24 Februari 2010

» Home » Kompas » Koalisi (Bukan) Periuk Nasi

Koalisi (Bukan) Periuk Nasi

Spekulasi yang berkembang bahwa hasil Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century akan bergerak ke arah pemakzulan, terjawab sudah. Penyampaian pandangan akhir fraksi-fraksi di Pansus dapat dikatakan sebagai politik ”jalan tengah”. Meski tidak eksplisit, semua kekuatan politik dapat dikatakan ”sepakat” untuk tak masuk ke wilayah pemakzulan.

 

Pandangan itu membenarkan dugaan sebelumnya, guna menutup peluang ke arah pemakzulan, mayoritas kekuatan politik mencari ”terobosan” lain yang mereka nilai mampu menyelamatkan gagasan pembentukan Pansus Century. Cara yang dilakukan sejumlah kekuatan politik, melempar bola panas kepada penegak hukum untuk menindaklanjuti indikasi tindak pidana yang dilakukan sejumlah tokoh sentral dalam skandal Century.
Padahal, dengan menyebut nama bekas Gubernur BI, sekarang Wakil Presiden, sebagai pihak yang diduga bertanggung jawab, rekomendasi dapat saja bergerak ke arah pemakzulan. Namun, langkah ke arah pemakzulan tidak menjadi pilihan politik Pansus. Bagaimanapun, bagi sejumlah kekuatan politik, mendorong semua pihak yang bertanggung jawab ke jalur hukum jadi pilihan paling masuk akal guna menyelamatkan berbagai kepentingan.
Bahkan, sejak awal sudah dapat dibaca, Pansus sengaja menghindari pemenuhan logika bangunan sistem pemerintahan presidensial. Upaya penghindaran dilakukan dengan tidak memanggil Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi. Tidak terlalu mengherankan bahwa penarikan kesimpulan hanya bisa menjamah sampai Boediono dan Sri Mulyani Indrawati. Bahkan, bagi sejumlah parpol dalam koalisi, penyebutan nama itu pun dilakukan dengan keberanian luar biasa.
Pengkhianatan
Banyak kalangan berpendapat, pembentukan Pansus merupakan batu ujian untuk menilai kesetiaan parpol terhadap hati nurani, terutama sebagai wakil rakyat. Khusus parpol dalam koalisi, pembentukan Pansus jadi batu ujian ganda antara kesetiaan terhadap hati nurani dan kesetiaan menjaga bangunan koalisi.
Dari perspektif apa pun, kekuatan-kekuatan politik di Pansus Century harusnya menempatkan kepentingan yang lebih luas sebagai bagian pelaksanaan tugas-tugas konstitusional yang diamanatkan UUD 1945. Dalam konteks itu, melihat spektrum di balik skandal Century, menutup fakta-fakta yang terungkap selama Pan- sus bekerja dengan tujuan menjaga keutuhan bangunan koalisi dapat dikatakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat.
Sulit dibantah, pilihan politik mengutamakan menjaga bangunan koalisi akan memberikan dampak sistemik terhadap keberadaan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Selain membunuh harapan sebagian besar masyarakat untuk membongkar skandal Century sampai ke akar- akarnya, pilihan politik menjaga keutuhan koalisi dengan mengabaikan aspirasi yang berkembang berpotensi memperpanjang krisis kepercayaan kepada DPR. Padahal, sejak awal banyak kalangan berharap, hasil Pansus mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada DPR.
Tidak hanya itu, ”menggadaikan” fungsi dan hak konstitusional dengan tujuan menjaga keutuhan koalisi dapat dinilai sebagai bentuk pengkhianatan atas UUD 1945. Padahal, saat dilantik, anggota DPR berjanji mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan.
Koalisi presidensial
Dalam sistem pemerintahan presidensial, koalisi jadi pilihan sulit. Namun, itu tak terhindarkan, terutama saat parpol yang mendukung presiden tak mendapatkan dukungan mayoritas di DPR. Bahkan, Scott Mainwaring (1993) menyatakan, pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit dan dilematis.
Dengan posisi sebagai minority government, guna mendapat dukungan di DPR, presiden berupaya membentuk pemerintahan koalisi dengan merangkul sejumlah parpol. Dalam ”Simalakama Koalisi Presidensial” dikemukakan, cara yang paling umum dilakukan presiden adalah membagikan posisi menteri kabinet kepada parpol yang memberikan dukungan (Kompas, 27/11-08). Faktanya, langkah darurat membentuk koalisi tak pernah kondusif dalam sistem pemerintahan presidensial.
Namun, yang sering dilupakan, dalam sistem pemerintahan presidensial posisi legislatif tak dapat begitu saja tertakluk kepada eksekutif. Bahkan, sekalipun berasal dari parpol pendukung presiden, parpol di DPR tetap punya posisi politik yang berbeda dengan presiden. Karena itu, sulit dipahami jika sebagian kekuatan politik di Pansus Century memosisikan diri sebagai pasukan berani mati pihak eksekutif.
Sekalipun eksekutif berupaya membangun koalisi, kekuatan politik di DPR seharusnya tak menggadaikan posisi konstitusionalnya. George C Edwards III dan Stephen J Wayne dalam Presidential Leadership: Politics and Policy Making (2002) menyatakan, dalam bangunan sistem pemerintahan presidensial partai politik di DPR tidak dapat begitu saja membenarkan semua tindakan pemerintah.
Jika semua tindakan yang dilakukan pemerintah dibenarkan, parpol di DPR sedang menggadaikan posisi sebagai pemegang kekuasaan legislatif terutama dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Dalam sistem parlementer sekalipun, tak semua kebijakan pemerintah dibenarkan oleh parpol pendukung eksekutif. Oleh karena itu, bangunan koalisi hanya dapat dibenarkan sepanjang tak menghancurkan fungsi pokok masing-masing lembaga.
Berdasarkan itu, dalam pengungkapan skandal Century, pilihan parpol membenarkan semua tindakan pemerintah merupakan pilihan untuk bertahan di jalur kekuasaan. Bisa jadi, bagi mereka, kelangsungan koalisi sekaligus kelangsungan kekuasaan dan rezeki (baca: periuk nasi).
Sekalipun ada yang menggadaikan idealisme lembaga legislatif, sebagian partai politik masih tetap berpendirian, jadi bagian koalisi bukan segala-galanya. Bagi mereka, menjadi bagian koalisi bukan masalah periuk nasi.
Oleh karena itu, menjelang sidang paripurna DPR, banyak kalangan berharap, mereka yang membenarkan semua tindakan pemerintah dapat merenungkan pilihan tersebut. Yang jauh lebih penting, parpol yang dinilai cukup mampu menjaga idealisme lembaga perwakilan tidak berubah pendirian hanya karena kepentingan memelihara periuk nasi.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang


Opini Kompas 25 Februari 2010