Jauhari Zailani
Dosen FISIP Universitas Bandar Lampung (UBL)
Partai politik (parpol) papan atas kehilangan sosok dalam pilkada. Parpol serahkan perahu pada kader partai lain. Partai politik-kader saling di/meninggalkan. Ada tren anak pejabat menjadi kandidat. Jalur independen menjadi alternatif di luar parpol. (Lampost, 21 Februari 2010). Hal ini menunjukkan ironisme politik, ketika parpol yang menjadi sumber segala sumber kekuasaan, mengalami defisit kader.
Untuk mengawali tulisan ini saya mengemukakan fakta bahwa parpol adalah sumber segala sumber kekuasaan. Pada Pemerintah Pusat, parpol ikut menentukan pejabat negara pada eksekutif, seperti menteri, tetapi juga seperti kapolri dan panglima TNI. Badan-badan dan Komisi Negara seperti BPKP, PPATK, KPU, dan lain-lain. Pada lembaga yudikatif parpol menentukan hakim Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial. Pada lembaga keuangan, parpol menentukan pejabat-pejabat di Bank Indonesia. Apatah pada lembaga legislatif di DPR DPD, dan MPR.
Tetapi lain lagi di daerah, peluang "main" bagi parpol adalah dalam perebutan kekuasaan dalam pilkada. Karena usai pilkada, roda parpol hanya berderak di DPRD. Selebihnya parpol membisu, sepi fungsi dan aktivitas. Dalam konteks ini, konflik politik di daerah sering diciptakan dan dimaknai sebagai usaha parpol untuk mempebesar jatah kue. Sayangnya berkutat pada elite parpol, bukan parpol sebagai lembaga. Dan konflik politik juga dimaknai sebagai usaha mengelak melaksanakan kaderisasi dan fungsi-fungsinya yang lain. Dalam Pilkada 2010, saya membuat catatan awal sebagai berikut:
Pertama, fenomena figur versus parpol. Tarik menarik antara figur popular dan kader partai selalu terjadi dalam pilkada. Karena dalam pilkada, pemilih tidak berorientasi pada partai pengusung, tetapi figur orang yang dipilih. Rakyat memilih orang, bukan partai. Ini jelas berbeda dengan pemilu legislatif. Dalm pilkada, terungkap dengan jelas, bahwa sumber pemimpin tidak hanya parpol. Bahkan parpol tampak kedodoran, tak dipercaya dan defisit kader. Hal ini dimungkinkan karena sumber atau figur pemimpin bukan saja dari parpol, melainkan dari birokrat, pengusaha, akademisi, keluarga pejabat, bahkan artis.
Kedua, dalam pilkada, tampaknya parpol hanya bertindak sebagai "perahu". Sebagai penyedia jasa mengantarkan penumpang ke negeri seberang. Risikonya hubungan "bisnis" ini; pemilik perahu dapat uang dari penumpang. Tak ada ikatan emosional, dan hubungan sesaat; ikatan putus sesampai seberang pulau. Dalam pola pikir ini, fenomena parpol membajak kader parpol lain, kader loncat pagar menjadi lazim. Bahkan di Lampung, pilkada mengisyaratkan dengan jelas bahwa ideologi parpol telah mati. Jika masih tersisa idiologi, itulah utilitarianisme alias pragmatis. Hal ini mestinya ditangisi oleh para fungsionaris parpol. Sampai batas tertentu, pilkada, ternyata justru merusak mekanisme dan kaderisasi parpol.
Ketiga, dalam pilkada, perilaku parpol sentralistik telah mengabaikan dan mencederai demokratisasi yang berlangsung di daerah. Mekanisme rekrutmen calon dalam pilkada oleh parpol di daerah hanyalah "formalitas dan omong kosong". Mekanisme rekrutmen di daerah, ditabrak dan diterabas oleh keputusan sentralistik elite politik di Jakarta. Kaderisasi menjadi kehilangan gereget dan makna. Parpol, oleh elitenya sering dimaknai sebagai sumber uang, bahkan jalur tol karier bagi keluarga elite parpol. Oleh kadernya, parpol dimaknai sebagai portal penghalang. Ini jelas terlihat, ketika "perahu" Parpol telah dipatok untuk dipakai sebagai kendaraan oleh keluarga atau anak buahnya yang nonkader. Sementara elite parpol yang berkeringat, dalam pilkada memakai "perahu" parpol lain, atau bahkan dengan jalur independen.
