25 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Kota Budaya dan Pendidikan

Kota Budaya dan Pendidikan

Oleh Engkoswara
"Bandung heurin ku tangtung," demikian ramalan orang-orang dulu yang telah menjadi kenyataan dewasa ini. Bandung penuh sesak sehingga susah bergerak. Ramalan ini masih belum maksimal, masih akan berlanjut. Betapa tidak akan penuh sesak, banyak orang yang mau ke Bandung. Orang Bandung sendiri senang dan betah di Bandung. Apa yang menarik?

 

Sederhana, di Bandung segala ada. Mulai dari aneka jins, kaus, sepatu, hiburan, dan aneka makanan. Selintas penduduk Kota Bandung ramah. Orang senang ke Bandung baik untuk sekadar numpang lewat maupun untuk tinggal dan menetap. Itulah antara lain motifekstrinsik orang-orang datang ke ibu kota Jawa Barat ini. Lebih dari itu, mereka mempunyai harapan dan cita-cita yang tinggi yang menjadi motif intrinsik ialah berkenaan dengan budaya dan pendidikan.
Budaya dalam arti dinamika sistem nilai dalam berbagai sendi kehidupan yang berlaku untuk kurun waktu yang jauh ke depan baik sebagai hasil maupun pedoman berperi laku. Hal itu tercermin dalam pandangan hidup orang Bandung, transformasi budaya alias pendidikan di Kota Bandung dan yang dikenal secara luas sebagai budaya Sunda.
Pandangan hidup orang Sunda disampaikan dari mulut ke mulut berbunyi cageur, bageur, bener, pinter, singer, maher tur moher yang menggambarkan manusia paripurna atau "masagi" atau seutuhnya. Pandangan hidup ini mempunyai tema utama, yaitu (1) Etika. Cageur (sehat), bageur (baik budi pekerti), bener (jujur), semua ini memiliki nilai moral yang tinggi yang menjadi dasar pergaulan antarsesama manusia. (2) Logika. Pinter (cerdas), singer (terampil), maher (ahli) yang menggambarkan dasar kemampuan untuk meningkatkan daya saing yang menjadi logika berpikir dan berbuat secara sistematis dan jernih untuk kemandirian dalam berbagai dimensi kehidupan terutama kemandirian ekonomi, berwiraswasta, atau upa jiwa (mencari nafkah). (3) Estetika. Moher berarti kreatif, pribadi terpuji untuk menampilkan yang terbaik yang mempunyai nilai tambah atau lebih sebagai seni hidup yang tinggi yang bermakna indah.
Keharmonian dan keutuhan ketiga nilai dasar ini merupakan budaya khususnya karakter manusia yang bermartabat yang menjadi dasar kepribadian untuk mendorong perbuatan dalam mencapai kehidupan yang lebih baik, yaitu bahagia lahir batin di dunia dan akhirat kelak. Sadar atau tidak, orang menghayati dan mengamalkan pandangan hidup ini sehingga Bandung menjadi megapolitan budaya bagi manusia yang sangat mendasar dalam kehidupan dan dibawa ke mana-mana ke seluruh nusantara bahkan ke mancanegara.
Pandangan hidup yang menjadi dasar tujuan pendidikan yang sempurna dan modern yaitu etika, logika, dan estetika untuk mencapai kehidupan yang berbahagia lahir batin di dunia dan akhirat kelak.
Orang berbondong-bondong ke Bandung untuk mengikuti pendidikan dari taman kanak-kanak, SD, SMP, SMA/K sampai ke perguruan tinggi. Mereka bukan hanya belajar ilmu pengetahuan dan teknologi di bangku kuliah/sekolah, tetapi belajar untuk hidup lebih baik yang terdapat dalam budaya Sunda secara tidak langsung sadar atau tidak. Ini berarti, budaya Sunda telah dibawa ke seluruh peloksok nusantara bahkan dunia. Budaya Sunda menjadi megapolitan yang memancarkan nilai-nilai kebaikan khususnya karakter manusia bermartabat yang patut disebut trilogi karakter manusia yang bermartabat bagi kehidupan. Itu sebabnya Bandung lebih tepat dijuluki kota megapolitan budaya dan pendidikan. Budaya Sunda sejalan dengan budaya lokal lainnya, budaya nasional, budaya global, maupun ajaran agama Islam.
Ajaran agama Islam menggariskan tiga tema, yaitu iman (etika), ilmu amaliah (logika), dan indah (estetika). Sementara itu, budaya nasional terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu damai (etika), mandiri (logika), dan adil (estetika). Sedangkan budaya global sebagaimana dideklarasikan oleh Unesco adalah damai atau etika.
Atas dasar itu, sudah pada tempatnyalah Kota Bandung disebut sebagai kota budaya dan pendidikan. Budaya cageur, bageur, bener yang menjadi etika dalam pergaulan antarsesama manusia. Pinter, singer, dan meher yang menjadi logika dalam berpikir yang jernih dan sistematis untuk kemandirian dalam segala bidang khususnya mandiri secara ekonomi atau upa jiwa termasuk dalam jasa dan perdagangan. Moher yang menjadi seni hidup yang tinggi dalam menampilkan yang terbaik yang mempunyai nilai tambah atau lebih bernuansa estetika dalam kemitraan dan kebersamaan.
Semua itu dicapai melalui pendidikan sepanjang hayat yang berkesinambungan antara pendidikan dalam keluarga (informal), dalam masyarakat (nonformal), dan di sekolah (formal) sehingga ketiga jenis lembaga pendidikan itu disebut sebagai pusat pembudayaan. Bandung, disadari atau tidak, telah menjadi megapolitan dalam budaya dan pendidikan. ***
Penulis, dosen UPI/pengasuh Institut Manajemen Budaya Indonesia (IMBI).

Opini  Pikiran Rakyat 26 Januari 2010