24 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Bercermin dari Maulid Nabi

Bercermin dari Maulid Nabi

BAGI sebagian orang yang dibesarkan di lingkungan pesantren tradisional dan masyarakat kampung yang gemar mauludan, malam 12 Rabiíul awal adalah antiklimaks dari ‘’ritus’’ pembacaan Maulid al-Barzanji. Dimulai sejak 1 Rabiul awal tahun hijriyah para tetua di kampung dan anak-anak muda yang masih loyal pada ideologi tradisional, dengan khusyuk melantunkan syair-syair gubahan al-Barzanji yang penuh puja-puji terhadap diri sang Rasul.


Tak perlu lagi diperdebatkan apakah benar atau tidak karena tradisi yang satu ini sudah mengkristal menjadi pilihan masing-masing. Bagi yang gemar melakukannya silakan lakukan saja, sebaliknya yang tak mau melakukannya ya mangga kersa, yang penting tidak usil atas nama apapun.

Meski hanya berlima, dari mushala di Stasiun Tawang Semarang, mereka tetap lantang membaca maulid al-Barzanji pakai loudspeaker seakan-akan mengajak orang sekeliling untuk sejenak mendengar lantunan syair Ya Badratin atau aneka salawat. Orang-orang di sekelilingnya terlihat cuek karena kepentingan masing-masing dan merasa tak punya urusan dengan bacaan maulid al-Barzanji, apalagi pakai bahasa Arab semua.

Inikah stereotipe masyarakat kota yang mengejar kepentingan masing-masing? Ada yang khusyuk mendengar penuturan biografi Nabi Besar Muhammad SAW, ada yang tanpa beban menyumpah serapah karena suatu urusan mengingat stasiun memang tempat bertemunya aneka kepentingan.
Jadi Teladan Terlalu banyak ceritera mengenai pernik-pernik sikap dan perilaku Rasul yang dapat menjadi teladan bagi yang masih memandang arti pentingnya moral dan akhlak. Beberapa peristiwa memberi gambaran bahwa sejak fase awal, ia telah mendapat julukan sebagai al-Amin (yang dapat dipercaya) karena kejujuran dan  ketulusannya. Kasus penyelesaian sengketa kabilah Arab mengenai hajar aswad oleh Nabi memberikan sinyal bahwa sejak awal ia memperoleh kepercayaan secara alami sebagai pemimpin umat. Ini hanyalah sebagian contoh dari sekian banyak keteladanan seorang nabi yang diberi julukan di Alquran dengan sebutan uswah hasanah (teladan).

Spirit yang diperlihatkan oleh Nabi Muhammad dalam bentuk kesungguhan menghadapi pahit getirnya hidup pada awal masa perjuangan, dapat dijadikan sebagai elan vital untuk berbuat yang terbaik tatkala berhadapan dengan egoisme sektoral, pelanggaran hukum, ketidakpedulian pada  kepatutan sosial, kecerobohan terhadap lingkungan dan lain-lain.

Tak terhitung berapa banyak orang yang memperingati Maulid Nabi dengan aneka kegiatan yang semuanya mengacu pada utusan Allah yang sekaligus juga negarawan yang menjadi figur panutan, kaca benggala atau keteladanan bagi 1,5 miliar lebih  umat Islam di seluruh dunia yang ikut mengubah jalannya sejarah secara signifikan.

Meski demikian, tak boleh lupa bahwa dalam rentangan sejarah panjang selalu saja ada antagonisme dengan aneka tujuan. Pencitraan buruk terhadap Nabi selalu saja ada semenjak ia melakukan reformasi total terhadap tatanan sosial bangsa Arab yang paganistis dan kebiasaan mengedepankan superioritas ras menuju kehidupan yang egaliter. Mereka itu merasa terusik oleh kehadiran sang Reformer dan merasa telah diinjak-injak tradisi dan martabatnya sehingga menjadikan Muhammad sebagai ancaman serius.

Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 dapat pula dibaca deretan panjang orientalis atau pengamat soal-soal ketimuran yang bersuara lantang mencibir, mengejek atas nama kebebasan berekspresi, kajian ilmiah tanpa melihat secara fenomenologis bahwa sosok Muhammad menjadi ikon spritual dunia Timur yang berkembang begitu pesat dan mencengangkan.

Tidak berhenti sampai di situ, ketika era modern pun masih saja ada yang mencibirkannya meledeknya atas nama kebebasan berekspresi dalam dunia sastra seperti Salman Rushdie dengan The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan), karikatur Jyllands Posten yang menghebohkan, lalu sejumlah orang yang mengaku menerima wahyu dan menjadi nabi di abad modern ini, atau mengganti syahadat Rasul dengan syahadat lain, lalu apalagi?

