosipkan. Akan tetapi, salah satu yang mengagumkan adalah kesimpulan besar yang diberikannya: rangkaian amandemen konstitusi kita memiliki corak politis yang serupa, yakni memangkas kekuasaan lembaga kepresidenan yang membikin sistem presidensial tidak memiliki topangan konstitusi yang memadai.
Kesimpulan ini bisa dipastikan merupakan refleksi dari keyakinan Presiden dan para pembantunya. Kesimpulan ini berangkat dari fakta sederhana: beberapa bulan yang lalu Tim Penasihat Presiden mengundang ahli, termasuk dari berbagai perguruan tinggi untuk mengkaji rencana amendemen konstitusi berikutnya. Tujuannya cukup sederhana: mengukuhkan kembali kekuasaan konstitusional presiden secara lebih solid yang diandaikan sebagai sumber malapetaka rendahnya kapasitas governability presiden. Karena saya memutuskan tidak menghadiri acara ini sekalipun diminta oleh dekan, saya tak sempat menyampaikan pandangan bahwa kewajiban pokok presiden adalah melaksanakan konstitusi, bukan mengubahnya.
Defisit kekuasaan sebagai argumen pembenar ketidakefektifan kepemimpinan bukan monopoli presiden dan orang di sekitarnya. Dalam berbagai forum pertemuan gubernur, dan dalam sejumlah pertemuan saya dengan individual gubernur, saya selalu mendengar kisah yang sangat tipikal: gubernur dihadapkan pada defisit kekuasaan yang sangat besar sehingga gagal bahkan sekadar menghadirkan bupati dalam rapat-rapat koordinasi.
Salah satu motif di balik rencana perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terkait dengan kehendak untuk mengonsolidasi kembali kekuasaan gubernur sebagai perpanjangan tangan presiden. Sesuatu yang pernah ditanyakan salah seorang mantan menteri dalam pertemuan dengan saya beberapa bulan lalu.
Namun, di ranah demos, kisah-kisah sebaliknya justru bermunculan. Kisah partai yang telah beranak pinak, dan bahkan bercucu dan bercicit sudah sangat gamblang disajikan media massa di samping kisah rutin pertengkaran internal. Namun, yang tak kalah serunya adalah kisah perpisahan dan perpecahan dunia gerakan dan masyarakat sipil. Saya sering dikirimi SMS oleh banyak sahabat aktivis. Salah satu yang mencengangkan menceritakan kecurigaan pengirim SMS atas ”siapa Bendera” —yang aktivisnya kini sedang dihadapkan pada persoalan hukum—berikut motif dan kekuatan di baliknya.
Pembilahan politik dan kekuatan masyarakat sipil ke dalam sekat-sekat kategoris tertentu memang adalah nature-nya Indonesia. Boeke berkisah tentang dual economy lebih dari seratus tahun lalu. Furnivall berkisah tentang fragmented society, bahkan sebelum kita merdeka. Geerzt mendeskripsikan pembilahan Santri-Abangan-Priayi yang sudah jadi legenda. Feith membentang peta aliran yang lebih rumit dengan mengombinasikan ideologi (kanan-kiri) dan pengaruh Barat dan budaya lokal (Jawa) yang diproyeksikan melalui partai-partai.
Sifat alamiah masyarakat di atas mengalami distorsi cepat. Orba memanipulasi dan memperdalam fragmentasi melalui konsep sederhana, tetapi mematikan: SARA berikut EKI (Ekstrem Kiri), EKA (Ekstrem Kanan), dan bahkan Ekstrem Tengah. Modus Orba telah memudar. Akan tetapi, substansinya terus bertahan: negara memfasilitasi pembilahan dan fragmentasi masyarakat secara konstan.
Lihat saja fenomena konsolidasi kelompok dan pemaksaan tersistem untuk menjadi ”lawan” atau ”kawan” yang akhir- akhir ini semakin intensif. Energi bangsa sedang dibelah dan dikuras secara sistematis. Sialnya, bukan untuk menghasilkan Indonesia yang lebih baik, tetapi sebatas mempertegas siapa kawan, siapa lawan.
Apa arti berbagai kisah di atas? Penafsiran bisa bervariasi. Namun, jika sejarah diri sendiri bisa dipercaya, kesimpulannya cukup sederhana: rezim sedang mengonsolidasi diri melalui metode stick and carrot. Hanya saja pilihan pendekatan berbeda dengan masa lalu. Keduanya bekerja di bawah permukaan dan menghindarkan diri dari tindakan mengoyak formalisme demokrasi. Bahkan lebih lagi, kedua metode yang ada bekerja dalam balutan nilai yang sangat diimpikan setiap anak negeri: demokrasi dan pemerintahan yang bersih.
Tujuannya pun setali-tiga-uang, menciptakan kepatuhan pada kekuasaan guna melicinkan jalan bagi kontrol dan pengawetan rezim. Sudah tentu, pencapaiannya masih jauh dari tujuan yang ingin dicapai. Benih-benih perlawanan masih berserakan di sana sini.
Namun, sifat kerjanya yang masif dan konsisten, daya rambahnya yang sedemikian luas, area kerjanya yang semakin bervariasi, dan daya persuasinya lewat kendali atas wacana publik yang sedemikian luar biasa boleh jadi akan mengantarkan kita memasuki gerbang baru Indonesia: otoritarianisme lunak. Atau jangan- jangan kesimpulan ini terlampau mengada-ada karena masing-masing kisah di atas sekadar bercerita tentang dirinya masing-masing.
Opini Kompas 23 Februari 2010