24 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Momentum Menuju Perubahan

Momentum Menuju Perubahan

Oleh Zaenal Abidin

Tidak banyak orang tahu, kapan Maulid Nabi pertama kali diperingati? Siapa tokoh kunci yang pertama kali membudayakan peringatan Maulid Nabi? Berdasarkan catatan sejarah yang layak dipercaya, yang pertama kali memperingati Maulid Nabi adalah Bani Ubaid al-Qaddakh yang menamakan diri mereka dengan Fatimiyyah, mereka dari golongan Syi`ah Rafidhah (Syi`ah moderat). Mereka memasuki Mesir pada 362 H/977 m. Dari situlah tumbuh berkembang perayaan Maulid hingga ke Indonesia (Ahmad bin Ali Al-Miqrizi --ulama ahli sejarah-- dalam kitab al-Mawaidz wal `I `tibar Bidzikri Khutori wal Atsar 1/490).

Sementara yang pertama kali merayakan hari ulang tahun Nabi setelah itu adalah Raja Mudhafir Abu Sa`ad Kaukaburi pada awal abad ke-7 H. Sebagaimana diungkapkan Imam Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah: 13/137. Secara historis, Imam Muslim meriwayatkan dalam sahihnya dari Abu Qatadah al-Anshari bahwa Nabi Muhammad saw. ditanya tentang puasa hari Senin. Beliau menjawab, hari itu adalah hari ketika aku dilahirkan dan mendapat kenabian (H.R. Muslim). Ibn Abbas termasuk yang berpendapat seperti itu (buku Setahun Bersama Nabi, hal. 137).



Ada beberapa alasan, mengapa sebagian kaum Muslim di Indonesia selalu menyambut Maulid Nabi dengan antusias. Paling tidak ada lima alasan. Pertama, sebagai pembuktian rasa cinta, khidmat, dan ta`dzim kepada Nabi saw. sebagai seorang reformis yang mengubah tatanan dunia baru dari kondisi jahili (tidak kenal Tuhan) menjadi suasana yang terang (rachmatal lil `alamin) dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang humanis, harmonis, dinamis, damai, dan penuh dengan kekeluargaan dan kemartabatan. Kedua, sebagai sarana dakwah dan komitmen terhadap syiar Islam, agar amar ma`ruf nahi munkar semakin menjelma di tengah-tengah  komunitas Muslim. Ketiga, sebagai sarana silaturahmi antara para ulama, pemerintah, dan masyarakat. Keempat, sebagai momentum untuk mengasah keterampilan, memupuk kemampuan dan kreativitas di kalangan remaja. Kelima, sebagai motivasi untuk perubahan bahwa perjuangan Islam membutuhkan kebersamaan dalam suasana perbedaan.

Setelah Muhammad mencapai usia 40 tahun, beliau dilantik menjadi Nabi dan Rasul. Nabi pun melakukan dakwah di sekitar Kota Mekah. Namun, masyarakat setempat memandang, ajakan Nabi Muhammad bertentangan dengan ajaran nenek moyang mereka. Melihat kondisi masyarakat seperti itu, Nabi berusaha  mengadakan perubahan yang sangat fundamental. 

Pertama, binaul akidah, yaitu dengan membangun akidah, keyakinan antara yang diajarkan Nabi dan kepercayaan masyarakat Mekah berbeda 180 derajat. Hal ini bisa kita lihat dalam (Q.S. 2: 257), "Allah pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Orang-orang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran)...” Nabi mengajarkan keyakinan kepada satu Tuhan (monoteisme), sedangkan masyarakat Mekah percaya kepada banyak Tuhan (politeisme). Nabi mengubah masyarakat dari kegelapan (jahiliyah) menjadi masyarakat yang terang-benderang yaitu : minadz dzulumati ilan nuur.

Kedua, binaul akhlak, yaitu membangun akhlak. Sejarah membuktikan, banyak kaum terdahulu hancur, bangkrut, dan jatuh karena buruknya akhlak, misalnya Raja Namrud, Fir`aun, Raja Jalut, dan Abu Jahal jatuh ke tempat yang amat hina juga karena akhlaknya buruk. Rasulullah menyadari betul, untuk mengubah masyarakat yang biadab menjadi masyarakat beradab  harus dimulai dari akhlaknya.  Allah SWT berfirman yang artinya "Sesungguhnya pada diri Rasulullah, kamu dapatkan teladan yang agung bagi orang yang mengharap rida Allah, hari kemudian, dan yang banyak mengingatnya" (Q.S. 33: 21).

Ketiga, binaul ukhuwah, dalam rangka menyukseskan dakwahnya, Nabi mempersaudarakan antarkelompok masyarakat karena dakwah Islam tidak akan berjalan efektif tanpa ditopang kuatnya persaudaraan. Yang dibangun  beliau adalah persaudaraan antarkaum Muslimin (ukhuwah islamiyah), persaudaraan antarsesama umat manusia (ukhuwah basyariyah), serta persaudaraan antara kaum Muslimin dan pemerintah (ukhuwah wathaniyah).

Dalam rangka memperkuat jalinan tali silaturahmi di antara kaum Muslimin, beliau mempersaudarakan antara Abdur Rachman bin `Auf (kaum Muhajirin) dan Sa`ad bin Robi (kaum Anshar). Kemudian  mempersatukan kaum Muslimin dengan sesama umat manusia beliau bersabda, "Seluruh umat manusia berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah, tidak ada perbedaan antara orang Arab dan orang `Ajam, tidak ada perbedaan antara orang yang berkulit putih dan yang berkulit hitam, tidak ada perbedaan antara si kaya (aghnia) dan si miskin (dlu`afa) kecuali nilai takwanya. Berikutnya, dalam rangka membangun pemerintahan yang solid dan kuat, beliau membuat Piagam Madinah berisikan 40 pasal yang harus diikuti dan dihormati bersama. Di antara bunyi pasalnya adalah "Bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa hendaknya berada dalam pimpinan yang baik dan lurus" (lihat M. Husain Haekal, ”Sejarah Hidup Muhammad”, hal. 202 - 205)

Keempat, binaul masjid,  yaitu menjadikan masjid sebagai pusat perjuangan Islam (Islamic centre). Di masjidlah, Nabi Muhammad bersama para sahabatnya salat lima waktu dengan berjemaah, melakukan kaderisasi, membangun persaudaraan, mengajar dan mendidik para sahabat, menyusun strategi perang, pengumpulan dana (baitul mal) dan lain-lain.***

Penulis, dosen FT Universitas Pasundan, dosen LB STAI Al-Jawami, dan dosen STAI Miftahul Huda Pamanukan.

Opini Pikiran Rakyat 25 Februari 2010