22 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Pansus dan Stabilitas Pemerintahan

Pansus dan Stabilitas Pemerintahan

Skandal Bank Century bukan sesuatu yang patut dikompromikan. Juga bukan persoalan kalah-menang melainkan salah atau benar

REKOMENDASI Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR untuk skandal Bank Century kepada paripurna DPR akan menjadi faktor penentu bagi banyak hal dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita lima tahun ke depan.


Jika terbukti Pansus masuk angin sehingga rekomendasinya tumpul, popularitas pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono  (SBY) dan DPR sama-sama anjlok, stabilitas nasional rapuh, dan efektivitas pemerintahan akan ambruk ke titik rendah.

Sebaliknya, jika rekomendasi itu merefleksikan sikap Pansus yang tetap tegar, fokus, dan konsisten, banyak hal bisa diselesaikan dan keadaan akan makin kondusif. Kredibilitas pemerintahan SBY dan DPR sama-sama terangkat, karena eksekutif dan legislatif sama-sama mengedepankan kebenaran, tidak membohongi rakyat.

Pertemuan antarfraksi dan lobi-lobi yang berlangsung sepanjang pekan lalu sudah terlanjur diterjemahkan bahwa Pansus masuk angin.
Apalagi, sudah didahului isu reshuffle kabinet, memburu pelanggar pajak, serta langkah penegak hukum mengungkap dan menjaring sejumlah politikus bermasalah.

Sementara di luar gedung wakil rakyat, baik di Jakarta maupun di banyak daerah, rakyat menunggu dan terus mengamati gerak-gerik Pansus berikut anggotanya. Rakyat tahu ada lobi-lobi yang dilakukan sejumlah utusan dari istana presiden kepada semua fraksi di DPR, termasuk lobi kepada para unsur pimpinan parpol. 

Para politikus boleh saja mengklaim lobi-lobi itu bertujuan menyamakan persepsi atau klarifikasi atas temuan baru, tetapi rakyat yakin bahwa tujuannya tak lain kecuali menumpulkan sikap kritis Pansus DPR.

Publik sesungguhnya sudah tidak bersimpati menyimak lobi-lobi oleh orang dekat Presiden SBY atau pewacanaan isu reshuffle. Bisa diperkirakan seperti apa citra Presiden jika rekomendasi kepada Paripurna DPR mencerminkan Pansus yang sudah lumpuh.

Di benak publik otomatis akan terbentuk opini bahwa pemerintah berhasil memaksa Pansus Hak Angket DPR untuk berbohong.kepada rakyat. Artinya, pemerintah pun telah ikut berbohong untuk menutup-nutupi kesalahannya.

Kalau pemerintah telah dicitrakan berbohong, ia itu tidak kredibel lagi. Kepercayaan rakyat merosot. Tentu akan melahirkan ekses, yang pada gilirannya bisa mengganggu stabilitas nasional. Kalau instabilitas itu berlarut-larut, efektivitas pemerintahan SBY sepanjang lima tahun ke depan akan sangat rendah. Pemerintah pasti lebih disibukkan urusan membangun komunikasi atau lobi dengan berbagai elemen masyarakat untuk membangun saling pengertian alias berhenti meributkan kasus Bank Century.

DPR pun tak akan lolos dari kecaman publik. Kebohongan yang dilakukan Pansus akan menurunkan martabat wakil rakyat di mata rakyat. Rakyat merasa tak ada lagi alasan untuk memercayai DPR. Kalau ketidakpercayaan atau kemarahan rakyat memuncak, beralasan bagi kita untuk membayangkan aksi rakyat menduduki gedung DPR, seperti yang dilakukan mahasiswa pada 1998.

Berkembang Jauh

Karena itu, pemerintah diharapkan mau menahan diri, dan membiarkan Pansus Hak Angket DPR independen. Kita boleh menduga bahwa Presiden ingin menjaga pemerintahannya stabil. Semangat itu kita apresiasi. Tetapi situasinya sudah berkembang sedemikian jauh, tak seideal yang diasumsikan. Kepercayaan terhadap satu-dua pembantu Presiden sudah mencapai titik terendah.

Dengan demikian, strategi melumpuhkan Pansus Hak Angket DPR untuk tidak meminta pertanggungjawaban dari para pejabat itu juastru bisa menjadi bumerang bagi pemerintah. Bahkan, pemerintah bisa dinilai menghalalkan segala cara untuk menjaga stabilitas pemerintahannya.

Kalau kecenderungan itu dipaksakan, sama artinya menjadikan Pansus Hak Angket DPR sebagai  faktor destruktif. Menjadi keharusan bagi DPR dan elite parpol untuk menolak dijadikan unsur perusak. Sebab, sama artinya bagi parpol melakukan bunuh diri.

