Oleh Gai Suhardja
Peristiwa banjir dalam musim hujan setiap hari menjadi berita hangat di seluruh surat kabar. Di Jawa Barat pun, peristiwa itu menjadi berita panas di tengah cuaca dingin hujan yang tak henti.
Ada banyak upaya kepedulian dan perhatian masyarakat untuk membantu korban banjir selain upaya-upaya yang perlu terus dilakukan pemerintah. Namun, hal itu hanya bersifat sementara sebagai pertolongan pertama belaka.
Lain halnya apabila kita semua menyadari apa sebenarnya yang menjadi penyebab utama banjir. Bukankah sudah sejak berabad-abad ada hujan deras. Begitu juga iklim kemarau di negeri tropis yang selalu silih berganti dihadapkan oleh alam kepada manusia dan semua makhluk di permukaan bumi.
Namun, kini, banjir yang menjadi langganan Bandung, bukan lagi bencana alamiah, tetapi karena perilaku warga kotanya yang tak peduli akan cara hidup keseharian. Hanya segelintir warga yang menyadari hal itu, tetapi sulit melakukan perubahan karena lebih besar jumlah orang yang tak peduli dengan pemeliharaan lingkungan hidup dan pelestarian alam.
Hutan daerah utara dari semula ruang terbuka hijau semakin dipadati permukiman, baik berbentuk real estate di bukit-bukit sejuk daerah utara kota Bandung maupun rumah liar di sempadan sungai-sungai besar dan kecil yang dihuni mereka yang berupaya mencari penghidupan di Kota Bandung --yang terus tumbuh dan ingin disebut kota kreatif, kota jasa, yang akan menjadi kota seni dan budaya dalam peringatan 200 tahun Kota Bandung pada 25 September 2010.
Betapa pun ada upaya-upaya yang dilakukan berbagai elemen masyarakat peduli lingkungan hidup, tak akan banyak membawa perubahan bila Pemerintah Kota Bandung belum juga segera bertindak melakukan perbaikan dalam mengatasi penyebab banjir masa kini. Penyebabnya adalah limbah atau sampah yang dibuang ke sungai dan selokan-selokan mulai dari daerah utara hingga ke selatan Kota Bandung.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang mencanangkan aturan 30 persen ruang terbuka hijau di Jabar ini sebenarnya sudah tepat. Namun, juga menghadapi kendala di lapangan oleh perihal ketidakpatuhan warga akan aturan tersebut. Pemerintah Kota Bandung terheran-heran atas adanya surat tanah kepemilikan yang dimiliki penghuni sempadan sungai dan dikeluarkan instansi resmi.
Hal ini sungguh menjadi tanda tanya masyarakat. Apakah benar para pemangku tugas ini sudah menyadari bahwa mereka sungguh mengabdi kepada masyarakatnya? Untuk menata, mengatur, menegakkan displin serta aturan hukum supaya masyarakat warga kotanya hidup nyaman, aman, dan tenteram? Baiklah hal itu merupakan introspeksi pihak-pihak yang terkait, sekarang bukan lagi zamannya mempersalahkan pihak-pihak tertentu, tetapi untuk memperbaiki semua. Upaya itu yang lebih baik dilakukan.
Jalan-jalan aspal yang berlubang akibat aliran deras air, karena selokan tak sepenuhnya berfungsi menampung debit air yang berlimpah. Penyebabnya adalah bertumpuknya sampah di selokan yang menyumbat saluran. Artinya, drainase Kota Bandung sudah tak memadai lagi jika sekadar menggunakan standar lama kota Bandung.
Pembukaan hutan daerah utara, pembangunan gedung, penutupan permukaan tanah oleh sarana jalan di kompleks hunian. Semua itu menyebabkan berkurangnya pori-pori tanah atau daya serap air hujan ke dalam tanah, sehingga mengalir deras ke selatan kota melalui jalan aspal.
Selain soal dimensi ukuran gorong-gorong atau pembuangan air kotor/air deras yang digelontor di bawah tanah di kala musim penghujan datang, perlu ada jadwal yang disiplin tim petugas kebersihan untuk melacak kemungkinan sampah yang menyumbat saluran. Petugas bisa turun ke dalam saluran berukuran cukup besar, membersihkannya dari sampah guna mengalirkan air secara cepat dan lancar tanpa menggenangi permukaan jalan.
Kapankah para perencana pembangunan kota Bandung membuat perubahan drainase secara total? Kiranya perlu diharapkan, dan dibentuk tim kerja sama para pakar di bidang terkait untuk membuatnya dan bekerja sama dengan para pengembang pembangunan kompleks permukiman se-Kota Bandung dan sekitarnya untuk membuat peta drainase yang berkesinambungan, dari utara ke tengah kota dan terus menuju ke selatan, niscaya Kota Bandung dicintai bukan hanya warganya, tetapi juga wisatawan. Setelah tidak ada lagi banjir, barulah Kota Bandung bisa disebut kota kreatif, karena dapat memecahkan masalahnya. Masalah besar ini sudah mengorbankan banyak orang. Siapa mau peduli harus sungguh-sungguh peduli.***
Penulis, pemerhati perkembangan Kota Bandung, Dekan FSRD Universitas Maranatha.
Opini Pikiran Rakyat 25 Februari 2010