BALADA Bilqis bermula dari tragedi kemanusiaan, seorang bocah kecil  tidak berdaya karena fungsi hatinya tidak berjalan normal. Kehebatan  media membuat penderitaan bocah itu menjadi kebersamaan empati dengan  ’’koin’’ bantuan yang melibatkan ribuan orang untuk menyumbang. 
Dalam waktu relatif singkat bilangan miliar rupiah uang terkumpul  sehingga dimungkinkan untuk proses selanjutnya, yaitu operasi reparasi  empedu. Isu yang kuat ini kemudian membuka mata yang selama ini  terpejam, sejarah yang terlupakan, kepercayaan diri yang inferior. 
Kota Semarang menjadi tujuan selanjutnya balada Bilqis. Semua orang di  seluruh Indonesia seperti terbelalak. Semarang, kota yang hanya terkenal  dengan lumpia, bandeng presto, kota ampiran pemudik sukses dari Jakarta  ke Yogyakarta, ternyata menjadi sentra pelayanan kesehatan tingkat  tinggi. Bukan lagi Jakarta, tidak lagi Surabaya, Medan, Yogyakarta, atau  Bandung. Bahkan bukan Singapura atau Jepang.  
Kamera televisi nasional yang sibuk dengan berita Bank Century dan  Antasari masih memberi ruang  penting bagi Bilqis dan Semarang. Talk  show, press release, berita menjadikan isu kemanusiaan dan teknologi  kedoteran menjadi penawar isu antikemanusiaan yang sedang naik daun. 
Dengan perlahan, sejarah kemudian dipaparkan lagi. Ternyata Semarang  bukan sekali ini membuat sejarah pelayanan kedokteran tinggi. 
Sebelumnya sudah ada Ulung Hara Utama (1 tahun 3 bulan, waktu itu)  menjalani operasi cangkok hati di Rumah Sakit Dokter Kariadi, Oktober  2006. Sekarang ia menjadi anak yang sehat, cakep, dan membanggakan hati  orang tuanya. 
Juga operasi tranplantasi sumsum tulang di Rumah Sakit Dokter Kariadi  atau di rumah sakit swasta lain, serta operasi otak. Bahkan saat ini  banyak operasi spektakuler dilaksanakan di Semarang. 
Operasi yang selama ini dipikir hanya bisa ditangani di negara maju.  Kemudian operasi ini memunculkan tokoh hebat seperti Prof Ag Sumantri,  dokter Tuti, dokter Amanullah, dokter Mustaqin, dokter Yulianto, dan  lain-lain. Hanya kekonservatifan dunia kedokteran yang membuat mereka  masih tetap rendah hati untuk tidak menonjolkan diri. Bahkan cenderung  menghidar dari media. 
Dalam dunia kedokteran modern di Semarang, bukan saja mereka yang tampak  di depan. Sebelumnya ada dokter Affandi, dokter Sunarto, dokter  Hartadi, dokter Luwi dan sebagainya yang bekerja dengan dedikasi tinggi  sehingga tanpa sadar menjadikan Semarang sebagai magnet wisata kesehatan  yang dikenal di Indonesia.
’’Paket wisata’’ Affandi misalnya, menjadi trade mark yang dijual laris  manis di Jakarta, Bandung, Bogor, Bandung hingga Sumatra, bahkan ke  Indonesia timur. Rumah Sakit Telogorejo dikenal dengan ciri modernnya,  Rumah Sakit Elisabeth berciri kristiani, dan Rumah Sakit Islam Sultan  Agung yang berciri islami dengan pelayanan yang menarik ’’wisatawan’’  kesehatan. 
Ikon Pelayanan Sebenarnya banyak peluang yang bisa ditingkatkan dan ’’dijual’’.  Pelayanan di Rumah Sakit Kariadi seperti operasi otak, jantung, tulang,  ginjal, sumsum tulang, dan cangkok hati sudah tekenal. Bahkan pelayanan  pribadi HIV/ AIDS, rehab medik dan Poliklinik Garudanya, menjadi ikon  plus pelayanan. 
Hal sama juga pada RS Telogorejo dengan ciri modernnya, Elisabeth  berciri Katolik, juga Rumah Sakit Islam Sultan Agung dengan trauma  center dan bagian/ unit matanya yang terkenal. 
Dalam dunia kedokteran timur, ada dokter Herry yang menjadi ikon kota  Semarang, pelayanannya mendapatkan respons di Jateng, hingga Jakarta dan  Surabaya, bahkan lebih jauh lagi. Dalam pelayanan rehabilitasi narkoba,  Rumah Damai menjadi tujuan dari penderita di seluruh Indonesia. 
Dalam kesehatan tradisional, Semarang sudah lama menjadi cikal bakal  berkembangnya kesehatan herbal. Diawali Jamu Jago, Nyonya Meneer,  Sidomuncul, disusul Simona dan lain-lain. Hampir semua tukang jamu di  Indonesia membawa jamu produksi Semarang. 
Bahkan sudah menjadi produk ekspor penting di ASEAN ataupun dunia. Jamu  Borobudur misalnya mengekspor produk kering ataupun ekstrak herbal ke  seluruh dunia. 
Balai Pengembangan Tanaman Obat di Tawangmangu sejak dulu menjadi  standar ukur tanaman berkualitas. Bahkan Gubernur jateng mendukung studi  di China maupun pengembangan studi tanaman obat dengan Undip. 
Dikti dan Pascasarjana Undip mengadakan penelitian berkesinambungan  tentang AIDS dan herbal. Bila riset yang diharapkan selesai tahun ini  berhasil, tidak tertutup kemungkinan Semarang menjadi sentra pelayanan  AIDS dengan herbal.  
Pelayanan kesehatan bisa menjadi gerbong pendorong ekonomi masyarakat.  Singapura, negara yang tidak punya hutan industri, tak punya tambang,  tak punya rakyat yang besar, makmur luar biasa karena menjadikan  pelayanan kesehatan menjadi salah satu komoditas ekonomi utama.   (10)
— Budi Laksono, dokter, anggota Komisi Kesehatan Kota Semarang
Wacana Suara Merdeka 25 Februari 2010