24 Februari 2010

» Home » Solo Pos » Jauhkan Maulid dari kebencian

Jauhkan Maulid dari kebencian

Ainur Rasyid Peneliti Center for Social Economic and Humanity Studies (CSEHS) Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tradisi tahunan Islam Indonesia, setiap tanggal 12 Rabiul Awal, selalu diperingati hari kelahiran Nabi Muhammad sang pembawa damai.



Hari kelahiran seorang anak adalah hal biasa terjadi sebagai bentuk iradah ketuhanan dalam mencipta.

Akan menjadi sangat istimewa apabila hadirnya sang bayi di tengah masyarakat mampu memecah kebuntuan problematika sosial umat. Lahirnya Muhammad dikenang karena perjalanan hidupnya mampu menjebol benteng sekat sosial antara si miskin dan kaya, penindas dan yang ditindas, penguasa dan yang dikuasai. Sehingga, tak terjadi diskriminasi yang berdasarkan kepada warna kulit, ras, suku dan kedaerahan. Ditegaskan, yang membedakan manusia bukanlah yang bersifat fisik, namun sejauh mana kecintaan dan ketakwaannya kepada Tuhan.

Dalam mengikuti prosesi mengenang hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad, umat Islam menyatakan sebagai pengikut Nabi. Namun, banyak juga ditemui umat muslim yang mengenang Maulid Nabi hanya terjebak pada erotomania tanpa iman sosial.

Kalau dalam bahasanya Emha Ainun Najib, salah satu kelemahan umat Islam adalah tidak bisa menaklukkan kehendak pribadi yang nyaris mendekati kepada nafsu. Sehingga, setiap kali melakukan ibadah ritual, ibadah sosialnya tidak didapat dan sebaliknya. Begitu juga dengan ritual maulid, kadang cuma mampu mengimajinasi kebesaran Muhammad, tidak ada transformasi sosial profetik perjuangan Muhammad dalam dirinya.

Sudah berulang kali Maulid Nabi di negeri ini dilakukan, akan tetapi cita-cita Muhammad untuk mengangkat harkat martabat seseorang tanpa melihat tingkat keimanan dan status sosialnya, belum cukup tampak. Beberapa waktu sebelumnya, terjadi perusakan tempat ibadah, penyerangan terhadap pengikut aliran tertentu, sampai serangan terhadap demonstrasi yang dilakukan oleh pihak yang berseberangan.

Jika ditilik lebih dalam, yang melakukan aksi itu mayoritas adalah orang-orang yang setiap tahun melakukan refleksi kelahiran Nabi Muhammad. Di mana sebenarnya letak keyakinan umat muslim yang meyakini bahwa Islam yang dibawa Muhammad adalah agama yang penuh cinta kasih, rahmat bagi seluruh alam jika masih ada kekerasan yang berbaju agama, saling membenci dan mencurigai satu sama lain.

Kekerasan yang dilandasi kebencian tentu tidak dilakukan oleh seluruh umat muslim, tapi yang tidak memahami nilai-nilai universalitas perjuangannya. Sosio-kultur masyarakat Arab pra-Islam saat Muhammad dilahirkan, bukan tatanan masyarakat harmonis-dialektis, melainkan  kehidupan yang penuh gonjang-ganjing kebobrokan, baik dari segi agama, sosial-politik maupun budaya. Tapi Muhammad tidak pernah membenci siapa pun, beliau tetap melakukan dakwah dengan tenang dan menghargai pilihan umatnya.   

Cinta kasih

Maka, Maulid Nabi Muhammad SAW kali ini, yang jatuh pada 26 Februari besok, yang dipercaya sebagai bulan cinta kasih, harus menjadi media merefleksi dan alat untuk membuang jauh-jauh sifat kebencian terhadap sesama.

Proses maulid harus dijadikan pembacaan (iqra) sosial keagamaan dengan misi keharmonisan sosial secara keseluruhan. Seperti halnya yang diterangkan dalam firmannya QS al-Anbiya (21):107, “Kami tidak mengutusmu (Muhammad), kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam”. Jika dalam memperingati Maulid Nabi, umat muslim belum bisa menghilangkan kebencian terhadap sesama, tidak ada keikhlasan, rasa cinta, mustahil disebut sebagai pengikut setia Muhammad.  

Zuly Qodir (2009) menegaskan umat muslim yang meyakini perbedaan pandangan sebagai rahmat untuk semua umat manusia, memberikan paradigma bahwa Islam sudah seharusnya didakwahkan tidak untuk memberikan rasa takut pada umat manusia yang ada di muka bumi. Rahmat dalam makna yang lain adalah rasa halus (kasih) yang mendorong pada kebaikan kepada yang dikasihi, siapa pun itu, termasuk seluruh makhluk hidup, harus  mendapatkan kasih sayang dari Islam.

Oleh sebab itu, Maulid Nabi tidak hanya tertuju sepenuhnya kepada Nabi Muhammad SAW, tapi memaulidkan keteduhan spiritual dalam diri kita masing-masing. Islam tidak hanya membahas soal spiritual namun mempunyai dimensi kemanusiaan. Dari sini, tafsir profetik harus dihadirkan sebagai perlawanan atas ketidakadilan yang terjadi di negeri ini. Dengan demikian, semangat baru Rasulullah Muhammad akan hadir memberi pencerahan dan perbaikan  dalam menyinergikan antara nilai-nilai keagamaan dan nilai universalitas diri manusia. - Oleh : Ainur Rasyid Peneliti/JIBI/Harian Jogja

Opini Solo Pos 25 Februari 2010