Koalisi pemerintahan SBY-Boediono retak. Demikianlah kira-kira kesan yang didapat banyak orang setelah mengikuti persidangan maraton Pansus Century DPR.
Ada partai-partai yang memandang kebijakan bailout itu tidak bermasalah meskipun mereka mempermasalahkan proses terbentuknya Bank Century dan adanya tata kelola yang buruk di Bank Century. Ada juga partai, PKS, yang terang-terangan menyalahkan kebijakan bailout dan memandang Boediono dan Sri Mulyani sebagai bagian dari pihak yang harus bertanggung jawab atas kesalahan itu. Tidak hanya itu, kasus Bank Century juga melebar ke kasus-kasus lain yang berkaitan dengan aktor-aktor yang bersinggungan dengan koalisi. Pengemplang pajak besar yang diduga melibatkan perusahaan milik Aburizal Bakrie dipermasalahkan dan diusut.
Demikian juga dengan kasus Lapindo yang sebelumnya sudah di-SP3- kan sekarang dipermasalahkan kembali. LC yang diduga melibatkan Misbakhun, inisiator Pansus Century dari PKS, juga muncul ke permukaan. Indonesia saat ini memang bukan penganut sistem parlementer, di mana retaknya koalisi berpengaruh terhadap keberlangsungan suatu pemerintahan. Meskipun demikian, retaknya koalisi itu masih memunculkan pertanyaan, apakah koalisi Pemerintahan SBY-Boediono bisa bertahan sampai 2014.
Implikasi Politik dan Hukum
Menggunakan kesimpulan dari masing-masing partai memang masih terlalu pagi kalau dipakai sebagai pijakan untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi, dari kesimpulan itu memiliki dua implikasi yang bisa kita jadikan rujukan penting. Pertama, ketika ada partai-partai anggota koalisi yang secara langsung menyebut nama Boediono bertanggung jawab terhadap kebijakan bailout Bank Century, partai-partai itu secara tegas telah berposisi bahwa Boediono sudah tidak layak lagi menjadi wakil presiden. Kalau konsisten, partai-partai ini berarti akan mendukung adanya usulan pemakzulan terhadap Boediono. Kedua, kesimpulan itu berpengaruh terhadap proses hukum dari Bank Century.
Sejauh ini kasus Bank Century sudah diproses secara hukum. Robert Tantular, salah satu pemilik Bank Century, bahkan sudah diputus pengadilan masuk penjara. Kesimpulan partai-partai dalam pansus itu akan mendorong para penegak hukum untuk melakukan perluasan penyelidikan dan penyidikannya. Dua implikasi itu, kalau terus berproses, jelas akan berpengaruh terhadap Pemerintahan SBY-Boediono. Ketika secara politik dan hukum Boediono dipandang bermasalah, misalnya akan memunculkan perdebatan tentang perlu tidaknya Boediono dipertahankan di dalam posisinya. Secara prosedural, untuk melakukan pemakzulan terhadap Boediono tidak mudah. Usulan itu harus disetujui mayoritas mutlak anggota DPR.
Masalahnya, minus PD saja, suara DPR sudah tidak bisa lagi mayoritas mutlak. Apalagi ditambah oleh PKB, PAN, dan PPP, DPR akan kesulitan untuk mencapai suara mayoritas mutlak di dalam upaya memakzulkan. Meskipun demikian, ketika sudah seperti itu tidak berarti permasalahannya selesai. Pemerintahan SBY-Boediono akan menghadapi guncangan-guncangan lanjutan yang tidak bisa dielakkan. Fraksi-fraksi di DPR yang ingin memakzulkan Boediono tidak akan berhenti begitu saja.
Lebih-lebih kalau proses hukum terhadap kasus Century itu dipandang tidak berkesesuaian dengan rekomendasi fraksi-fraksi itu. Fraksi-fraksi itu bisa saja tambah kencang mengkritisi Pemerintahan SBY. Dalam situasi semacam itu, konsentrasi SBY-Boediono di dalam menjalankan pemerintahannya mau tidak mau akan terganggu. Energi SBY-Boediono akan terbagi untuk menghadapi fraksi-fraksi yang kritis dan keras kepadanya.
Rekonstruksi Koalisi?
Meskipun demikian, situasi yang akan muncul bisa jadi tidak akan seserius itu. Hal ini terkait dengan kepentingan masing-masing yang terlibat di dalam koalisi. SBY-Boediono jelas tetap menginginkan pemerintahannya didukung koalisi yang kuat. Untuk itu, SBY-Boediono akan berusaha melakukan persuasi agar partai-partai yang menjadi bagian dari koalisi tetap mendukungnya.
