DRAMA politik Indonesia yang berlarut-larut tampaknya telah menimbulkan kejenuhan publik. Permasalahan internal yang kerap terkesan dibiarkan menggantung telah mengakibatkan Indonesia mengalami banyak kerugian, baik di dalam negeri maupun kancah internasional.
Pembangunan dan rencana jangka panjang menjadi tertunda karena masih tersitanya energi dan perhatian pemerintah pada intrik politik internal yang dianggap membahayakan posisi pemerintah. Jika kondisi seperti itu dibiarkan tanpa ada ketegasan, Indonesia akan melewatkan banyak peluang dan kesempatan besar untuk maju serta menjalankan pembangunan dengan sebagaimana mestinya.
Momentum Internasional
Tahun 2009 merupakan salah satu tahun penting dalam hubungan ekonomi global. Bukan saja tahun itu menandakan mulai bangkitnya negara-negara dari krisis finansial global, tapi juga menandai awal berubahnya peta kekuatan ekonomi politik internasional sebagai akibat krisis global. Munculnya Tiongkok sebagai motor crisis recovery dan bergantungnya perputaran roda ekonomi dunia pada Tiongkok serta negara berkembang lain telah menimbulkan kekhawatiran akan adanya superpower baru dari Asia dan bergesernya dominasi kekuatan ekonomi politik dunia dari negara-negara Barat (west) ke negara-negara Timur (east). Untuk kali pertama dalam sejarah, negara-negara maju mulai melibatkan negara-negara berkembang dalam pengaturan ekonomi dunia. Itu terbukti dengan digantinya Group of Seven (G-7) dengan Group of 20 (G-20) yang melibatkan beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia.
Perubahan "arah angin" itu diperkirakan juga membawa perubahan mendasar pada regulasi ekonomi global (global economic governance). Struktur G-20 sebagai salah satu pemain sentral ekonomi dunia memberikan peluang dan posisi yang lebih besar bagi ekonomi-ekonomi berkembang (emerging markets), termasuk Indonesia, untuk ikut mengatur dan menentukan arah perekonomian dunia. Suatu fenomena yang mungkin belum pernah terjadi dalam sejarah perekonomian modern. Masuknya negara-negara berkembang sebagai salah satu penentu kebijakan dalam ekonomi global diperkirakan akan mengakibatkan banyak perubahan mendasar pada distribusi kekuasaan dan tergantikannya distribusi kekuasaan-kekayaan era lampau (Mosley dan Singer, 2009). Dengan pergeseran itu, Indonesia saat ini memiliki keuntungan yang sangat besar dalam sistem perekonomian global, yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Masuknya Indonesia ke G-20 seharusnya menjadi momentum penting dalam pengaturan perekonomian kita. Diakuinya kita sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia yang selayaknya diperhitungkan semestinya diikuti dengan tindakan yang lebih agresif dalam memosisikan diri di pergaulan internasional. Sayang, dengan kondisi politik internal yang tengah gonjang-ganjing, Indonesia tampaknya belum bisa mengambil keuntungan dan manfaat dari momentum tersebut.
Hal itu bisa dilihat dengan masih kurang dominannya posisi kita di ASEAN. Meskipun, Indonesia adalah satu-satunya anggota ASEAN yang juga merupakan anggota G-20. Seharusnya, kita punya posisi tawar (bargaining power) tertinggi daripada negara-negara ASEAN lainnya.
Kepemimpinan Indonesia
Fenomena lain yang cukup menarik adalah munculnya perubahan pada peta kekuatan di wilayah Asia. Semakin dominannya posisi Tiongkok pascakrisis global mengakibatkan perang pengaruh antara tiga kekuatan besar di Asia, yakni Jepang, Tiongkok, dan India.
Hasil penelitian Kongres Amerika Serikat pada 2009 menunjukkan, pascakrisis global, kebijakan ekonomi-politik Tiongkok bukan lagi ekonomi politik yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dalam negeri, tapi lebih ditujukan pada memperkuat posisi mereka sebagai kekuatan besar (great power) di kancah internasional. Semakin agresifnya Tiongkok juga tampak pada mulai diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara ASEAN, mendahului implementasi perdagangan bebas Jepang-ASEAN. Tiongkok membutuhkan aliansi yang kuat di wilayah Asia dan ASEAN merupakan salah satu blok ekonomi politik yang dapat menyediakan kebutuhan tersebut.
Posisi Indonesia sebagai salah satu pendiri ASEAN dan satu-satunya anggota G-20 di ASEAN merupakan keuntungan yang sangat besar dalam menghadapi Tiongkok. Kendati masih sulit mengimbangi kekuatan Tiongkok, Indonesia setidaknya dapat mengambil keuntungan dari kelebihan itu. Contohnya, perjanjian perdagangan bebas yang telah berlaku kemarin mungkin akan memberikan hasil yang berbeda jika "pengamanan" oleh pemerintah tidak hanya berorientasi pada ekonomi, tapi juga melibatkan strategi diplomasi ekonomi-politik yang aktif dengan Tiongkok.
Dengan menteri luar negeri sekelas Marty Natalegawa, tidak mustahil bagi Indonesia mendapatkan posisi penting tidak hanya di Asia, tapi juga di dunia jika saja kondisi politik dalam negeri mendukung.
Berlarut-larutnya permasalahan politik dalam negeri mengakibatkan banyak energi pemerintah tersita serta banyak peluang dan momentum penting yang terlewat begitu saja. Di kancah internasional, itulah momentum terbaik Indonesia untuk bangkit dan tampil, mengingat arah politik dunia kini menguntungkan negara-negara berkembang dengan ekonomi yang besar seperti Indonesia.
Sangat disayangkan jika momentum sebaik itu dibiarkan lewat begitu saja tanpa dimanfaatkan oleh pemerintah karena drama politik para pemegang kekuasaan. Di situlah pentingnya ketegasan mengambil sikap guna menghindari peluang yang mungkin lepas begitu saja. Indonesia harus segera menyelesaikan intrik politik domestik dan bergerak maju karena telah banyak momentum dan kesempatan yang kita lewatkan begitu saja. Indonesia harus segera melangkah karena dunia tidak akan menunggu. (*)
*) P.M. Erza Killian, dosen Program Studi Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Brawijaya, Malang
Opini Jawa Pos 26 Januari 2010
25 Januari 2010
Tersandera Drama Politik
Thank You!