24 Februari 2010

» Home » Media Indonesia » Republik Kulkas

Republik Kulkas

Media Indonesia (19/2) menurunkan berita utama dan editorial yang amat menghentak. Dengan judul berita tanpa sembunyi-sembunyi 'Tifatul Kena Batunya' sekaligus Editorial yang menggigit 'Menteri Urusan Sensor' Media Indonesia mengungkapkan kemunduran negara pada salah satu inti alasan keberadaannya. Negara sebagai institusi politik yang memberikan garansi ekspresi hak-hak sosial politik publik sedang mendapatkan gugatan serius. Dua RPP, Penyadapan dan Internet, yang diluncurkan sebagai program unggulan Menkominfo Tifatul Sembiring, menjadi pemicu sinisme publik terhadap negara.

Tidak dapat dimungkiri, langkah semacam ini, sejak awal terbentuknya rezim SBY-Boediono sudah mendapatkan sorotan luas masyarakat. Banyak soal substantif yang dapat ditarik dari tragedi ini. Bukan hanya sebatas pelanggaran protokoler seorang pejabat negara sehingga yang bersangkutan mendapatkan teguran dari pimpinan. Melainkan ada semacam 'serangan balik' memalukan terhadap demokrasi justru dari penguasa yang mendapatkan dukungan politik rakyat.



Lebih krusial justru pada titik implikasi setiap kebijakan politik institusi negara terhadap keberlangsungan aspek-aspek penting kehidupan individu maupun publik politik. Awasan bahwa saat kebijakan publik justru berpeluang mencederai esensi kewarganegaraan, maka setiap kebijakan publik dan para pejabat yang menyusunnya harus terlebih dahulu melewati mekanisme sensor internal. Dengan sebuah pertanyaan fundamental, apakah hak-hak politik publik mendapatkan apresiasi signifikan dalam setiap detail kalimat paraturan yang ada.

Otoriter
Benar apa yang diulas melalui Editorial Media Indonesia bahwa bau amis otoritarianisme politik dalam RPP Penyadapan dan Internet begitu menusuk napas reformasi demokratik. Ini berhubungan dengan persoalan mendasar dalam konteks keadaban politik publik. Ada intensi membangun batasan yuridis tentang bagaimana publik mendapatkan informasi yang dibutuhkan sebagai warga negara. Negara hadir sebagai kekuatan yang berseberangan dengan suasana batin publik. Seperti gergaji tajam yang memotong saluran informasi untuk publik.

Usaha mempersempit ruang diskusi publik merefleksikan kemerosotan kesadaran negara berhubungan dengan keterjaminan hak-hak sosial politik warga. Ada semacam pola komunikasi politik para pejabat publik dengan pembesaran posisi negara sebagai pokok utama penuturan mereka. Secara akumulatif, gerakan kekuasaan semacam ini akan merugikan masa depan demokrasi. Pembatasan medium ekspresi sosial politik warga negara merupakan penyakit jamak yang mencuat di arena negara otoritarian. Hasrat yang tersembunyi di dalam selimut transisi menuju demokrasi.

Intensi negara otoriter serentak berseberangan dengan arus kuat demokratisasi. Pengendalian dan penguasaan informasi dan saluran komunikasi antarwarga politik memiliki efek mengerikan berkaitan dengan pembisuan publik terhadap segenap problem politik kekuasaan. Kontrol langsung publik pada ranah kekuasaan akan semakin berkurang. Kekuasaan tanpa kontrol tidak saja akan muncul dalam bentuk bangunan kekuasaan otoriter, tapi dengan lekas menimbulkan kematian demokrasi. Sampai sejauh ini, belum ada metode politik yang cukup representatif untuk memperjuangkan kepentingan rakyat selain demokrasi.

Virus
Idealnya, aturan maupun kebijakan politik publik memiliki fungsi mengatur pemenuhan hak-hak warga negara. Namun, dengan naluri absolutisme kekuasaan maka setiap kata dalam rancangan peraturan negara bisa dijadikan semacam justifikasi untuk mengadili dan mendakwa setiap gerakan sosial warga politik yang menentang perilaku destruktif penguasa. Aturan bisa menjadi 'stempel' politik yang biasa diletakkan pada kelompok kritis. Penguasa mendefinisikan setiap tindakan yang masuk dalam kategori melawan aturan negara. Ini bertujuan memudahkan penguasa meringkus dan mendakwa gerakan sosial sebagai tindakan anarkistis.

Colin Ward (2004) menyebutkan bahwa ketidakberdayaan negara menyelesaikan urusan kejahatan politik yang membekapnya memunculkan perlawanan konstan publik. Negara dengan kualitas demokrasi yang mencukupi akan mengambil perlawanan publik sebagai bagian dari ketersediaan energi politik penting. Namun, negara dengan para maniak kekuasaan yang berkumpul di dalamnya akan memperlakukan perlawanan publik sebagai virus yang harus dibasmi. Inilah ranah 'psikologi politik' negara otoriter yang menebarkan ancaman kepada publik dengan senjata aturan dan hukum.

Otoritarianisme negara merupakan factum kekerasan politik terhadap warga negara. Sebaliknya, sikap kritis publik adalah gejala normal sebagai jawaban politik sah warga negara yang merasa tidak puas terhadap segenap tata kelola politik kekuasaan. Protes politik publik mengungkapkan penolakan total atas kegagalan mendasar negara mengurus kehidupan publik dengan baik. Yang benar adalah bahwa pembenahan tanggung jawab politik negara kepada rakyat merupakan langkah paling awal menghindari perlawanan politik publik. Mempersempit ruang diskusi dan dialog publik justru menyuburkan benih-benih kekuasaan otoriter di negeri ini. Virus yang merusak kesadaran politik bangsa ini.

Merosot
David Miller (2003) mengajukan sebuah pertanyaan penting ini. Apakah mungkin terjadi semacam kooperasi sosial terhadap negara manakala kewibawaan politik negara untuk mengurus kebutuhan rakyat amat merosot? Ini bersentuhan langsung dengan kewibawaan pemerintah dalam konteks mengurus kebutuhan mendasar rakyat. Dengan kecenderungan bahwa aturan dan hukum di negara transisi demokrasi dapat berubah menjadi senjata pemukul gerakan sosial rakyat, perlawanan publik terhadap setiap kecenderungan terbentuknya politik otoriter menjadi kebutuhan mendesak saat ini.

Mengulang rencana yang mirip dalam rangka mengatur lalu lintas komunikasi publik menjelaskan bahwa penguasa di mana pun kurang sekali mengoreksi secara kritis kinerja yang seharusnya sepadan dengan kepercayaan politik yang telah diterima dari rakyat. Ada kemerosotan yang semakin menguat. Membiarkan terjadinya pembatasan ruang diskusi, dialog, dan penuturan warga politik akan mendorong negara ini menjadi semacam 'Republik Kulkas'. Sekian meluas, menyentuh area fundamental, dengan bias 'pembekuan' sikap dan pikiran kritis yang lahir dari kegalauan sosial, di hadapan kekuasaan yang semakin jauh dari nasib rakyat kebanyakan.


Oleh Max Regus, Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI; Direktur Parrhesia Institute 

Opini Media Indonesia 25 Februari 2010