Jawabnya adalah sejarah yang selalu berulang. Dalam banyak hal sejarah adalah adalah sebuah siklus atau repetisi peristiwa sehingga bagi mereka yang arif dan bijak tak lekas merasa heran dan kaget manakala melihat peristiwa yang terjadi secara berulang-ulang.

Artikulasi tokoh sentral seperti Nabi Muhammad mungkin saja hanya dianggap sebagai ikon panutan di kalangan umat Islam  , tetapi tanpa disadari secara perlahan ia telah menyadarkan akan arti penting sopan santun dan etika universal di tengah-tengah arus deras ideologi bernama demokrasi. Kasus Jyllands Posten yang heboh adalah contoh konkret bahwa kebebasan yang seringkali dikaitkan dengan semangat berdemokrasi tenyata perlu menghargai kearifan dari dunia lain (dunia Timur) yang sarat akan nilai-nilai substansial seperti penghargaan terhadap nabi utusan Allah, keyakinan fundamental pada agama yang menjadi hak setiap orang.

Ada pelajaran kuna dari Cicero, filsuf Romawi abad ke-2 SM. yang pernah menyatakan sejarah sebagai guru kehidupan (magistra vitae) yakni sebagai bekal menyikapi hidup saat ini. Muhammad semakin dibenci menjadikan orang semakin penasaran ingin tahu siapa sesungguhnya dia, semakin dihujat semakin banyak yang membelanya.

Pada sisi yang lain di balik suara nyinyir terhadap Nabi Muhammad, sejumlah ilmuwan dan tokoh besar dunia memberikan pengakuannya. Napoleon Bonaparte yang sama-sama kita kenal, pernah mengatakan,’’Muhammad adalah pemimpin yang bekerja keras bersama para sahabatnya yang dalam beberapa tahun menguasai separo dunia. Mereka mengoreksi pemikiran ketuhanan sebelumnya, menghancurkan berhala dan membasmi paganisme dalam kurun waktu 15 tahun, sementara pengikut Musa dan Isa melakukannya dalam kurun waktu 15 abad. Sungguh Muhammad adalah orang besar’’.
George Bernard Shaw, peraih hadiah Nobel tahun 1925 menyatakan,’’Muhammad adalah juru selamat kemanusiaan, menebarkan kasih sayang sepanjang masa, anugerah bagi manusia dan menjadi contoh dari waktu ke waktu’’.

Amat masuk akal manakala seorang Michael Hart dalam buku yang dianggap kontroversial tahun 1978, The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History (Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah) menempatkan Nabi Muhammad di ranking pertama dari 100 tokoh terkemuka di dunia yang mengukir prestasi mengubah jalannya sejarah kemanusiaan.

Jika di surau-surau perdesaan orang membaca maulid mengagumi pribadi Muhammad lalu berusaha menginternalisasi nilai melalui pembacaan biografi dari karya al-Barzanji, orang lain juga bisa melihatnya dari sudut pandang yang berbeda, termasuk melihatnya sebagai rasul pembawa misi rahmatan lili alamin. Di sisi lain ada yang harus melihatnya sebagai cermin untuk melihat diri sendiri hingga seberapa jauh manusia memiliki komitmen untuk melakukan kebaikan tanpa pamrih sesaat. Mungkin nyaris mustahil karena potret orang kebanyakan adalah sebagaimana dilukiskan Abu Nawas dalam syair al-Iítirafnya yang menyadari betapa masih banyaknya dosa namun tak mau masuk neraka.
Nah, kelahiran acapkali menjadi begitu monumental bagi mereka hidupnya lurus konsisten dan bisa menjadi teladan bagi orang lain semisal Nabi Muhammad itu. Apa yang telah dilakukan anak negeri ini dalam mengaca diri dari perilaku sang Nabi selain hiruk pikuk peringatan Maulid Nabi dari tingkat RT hingga istana. Sekadar basa-basi sosial keagamaan atau masih ada spirit untuk bertutur kata secara santun, meluruskan orang yang keliru dengan cara yang bijak, membikin orang lain tersenyum dan meringankan beban derita sesama. Semua ini adalah sebagian kecil dari akhlak Nabi yang seharusnya menjadi cermin bagi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia seperti Indonesia ini. Jika tidak, maka kita memang layak mendapat julukan sebagai bangsa ritualis, suka upacara dan begitu selesai habis perkara. Wallahuaílam bissawab. (10)

— Prof Dr H Abdul Djamil MA, Rektor IAIN Walisongo
Wacana Suara Merdeka 25 Februari 2010