Oleh Fahmi AP Pane
Staf Ahli Fraksi PPP DPR RI
Pengembalian surat presiden RI tentang pengajuan RUU Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) perlu dijernihkan. DPR menilai, terdapat kesalahan rujukan surat tentang rapat paripurna yang memutuskan menolak perppu tersebut.
Surat presiden bernomor R61/Pres/12/2009 tanggal 11 Desember 2009 itu merujuk rapat paripurna pada 30 September 2009. Padahal, pada saat itu, tidak ada agenda pembahasan Perppu JPSK. Hari itu justru merupakan penutupan masa bakti DPR periode 2004-2009. Salah satu agendanya adalah penyampaian Laporan Kemajuan Pemeriksaan Investigasi Kasus Bank Century oleh Komisi XI DPR, yang menegaskan lagi bahwa Perppu JPSK tidak mendapat persetujuan DPR atau dalam retorika politik disebut 'ditolak'. Adapun Perppu JPSK tidak mendapat persetujuan DPR pada rapat paripurna, 18 Desember 2008.
Pihak pemerintah beranggapan, Perppu JPSK baru ditolak DPR pada 30 September 2009. Namun, selain terbukti pada tanggal itu tidak ada agenda Pembicaraan Tingkat II tentang RUU Persetujuan DPR atas Perppu No 4/2008, pemerintah juga mengakui secara implisit bahwa Perppu JPSK tidak mendapat persetujuan DPR pada 18 Desember 2008 karena pemerintah mengajukan RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Ini tertera dalam keterangan pemerintah mengenai RUU JPSK yang disampaikan menkeu pada 17 Februari 2009, yang materinya hampir bersesuaian dengan perppu.
Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22 ayat (2) dan (3), hanya ada mekanisme 'perppu mendapat persetujuan DPR' sehingga ditetapkan sebagai undang-undang atau 'tidak mendapat persetujuan' sehingga harus dicabut. Sayangnya, sesudah Perppu JPSK tidak mendapat persetujuan, RUU JPSK juga tidak disetujui. Lebih ironis lagi pemerintah tidak segera mengajukan RUU Pencabutan Perppu JPSK, sebagaimana amanah UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 25 ayat (4), dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
Pemerintah baru melakukannya pada 11 Desember 2009. Padahal, andaikata DPR meminta pengajuan RUU JPSK dalam konteks sebagai dampak Perppu JPSK tidak mendapat persetujuan, pemerintah berkesempatan membuat norma (regeling) dan landasan keputusan pelaksanaan (beschikking) tentang protokol penanganan dan pencegahan krisis sesudah 18 Desember 2008, termasuk memberi kepastian hukum bagi pejabat pengambil keputusan penalangan Bank Century dan dampak keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sesudah Perppu JPSK tidak berkekuatan hukum. Bahkan, pemerintah harus mengutamakan amanah undang-undang daripada keputusan DPR, apalagi jika bunyi redaksional keputusan dinilai bisa menimbulkan banyak penafsiran.
Persoalan ini penting didalami oleh DPR, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung karena UU No 10/2004 Pasal 24 telah memerintahkan pembentukan peraturan presiden mengenai penyiapan rancangan perppu, rancangan PP, dan rancangan perpres. Sayangnya, Peraturan Presiden No 68 Tahun 2005 sebagai amanah pasal tadi tidak membedakan aturan pelaksana dan prosedur jika perppu mendapat atau tidak mendapat persetujuan DPR.
Selayaknya semua kemungkinan harus diberi koridor hukum, termasuk jika suatu perppu tidak mendapat persetujuan, padahal pemerintah telah mengambil kebijakan didasari perppu tersebut dengan menggunakan hal-hal yang termasuk keuangan negara (UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara Pasal 2). Maka, Pansus Angket DPR untuk kasus Century juga dapat mempertimbangkan pemeriksaan proses pembuatan Perppu JPSK dan penanganan sesudah 18 Desember 2008, termasuk kemungkinan presiden saat itu menjadi saksi.
Keputusan DPR mengembalikan surat presiden adalah tepat. Jika diterima, DPR harus membahasnya paling lambat 60 hari sesudah surat presiden diterima (UU No 10/2004 Pasal 20 ayat 3), padahal kekeliruan rujukan surat akan mendelusi Pansus Century. Termasuk, audit investigatif BPK dan berbagai bukti tindak pidana korupsi, perbankan, pencucian uang, penipuan, pelanggaran administratif, dan sebagainya yang dilakukan oleh KPK, Polri, dan kejaksaan. Hal ini tentu sangat ironis karena jumlah pengusul pembentukan pansus adalah terbesar dalam sejarah: 503 anggota DPR.
Padahal, jika pemerintah yakin tindakannya benar untuk kemaslahatan ekonomi bangsa, tidak perlu khawatir karena prinsipnya hukum tidak berlaku surut. Konstitusi pun mengakuinya sebagai salah satu hak asasi manusia (UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28I ayat 1). Ini berarti perubahan suatu aturan tidak dapat membatalkan kebijakan dan konsekuensi kebijakan yang didasari aturan tersebut sebelum aturan itu diubah.
Begitu pula, soal kemungkinan pidananya. Kini, tinggal memeriksa, apakah semua proses pengambilan keputusan pada Bank Indonesia, KSSK, KK (Komite Koordinasi), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), baik sebelum maupun sesudah penolakan Perppu JPSK, serta keputusan pemerintah dan LPS usai keputusan KSSK pada 21 November 2008 yang menyetujui Penyertaan Modal Sementara (PMS) sebesar Rp 632 miliar sepenuhnya didasari hukum atau ada pelanggaran undang-undang, kelemahan dasar hukum, dan konflik kepentingan.
Opini Republika 25 Januari 2010
25 Januari 2010
Menelisik Pencabutan Perppu JPSK
Thank You!