Adalah hak pemerintah untuk melobi DPR berikut parpol-parpol agar Pansus tidak terlalu galak. Hal biasa juga jika pemerintah mengajak DPR berkompromi. Sebab, demikianlah lazimnya politik dalam konteks interaksi pemerintah dan parlemen.

Tetapi jika persoalannya sudah memasuki area kewajiban DPR untuk menyatakan sebuah kebijakan itu salah atau benar, baik DPR maupun pemerintah sendiri tidak boleh gegabah. Kedua belah pihak harus berjiwa besar dan bijaksana, menjadi negarawan sejati. Skandal Bank Century bukan sesuatu yang patut dikompromikan. Juga bukan persoalan kalah-menang, melainkan persoalan salah atau benar.

Untuk skandal Bank Century, pemerintah dan para politikus sudah membiarkan Pansus Hak Angket DPR bekerja dan bergerak demikian jauh. Skandal Bank Century sudah telanjur menjadi persoalan terbuka di ruang publik. Dan, Pansus yang dibentuk untuk menyelidiki skandal itu bisa dibilang bekerja pula di ruang terbuka. Konsekuensinya, apa yang didapat Pansus didapat juga oleh publik  Konstruksi persoalan berikut pelanggaran atau kejanggalan dalam penyelamatan Bank Century sudah menjadi pengetahuan publik.

Semua fraksi DPR di Pansus pun telah mengemukakan pandangan dan kesimpulannya tentang skandal itu. Publik pun sudah mencatat sikap fraksi-fraksi itu. Hanya Fraksi Partai Demokrat (FPD) dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang menyatakan tidak ada pelanggaran dalam proses pengucuran fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan penyertaan modal sementara (PMS). Sedangkan Fraksi  Golkar, FPDIP, FPAN, FPKS, F-Gerindra, F-Hanura, dan FPP menyatakan ada unsur tindak pidana korupsi dalam pengucuran FPJP dan PMS.

Untuk proses akuisisi dan merger tiga bank menjadi Bank Century, semua fraksi menyatakan ada unsur tindak pidana perbankan, tindak pidana money laundering, dan tindak pidana umum. Untuk aliran dana Bank Century, semua fraksi juga sepakat bahwa ada tindak pidana perbankan, tindak pidana money laundering , tindak pidana umum, dan tindak pidana korupsi.

Seluruh fraksi, minus FPD dan FPKB, sepakat bahwa dana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah uang negara, Bank Century adalah bank gagal tidak berdampak sistemik, dan Perpu Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) Nomor 4 Tahun 2008 ditolak oleh DPR pada 18 Januari 2008.

Walaupun dalam sikap resmi semua fraksi tidak menyebut nama, Fraksi Partai Golkar sejak awal sudah berkesimpulan bahwa pejabat negara yang patut dimintai pertanggungjawabannya dalam skandal ini meliputi Gubernur Bank Indonesia dan pimpinan BI lainnya, Ketua, anggota dan Sekretaris Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), pimpinan Lembaga  Penjamin Simpanan (LPS) dan dewan direksi eks Bank Century.

Pandangan atau kesimpulan fraksi-fraksi itu sudah disampaikan secara terbuka. Logikanya, tak ada ruang untuk mundur atau berubah. Pemerintah dan elite politik mestinya menyadari hal ini. Ada risiko besar jika rekomendasi Pansus Hak Angket ke Paripurna DPR tidak sejalan atau bertolakbelakang dengan kesimpulan awal masing-masing fraksi. Rakyat tak hanya kecewa, tapi juga marah. Risiko itu tak hanya ditanggung DPR, tetapi juga pemerintah.

Pemerintah dan para elite politik hendaknya membuat kalkulasi yang akurat seandainya sebagian besar fraksi di Pansus benar-benar melunak. Bukan tidak mungkin kemarahan rakyat akan direfleksikan melalui rangkaian aksi turun ke jalan. Kalau aksi itu insidental, tak sulit untuk menetralisasi.

Tetapi, jika aksi protes itu sporadis dan berkepanjangan, risikonya tentu tidak kecil, dan juga sangat mahal. Cepat atau lambat, rangkaian aksi protes itu akan mengganggu stabilitas wilayah. Jika keliru atau tidak tepat sasaran dalam merespons aksi-aksi itu, stabilitas nasional taruhannya. (10)

— Bambang Soesatyo, anggota Pansus Hak Angket DPR Kasus Bank Century

Wacana Suara Merdeka 23 Februari 2010