Keempat, dalam pilkada, jelas sekali parpol tidak bisa diandalkan untuk mendulang suara. Ini konsekuensi logis dari kurang optimalnya peran dan fungsi parpol di daerah. Parpol gegap gempita menyerbu pada lumbung-lumbung suara, tetapi usai pemilu kembali sunyi dari aspirasi dan partisipasi konstituennya. Perilaku "kader jenggot" yang sering mengabaikan kerja parpol memiliki konsekuensi parpol tercerabut dari kader di pelosok-pelosok desa. Status parpol sebagai partai kader tetapi memilki pola pikir sebagai massa mengambang. Dengan catatan, terdapat parpol yang telah melaksanakan dan mengandalkan kaderisasi dan jaringan. Selebihnya parpol oportunis. Sering sekali keluhan warga ditujukan kepada pemerintah daerah, bukan kepada parpol. Ini dapat disimak pada ruang publik, seperti media massa dan demontrasi. Ini mengindikasikan bahwa rakyat kurang menghargai parpol yang memang tak bisa diandalkan. Atau rakyat juga tahu, semua tergantung pada birokrat di pemda.
Kelima, parpol diabaikan. Dalam pilkada, berbagai usaha kandidat untuk mendekati fungsionaris parpol dilakukan agar dapat memakai parpolnya sebagai perahu. Tetapi beberapa kandidat yang berpengalaman dan populer, sesungguhnya mengabaikan parpol. Perhitungannya mahal, boros energi dan belum tentu efektif. Dalam pilkada, jaringan parpol hanyalah satu di antara jaringan yang dapat dipakai, seperti organisasi keagamaan, organisasi kesukuan, dan kekeluargaan, dan tentu media massa hanya sebagai pelengkap.
Perhitungan tersebut kian realistis sejak seseorang dapat menjadi kandidat calon kepala daerah melalui jalur independen. Melalui jalur ini, ia tak perlu repot berurusan dengan elite dan maklar parpol. Energinya langsung fokus pada jaringan nyata yang ada di massa pemilih. Dalam pilkada seperti Lampung, pemilih masih percaya pada "serangan darat". Kampanye dari mulut ke mulut dan tatap muka antara kandidat atau agen dengan pemilih lebih efektif daripada media massa. Apalagi seorang kandidat yang secara sadar telah menyiapkan diri sejak jauh-jau hari.
Sebagai penutup, kita bisa mengatakan defisit kader disebabkan melemahnya kinerja parpol. Kader dan parpol yang potensial menyejahterakan rakyat dan bersinergi, malah saling meninggalkan. Saling membajak calon yang potensial menang dalam pilkada, beberapa kader parpol mengondisikan atau dikondisikan loncat pagar. Parpol belum menjalankan fungsi kaderisasi pemimpin dengan optimal, karena masih disibukkan oleh perebutan dan mengamankan posisi di intern parpol, perebutan kursi di DPR dan DPRD, dan para pemimpinnya sibuk mengamankan posisi politik keluarga elite parpol. Parpol masih lemah dalam penyaluran dan penyaringan aspirasi rakyat (setidaknya pemilihnya). Elite parpol masih disibukkan oleh urusan dan kepentingan diri dan keluarganya. Pilkada adalah sarana yang efektif untuk meneguhkan kekuasaan dan sekaligus menghidupkan peluang mengunduh uang Pusat, yang memang tersentral. Selamat berkompetisi.
Opini Lampung Post 23 Februari 2010
22 Februari 2010
» Home »
Lampung Post » Catatan Awal Pilkada Lampung 2010
Catatan Awal Pilkada Lampung 2010
Thank You!