Oleh Mukhamad Misbakhun
Anggota Komisi VI DPR RI
Di tengah peraduan optimisme dan pesimisme yang masih diselami oleh benak publik, pemerintah tetap memberlakukan ASEAN-China Free Trade Area (AC-FTA). Berbagai upaya konstitusional yang dilakukan oleh pihak parlemen tidak menuai respons signifikan. Pemerintah menyatakan telah melakukan renegosiasi terkait pemberlakukan AC-FTA. Tampaknya, dampak sistemis yang sudah pasti dituai usai kerja sama AC-FTA sedikit membuka mata dan telinga. Meski harus diakui, upaya renegosiasi sudah terlambat dan lebih sebagai bentuk reaksi atas ketidaksiapan.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI dengan menteri perdagangan, menteri perindustrian, menteri keuangan, menteri BUMN, serta menteri negara koperasi dan UKM pada 20 Januari 2010 lalu tidak menghasilkan solusi penting tentang antisipasi AC-FTA. Bahkan, surat pengajuan renegosiasi dan perkembangannya tidak bisa dijelaskan oleh menteri perdagangan selaku pihak yang paling bertanggung jawab dalam kerja sama perdagangan ini.
Sungguh, sebuah dagelan politik yang cukup ironis. Dalam suasana ketidaksiapan sektor industri, pemerintah juga mengurai ketidaksiapannya dalam mengantisipasi aspirasi publik. Di balik keresahan perwakilan APINDO, KADIN, dan 18 asosiasi industri saat itu, pemerintah bertindak sepihak dalam memaknai usulan renegosiasi tersebut. Mereka tidak dilibatkan dalam menentukan detail isi negosiasi.
Konstitusi telah mengamanatkan berbagai prosedur demokratis yang ditempuh dalam mengelola aspirasi publik. Negara adalah perpanjangan kepentingan rakyat yang melibatkan eksistensi mereka dalam setiap pengambilan kebijakan. Suara penundaan dan penolakan yang riuh di perlemen adalah representasi suara rakyat. Aspirasi kecemasan pelaku usaha dan industri yang semakin menguat membuat DPR tidak pernah letih meminta pemerintah membuka mata dan pikiran tentang realitas pasar dalam negeri ketika menghadapi unfair trade AC-FTA.
Cacat hukum
Pemerintah harus menyadari bahwa Indonesia merupakan negara terbesar dan berpenduduk terbanyak di ASEAN. Tingkat daya beli penduduknya pun relatif lebih merata dibandingkan Cina. Karena itu, Indonesia seharusnya memosisikan diri sebagai leader yang menentukan arah, isi, dan substansi AC-FTA. Posisi itulah yang ditunjukkan dalam sebentuk kesiapan perangkat akademik dan undang-undang agar lebih menjamin tingkat penerimaan publik dan secara yuridis tidak inkonstitusional.
UUD 1945 melegitimasi posisi Indonesia sebagai bangsa yang besar. Konstitusi melindungi dan menjamin eksistensi warga negara sebagai elemen utama. Warga negara adalah subjek yang terlibat dalam menentukan posisi dan keuntungan di balik setiap bentuk kerja sama internasional yang menyangkut kepentingan hidup mereka. Secara struktural, kepentingan hidup sebagai warga negara disuarakan oleh wakil mereka di parlemen.
Atas dasar itu, Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat dan terkait dengan beban keuangan negara harus melalui persetujuan wakil rakyat. Penjelasan Pasal 2 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional bahkan secara spesifik menyebutkan bahwa perjanjian internasional dapat dibatalkan atas permintaan DPR.
Amanat konstitusi dengan jelas menyinggung akibat luas dan mendasar terkait dengan kepentingan nasional, kepentingan rakyat banyak. Pengertian kepentingan seperti yang tercantum dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) mendefinisikan bahwa rakyat sebagai subjek, bukan objek. Atas dasar itu, legitimasi publik tentang hajat hidupnya adalah kewenangan mereka yang tidak boleh secara sewenang-wenang didikte oleh penguasa.
Pasal 4 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional juga dengan tegas menyebutkan bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional, pemerintah berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memerhatikan hukum nasional dan internasional yang berlaku.
Pasal ini seharusnya menjadi mainstream dalam setiap pengambilan kebijakan. Jika pemerintah bersikukuh tentang asumsi dampak sistemis yang ditimbulkan oleh penutupan Bank Century, AC-FTA tidak sekadar asumsi, namun telah menjadi fakta. Bisa dibayangkan, ratusan triliun kerugian negara akan menjadi tumbal. Karena itu, sulit memungkiri kesimpulan bahwa pemberlakuan AC-FTA cacat hukum. Pada akhirnya, sebuah perjanjian yang merugikan kepentingan nasional bisa dibatalkan demi konstitusi.
Kesetaraan
John Rawls (1921-2002), filsuf Amerika Serikat, pernah menyinggung tentang konsep different principles yang mengejawantahkan gagasan tentang resiprositas. Gagasan ini menjelaskan prosedur untuk memperoleh keadilan yang resiprokal. Manusia dapat menerima keadilan dengan menganut sistem kerja sama. Tujuan sebuah kerja sama hanya bisa tercapai jika seluruh komponen yang terlibat berada dalam kondisi yang sama. Bahkan, pihak yang kurang beruntunglah harus lebih didahulukan dalam mencapai tujuan kerja sama yang berkeadilan.
Logika kesamaan dan kesetaraan yang tercantum dalam UU Perjanjian Internasional adalah pintu masuk bagi sebuah kesepakatan. Secara eksplisit, pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah hanya bisa dilakukan sepanjang memenuhi persyaratan persamaan dan saling menguntungkan. Argumen persamaan dan keuntungan mengurai kesiapan dan ketidaksiapan kita untuk melanjutkan persetujuan atau membatalkannya demi hukum.
Sulit membayangkan kepentingan nasional terwadahi di bawah bayang-bayang kecemasan atau sekadar berharap pada optimisme di tengah gelar pesimisme di depan mata. Oleh karena itu, kesiapan dalam merealisasikan AC-FTA adalah kunci keterlibatan. Sebaliknya, ketidaksiapan adalah ironi dari sebuah realisasi kebijakan yang menuai kecaman publik dan bertentangan dengan undang-undang.
Opini Republika 25 Januari 2010
25 Januari 2010
Cacat Hukum AC-FTA
Thank You!