24 Februari 2010

» Home » Media Indonesia » Teladan Kepemimpinan dan Kejujuran

Teladan Kepemimpinan dan Kejujuran

Maulid atau kelahiran Nabi Muhammad SAW senantiasa dirayakan oleh umat Islam secara gegap-gempita. Perayaan maulid tentu bukan hanya ritual tahunan belaka atau sekadar merayakan lahirnya seorang bayi dari rahim ibunya. Hakikat perayaan maulid Nabi adalah memperingati lahirnya kepemimpinan agung dengan karakter kejujuran yang nyaris sempurna.

Dalam sebuah kitab berjudul Ad-Dardir disebutkan, dalam satu peristiwa Nabi Muhammad SAW singgah di Masjid Al-Aqsa (Al-Quds) untuk melakukan salat berjemaah bersama dua saudaranya sesama nabi, yaitu Nabi Musa (Moses) AS dan Nabi Isa (Yesus) AS. Adalah Nabi Muhammad SAW yang menjadi imam dalam salat berjemaah itu. Peristiwa itu terjadi sebelum Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan malam (al-isra') ke puncak langit ketujuh.



Teladan kepemimpinan

Dalam konteks kekinian bangsa Indonesia, peristiwa tersebut bisa dijadikan sebagai teladan baik bagi kepemimpinan nasional. Antara satu pemimpin dan pemimpin yang lain saling menghormati. Kepemimpinan suatu tokoh tidak harus diangkat 'setinggi langit' sambil 'menginjak' kepemimpinan tokoh yang lain. Itu karena kepemimpinan sejatinya ibarat mata rantai yang sambung-menyambung untuk terus mendorong bangsa ini maju ke depan dan mewujudkan cita-citanya.

Menurut hemat penulis, itulah makna penting salat berjemaah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW bersama dengan Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS. Simbolisasi Nabi Muhammad SAW sebagai imam dalam salat berjemaah itu sejatinya dipahami sebagai penghormatan yang sangat tinggi dari 'para pemimpin terdahulu' kepada 'pemimpin masa kini', yaitu Nabi Muhammad SAW.

Bangsa ini sangat membutuhkan teladan kepemimpinan seperti itu. Sejauh ini, hubungan antara satu pemimpin dan pemimpin yang lain menjadi salah satu persoalan fundamental yang kemudian melahirkan persoalan-persoalan lain yang sangat merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dikatakan demikian karena persoalan itu tak hanya semata tidak adanya hubungan baik antara mantan presiden dan mantan presiden yang lain, atau bahkan dengan presiden yang sedang memimpin. Lebih daripada itu, hubungan tidak baik di antara para pemimpin bangsa ini melahirkan sikap-sikap yang tidak harmoni, saling curiga, atau bahkan penurunan satu pemerintahan di tengah jalan.

Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW sejatinya dijadikan momentum oleh semua pihak (terutama para pemimpin bangsa yang terhormat) untuk meninggalkan semua kebiasaan buruk tersebut. Penyelesaian atas pelbagai macam persoalan bangsa ini membutuhkan campur tangan semua pihak, terutama para pemimpin yang terhormat. Dengan demikian, semua persoalan yang membebani pundak Republik bisa terasa lebih ringan.

Memimpin diri sendiri

Dalam salah satu hadisnya, Nabi Muhammad SAW menegaskan setiap manusia pemimpin bagi dirinya sendiri dan setiap kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawaban.

Hadis tersebut hendak menegaskan setiap manusia mempunyai basis 'kepemimpinan kecil', yaitu kepemimpinan atas seluruh anggota tubuhnya untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat, bagi dirinya dan juga bagi orang lain. Basis kepemimpinan kecil itu juga berfungsi sebagai ruang 'uji coba' untuk menentukan apakah seseorang layak menjadi pemimpin dalam skala yang lebih besar seperti keluarga, negara, atau bahkan pada tingkat global.

Dengan kata lain, orang yang berhasil memimpin dirinya sendiri mempunyai kelayakan untuk menjadi pemimpin dalam skala yang lebih besar. Sebaliknya, tatkala tidak mampu menjadi pemimpin atas dirinya sendiri, seseorang tidak sepantasnya menjadi pemimpin dalam skala yang lebih besar. Bila tidak, semuanya akan menjadi rusak dan memudaratkan orang banyak.

