22 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Sembilan Pedoman Politik Warga NU

Sembilan Pedoman Politik Warga NU

Selain memayungi wadah ekonomi, LAZIS (Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah), pendidikan, thoriqoh, kebudayaan, dan pesantren, dan lain-lain, payung besar yang bernama Nahdlatul Ulama (NU) juga mengarahkan warganya, Nahdliyyin wa Nahdliyyat dalam pandangan dan sikap politiknya (siyasah) yang telah disusun para founding fathers NU.


NU memang sulit dipisahkan dari dunia atau panggung politik, karena ormas terbesar di Indonesia ini bahkan internasional sudah puluhan tahun berkutat di dalamnya. Namun berpolitik, menurut (NU) memiliki tujuan dan kriteria tersendiri, bukan dilakukan dengan menghalalkan segala cara hanya sekedar untuk meraih kursi empuk kekuasaan saja.

Belum hilang dari ingatan kita, sejarah akbar Muktamar NU (forum tertinggi dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama diselenggarakan oleh PB NU sekali dalam lima tahun) di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta yang ke-28, pada 25-28 November 1989.

Dalam muktamar tersebut dirumuskan ”Sembilan Pedoman Politik Warga NU”, yaitu garis-garis pedoman untuk melangkah bagi kaum Nahdliyyin wa Nahdliyyat yang menerjuni panggung politik (H. Soeleiman Fadeli & M. Subhan, Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah; 2007).

Kesembilan pedoman politik tersebut adalah: Berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantisa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Politik bagi NU adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

Haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Harus dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.

Dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan Ahlus sunnah Waijamaah. Dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.

Perbedaan pandangan diantara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap menjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.

Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk rnenciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta partisipasi dalam pembangunan.

Dengan ”kitab suci’’ politik NU ini akan mengingatkan kita dan sikap bersikap hati-hati dan tengah-tengah (tawassuth), sebab mengingat dalam itungan bulan sebentar lagi keluarga besar Provinsi Jawa Tengah dan beberapa kota/kabupaten akan mengadakan pesta demokrasi pemilihan wali kota dan wakil wali kota dan bupati dan wakil bupati untuk periode lima tahun ke depan.

Mari bersama-sama, wabil khusus poro Kyai-Kyai di dewan Syuriah dan Tanfidziyah dan di pesantren harus mengawal ini dari tingkatan Wilayah hingga KAR (Kelompok Anak Ranting).

NU seyogianya semakin teguh kembali pada posisi awalnya sebagai organisasi sosial keagamaan yang mengembangkan tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Lebih dari itu, NU harus kembali menjadi bagian dari kekuatan civil society. Ingat, Khittah 1926 dan Keputusan Muktamar NU ke-30 dan ke-31 di Kediri dan Donohudan Solo.

Akhmad Syarief Kurniawan,
Jamaah Pengajian Ahad Wage
dan Malam Ahad Kliwon
PW NU DIY
Wacana Suara Merdeka 23 Februari 2010