Oleh Rofi' Munawar
(Anggota Komisi IV DPR RI)
Kedaulatan secara sederhana bisa diartikan sebagai sebuah hak eksklusif penguasaan serta pengendalian penuh terhadap sebuah wilayah yang telah jelas batas-batasnya, baik secara politik maupun sosial. Kedaulatan memang lebih punya nuansa titik tekan politik, walaupun ia dapat dipakai dalam konteks pangan untuk mendefinisikan kemampuan sebuah negara secara mandiri memproduksi, memenuhi, serta mendistribusi kebutuhan komoditas-komoditas pangan nasional tanpa bergantung pada negara lain.
Bila membincangkan tentang pangan, kita tidak hanya bicara tentang beras atau makanan pokok, spektrum pangan sangatlah luas, ketika Presiden SBY mengumumkan 15 program pilihan untuk 100 hari pemerintahannya pada awal November 2008, beliau tidak lupa memasukkan peningkatan produksi dan ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas kerja.
Presiden menjelaskan akan membuat sebuah rencana induk yang implementatif agar produktivitas pangan meningkat. Contoh yang Presiden berikan terhadap pangan juga tidak melulu beras, namun beliau mengharapkan pencapaian komoditas yang dalam 5 tahun pemerintahan sebelumnya tidak tercapai, seperti daging sapi, kedelai, gula, serta pemenuhan faktor-faktor pendukung semisal irigasi, pupuk, hasil-hasil riset, dan subsidi khusus bunga bagi petani.
Konsep Indonesia dalam melihat pangan saat ini lebih pada ketahanan pangan yang menekankan akses semua orang terhadap pangan di setiap waktu, tidak memandang di mana pangan itu diproduksi dan dengan cara bagaimana (World Food Summit, 1996). Sehingga, kebijakan impor untuk memenuhi kebutuhan domestik menjadi keniscayaan, ketika industri gula nasional tidak dapat memenuhi permintaan pasar, misalnya kebijakan impor gula kristal putih sebanyak 500.000 ton yang dilakukan oleh pemerintah mulai 1 Januari-15 April 2010.
Mata Rantai
Untuk menciptakan kedaulatan pangan, butuh rantai panjang yang saling terkait, salah satu mata rantai penting dalam menciptakan kedaulatan pangan adalah Bulog. Voeding Middelen Fonds (VMF)--lembaga pangan yang didirikan tahun 1939 oleh Pemerintah Belanda saat masih menjajah Indonesia--merupakan cikal bakal Bulog yang resmi berdiri tahun 1967.
Bila menilik fakta ini sebenarnya Bulog merupakan lembaga yang sudah memiliki sejarah panjang. Bulog pada era 1970-an tidak hanya bertugas menjaga stabilitas harga beras, tetapi juga beberapa komoditas pangan lainnya, seperti gula pasir, terigu, daging, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, bahkan menjaga stabilitas harga telur dan ayam saat momen khusus seperti hari raya atau tahun baru.
Fokus organisasi serta kegiatan prioritas Bulog saat ini jelas berubah. Menurut UU Nomor 19 Tahun 2003, secara status hukum Bulog yang awalnya Lembaga Pemerintah Non-Departemen diubah menjadi BUMN. Ini, tentu saja membawa konsekuensi perlunya perubahan organisasi, sistem manajemen, serta pengelolaan dan paradigma SDM. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 serta Instruksi Presiden tentang kebijakan perberasan nasional menegaskan tugas penyelenggaraan usaha logistik pangan pokok yang diemban oleh Bulog dititikberatkan pada komoditas beras.
Bulog pada APBN-Perubahan di bulan Februari pada tahun anggaran 2010 direncanakan akan mengelola Rp 13,1 triliun dana PSO (Public Service Obligation), di mana akan menyalurkan beras miskin kepada 17,4 juta rumah tangga sasaran. Pembelian atau pengadaan yang dilakukan Bulog selama ini rata-rata mencapai sekitar 6-9 persen dari total produksi beras nasional, terbesar di antara firm yang ada di dalam industri padi atau beras nasional.
Kekuatan Bulog sebenarnya terletak pada alur distribusinya, yakni memiliki 26 Divisi Regional (Divre) yang tersebar di tingkat provinsi. Divre ini membawahkan 130 subdivre/kansilog yang tersebar di tingkat kabupaten. Bulog juga memiliki gudang sebanyak 1.575 unit dengan total kapasitas 3,9 juta ton beras, selain itu terdapat 131 Unit Pengolahan Gabah-Beras (UPGB) di wilayah-wilayah surplus padi.
Namun, kinerja Bulog bukan tanpa catatan buruk. Mekanisme penyaluran Bulog sangat amburadul, selain sering terjadi pungutan dengan alasan mengganti biaya transpor, penerima raskin sering kali menerima kuota beras yang tidak mencapai 15 kg ditambah lagi kualitas beras yang buruk. Bahkan, di suatu tempat ditemui gudang Bulog berubah fungsi menjadi lapangan olah raga futsal sebagaimana yang terjadi di Palembang, Sumatra Selatan. Di tengah banyaknya catatan terhadap kinerja Bulog, kondisi pangan nasional, khususnya beberapa komoditas, sering kali mengalami kerentanan fluktuasi, baik secara stok ataupun harga, sebut saja gula pasir, minyak goreng, kedelai, dan jagung.
Bulog hendaknya mulai mentransformasi gudang-gudang penyimpanannya menjadi gudang-gudang modern yang dapat menyimpan gabah kering serta beras dalam jangka waktu 1 tahun tanpa mengalami penurunan kualitas. Karena, saat ini gabah kering atau beras yang disimpan di gudang-gudang Bulog sering kali mengalami penurunan kualitas yang jauh di atas standar pemakaian setelah disimpan lebih dari enam bulan. Sehingga, sering kali rakyat miskin menerima beras subsidi dalam keadaan yang tidak layak untuk diolah lagi.
Bulog sepertinya perlu mempertimbangkan pemberlakukan sistem sertifikasi terhadap cabang-cabang divisi regional, sehingga pelayanan yang didapatkan oleh masyarakat, baik oleh petani ketika mereka menjual gabah atau berasnya maupun penerima beras raskin, memiliki standar pelayanan yang baik dan seragam. Bila sebuah cabang divisi regional tidak dapat memenuhi standar sertifikasi, cabang tersebut dapat ditutup sementara sampai adanya perbaikan dan pemenuhan standar.
Lembaga sertifikasi bisa dilakukan oleh lembaga independen atau diserahkan kepada sebuah departemen, misalnya departemen pertanian. Reformasi birokrasi besar-besaran, khususnya terhadap para pejabat Bulog, perlu juga segera dilakukan, jangan ragu melakukan rotasi dan penggantian atau pencopotan kepada kepala-kepala divre yang dipandang melakukan penyimpangan dan pelanggaran.
Opini Republika 22 Februari 2010
22 Februari 2010
Bulog dan Kedaulatan Pangan
Thank You!