Pandangan akhir Pansus Bank Century menunjukkan telah terjadinya pelanggaran hukum berupa penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi. Kesimpulan ini muncul setelah mencermati konsistensi mayoritas anggota Pansus untuk berpegang pada fakta dan data. Konsistensi itu terlihat pada laporan akhir fraksi-fraksi.
Kecuali anggota Pansus dari Fraksi Partai Demokrat dan Partai Kebangkitan bangsa (PKB) yang tampak mendasarkan keputusan pada kepentingan memelihara kekuasaan, mayoritas anggota Pansus, dengan gradasi ketegasan masing-masing, terlihat masih berpegang pada fakta dan data.
Dengan berbagai gradasi ketegasan, Fraksi Golkar, PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Hanura adalah fraksi-fraksi yang laporan akhirnya terbilang tegas berkesesuaian dengan fakta dan data, yaitu dengan menyatakan penyaluran fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan penyertaan modal sementara menyimpang, masalah Century tidak berdampak sistemik, serta menyebut nama atau inisial yang bertanggung jawab.
Sementara Fraksi Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Gerindra merupakan fraksi-fraksi yang tampak ”ragu-ragu”. Ketiganya tak membenarkan semua proses FPJP dan bail out, tetapi juga tidak menyebut nama yang harus bertanggung jawab. F-PPP dan F-Gerindra, meskipun masih terlihat berpegang pada fakta dan data, dapat digolongkan sebagai fraksi yang cenderung melunak, sedangkan F-PAN merupakan fraksi yang akhirnya tunduk pada kekuasaan.
Namun, pandangan Pansus hanyalah tahap awal untuk pembuatan keputusan yang lebih menentukan, yaitu sidang paripurna DPR. Meskipun logikanya hasil paripurna mesti sejalan dengan pandangan akhir Pansus, munculnya hasil yang sama sekali lain—apalagi jika pembuatan keputusan dengan voting tertutup—tetap mungkin terjadi. Keputusan politik di negeri ini sering kali tak logis.
Menjelang dan sampai berakhirnya paripurna rentan terhadap lobi-lobi penguasa yang amat berkepentingan untuk mengamankan kekuasaannya. Elite partai rentan terhadap deal- deal politik tertentu. Publik melihat penguasa tampak melakukan gertakan, ancaman, sampai bujuk rayu dan konsesi yang secara gencar diembuskan.
Di sisi lain, integritas moral anggota DPR selama ini terlihat meragukan. Apakah kali ini para wakil rakyat memilih berpegang pada kebenaran, berpegang pada fakta dan data, atau menggadaikan kebenaran untuk kepentingan politik sempit sesaat?
Hasil paripurna DPR tentang kasus Century amat berpengaruh pada bentuk tatanan bernegara ke depan. Hasil paripurna ini akan memunculkan keseimbangan baru tata nilai. Artinya, masalah skandal Century tidak lagi masalah Rp 6,7 triliun. Masalah ini menyentuh bagaimana bangsa memperlakukan hukum dan keadilan. Apakah bangsa ini masih memberikan penghargaan pada supremasi hukum atau telah mempermainkan dan membelok-belokkan hukum sesuai hasrat kuasa para penguasa.
Jika paripurna menganggap tidak terjadi pelanggaran hukum, tutup mata terhadap kebenaran, akan terjadi degradasi penegakan hukum. Hal ini akan jadi preseden penyelenggaraan negara yang buruk. Perilaku melawan hukum tidak memiliki konsekuensi hanya karena yang melanggar hukum sedang berada dalam kekuasaan. Pisau hukum amat tajam ”ke bawah”, tetapi amat tumpul ”ke atas”.
Hasil terburuk ini amat mungkin terjadi. Sejarah mencatat begitu lemahnya integritas moral anggota DPR saat dihadapkan pada bujukan dan ancaman. Kepentingan politik sempit sesaat sering kali mengalahkan cita-cita politik yang agung.
Apalagi perilaku penyalahgunaan wewenang telah berulang kali terjadi di Republik ini. Kerajaan bisnis keluarga Cendana yang memanfaatkan kekuasaan korup sebagai fondasi perkembangannya merupakan salah satu puncak sejarah penyalahgunaan wewenang di Indonesia. Apakah skandal Century akan menjadi puncak berikutnya?
Kemenangan kekuasaan yang menyalahgunakan wewenang berpotensi memunculkan kekuasaan yang semakin sewenang- wenang dalam mengambil kebijakan. Supremasi hukum berakhir, berganti supremasi kesewenang-wenangan. Jika kondisi ini terjadi, kita mendekat pada otoritarianisme. Saat itu kekuasaan akan mencapai tahap kerusakan moral paling dalam.
Oleh karena itu, DPR, jika masih peduli terhadap perbaikan kehidupan bernegara, berkepentingan membuat hasil paripurna sesuai fakta dan data yang terungkap di Pansus. DPR berkepentingan menegakkan kebenaran. Jika DPR melewatkan peluang ini, sesungguhnya mereka melepaskan kesempatan yang tidak akan terulang untuk menuliskan namanya dengan tinta emas dalam sejarah peradaban. Jika anggota DPR periode sekarang mengerti, mereka tak akan mengulangi kebodohan itu.
Opini Kompas 25Februari 2010