Itulah yang menjadi fenomena buruk kepemimpinan di Republik ini. Banyak pihak berlomba dan mempertaruhkan segalanya untuk bisa menjadi pemimpin (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), baik pada level daerah atau bahkan pada level nasional. Namun, tidak sedikit dari mereka yang bermasalah pada level basis kepemimpinan kecil sebagaimana telah dijelaskan. Salah satu indikasinya adalah setelah di pucuk kepemimpinan tidak sedikit dari mereka yang terlibat persoalan-persoalan krusial seperti korupsi, tidak memperjuangkan kemaslahatan mereka yang dipimpin, bahkan juga tersandung persoalan asmara.

Dalam perspektif hadis tersebut, tidak sedikit dari pemimpin bangsa yang tidak lulus dalam basis kepemimpinan kecil, seperti mengendalikan hawa nafsu, mempertajam mata hati, melakukan hal-hal yang dibolehkan, dan menjauhkan hal-hal terlarang. Alih-alih berbuat untuk kemaslahatan orang banyak, para pemimpin yang tidak lulus dalam basis kepemimpinan kecil hanya memperkaya diri sendiri dan golongan mereka, menggerus keuangan negara atas nama rakyat, dan memudaratkan bagi kehidupan bangsa dan negara. Pelbagai persoalan bangsa pun bukan bertambah ringan, melainkan bertambah berat.

Oleh karena itu, bangsa ini (terutama para elite) membutuhkan reorientasi kepemimpinan dan kejujuran para pemimpin; untuk apa mereka menjadi pemimpin bangsa ini? Kalau hanya untuk kepentingan diri sendiri dan golongan sendiri, lebih baik Anda kembali pada basis kepemimpinan kecil yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada seluruh hamba-Nya; belajar mengendalikan hawa nafsu, mengendalikan tangan agar tidak melakukan hal terlarang, menjaga perut agar tidak dipenuhi oleh barang-barang haram, dan mengasah hati nurani agar peka terhadap persoalan yang ada.

Teladan kejujuran

Tentu saja, sebuah kepemimpinan harus dibangun di atas kejujuran. Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai sosok yang jujur, bahkan sebelum diangkat menjadi nabi. Atas dasar kejujuran yang sudah terbukti itu, Nabi Muhammad SAW mendapatkan dukungan dari masyarakat untuk menjadi pemimpin. Bahkan menjadi pemimpin di 'negeri tetangga', Madinah, bukan di tempat kelahirannya sendiri, Mekah.

Tentu itu merupakan peristiwa langka yang sulit diulang oleh sejarah, terutama dalam konteks kekinian. Pada umumnya seorang calon pemimpin melakukan pencitraan sedemikian rupa dengan bermodalkan uang yang tidak sedikit untuk meneguhkan diri sebagai sosok yang baik, jujur, peduli rakyat, dan sejumlah kebaikan lainnya. Walaupun mungkin watak asli mereka bertolak belakang 100% dengan citra baik yang dipaksakan kepada publik.

Akibatnya adalah mereka tidak memimpin dengan sejumlah kebaikan yang dicitrakan itu. Sebaliknya, mereka memimpin dengan watak asli; rakus, pembohong, mengedepankan kepentingan diri sendiri, merasa paling benar, dan watak-watak buruk lainnya.

Oleh karena itu, jangan heran bila bangsa ini terus dililit pelbagai macam persoalan hingga hari ini. Itu disebabkan para pemimpin bangsa ini secara umum dipilih bukan karena kejujuran dan kebaikan yang sudah terbukti, melainkan karena kejujuran dan kebaikan yang dipaksakan melalui citra atau iklan. Baik para pemimpin yang duduk di jajaran eksekutif, legislatif, atau bahkan yudikatif.

Oleh Hasibullah Satrawi Alumnus Al-Azhar Kairo Mesir; peneliti pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta

Opini Media Indonesia 25 Februari 2010