Hanya, kepentingan di dalam mengusut kasus Century ini kompleks sekali. Kepentingannya tidak sebatas untuk membongkar tuntas kasus ini. Partai-partai itu juga mempertimbangkan perolehan kekuasaan yang ada saat ini, berikut upaya membangun citra demi Pemilu 2014, berikut kepentingan-kepentingan jangka pendek. Dalam situasi semacam itu, pertimbangan untung rugi (cost and benefit) akan mengemuka bagi masing-masing partai. Terhadap partai-partai yang kritis, SBY-Boediono akan melakukan kalkulasi, lebih untung atau rugikah kalau partai-partai itu tetap menjadi bagian dari koalisi atau di luar koalisi. Pertimbangan serupa akan dilakukan oleh partai-partai yang kritis itu.
Ketika pertimbangan untung rugi mengemuka, pertimbangan-pertimbangan pragmatis, jangka pendek, tidak bisa dielakkan. Maka, masa depan koalisi, dalam situasi semacam itu bisa semacam sulapan. Hari-hari ini koalisi terkesan retak, dalam waktu tak lama lagi akan utuh kembali. Tetapi, karena pertimbangan untung rugi itu pula arah yang sebaliknya yang akan terjadi. Bisa saja partai-partai yang kritis itu akan berbalik arah, bergabung dengan PDIP sebagai kekuatan oposisi. Arah yang terakhir itu bisa saja didasari oleh pertimbangan yang memiliki nuansa spekulasi bahwa menjadi bagian dari pemerintahan saat ini dianggap merugikan karena Pemerintahan SBY-Boediono dianggap sudah terkotori. Sebaliknya, menjadi bagian dari kekuatan oposisi, dipersepsikan sebagai bagian dari kekuatan bersih.
Harapannya, pada pemilu yang akan datang bisa memperoleh kenaikan perolehan suara. Meskipun demikian, namanya juga spekulasi, argumentasi itu bisa saja terjadi, bisa pula tidak. Sebagai contoh, pada dua tahun pemerintahannya, citra SBY-JK mengalami penurunan. Hal ini terjadi, khususnya, karena adanya kenaikan harga BBM secara besar-besaran.Tetapi, dalam satu tahun terakhir pemerintahannya, SBY justru memperoleh kenaikan dukungan. Konteks waktu dan situasi yang berkembang, bisa berpengaruh terhadap besar tidaknya dukungan partai-partai yang ada di dalam pemerintahan dan yang ada di luar pemerintahan.
Selain itu, karena kita ini menganut sistem multipartai, tingkat spekulasinya menjadi lebih besar. Sebagai contoh, karena dukungan terhadap Pemerintahan SBY-JK di akhir-akhir pemerintahannya cukup besar, seharusnya yang memperoleh kenaikan suara bukan hanya PD, melainkan juga Golkar dan partai-partai pendukungnya. Realitasnya, Golkar dan partai-partai lain memperoleh penurunan perolehan suara. Selain PD, hanya PKS yang sedikit memperoleh kenaikan. Terlepas dari pertimbangan-pertimbangan semacam itu, belajar dari kasus ini, kita perlu berpikir ulang tentang bangunan koalisi. Adanya dukungan koalisi yang besar tidak serta-merta melahirkan pemerintahan yang solid dan efektif.
Selain itu, ketika berbicara koalisi, kita seolah-olah sudah melupakan bahwa sistem pemerintahan kita ini sistem presidensial. Di dalam sistem pemerintahan demikian, bisa saja presiden hanya didukung oleh partai kecil. Mengingat sejatinya kita ini tidak murni menganut sistem presidensial, adanya dukungan minimal dari partai di parlemen itu perlu. Tetapi, dukungan itu tidak perlu harus di atas 50 persen. Yang penting adalah pemerintahan itu didukung kekuatan yang solid dan didasari prinsip-prinsip tata kelola yang baik di dalam pemerintahan.
Ketika pertimbangan itu yang diambil, bukan tidak mungkin koalisi pemerintahan SBY-Boediono akan mengalami perubahan-perubahan. Tetapi, hal itu bisa jadi akan lebih baik bagi semuanya daripada kumpul tetapi terus menerus dihinggapi perbedaan-perbedaan yang tidak berujung.(*)
Kacung Marijan
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya
Opini Okezone 25 Februari 2010
24 Februari 2010
Nasib Koalisi dan Bim Salabim Kasus Century
Thank You!