25 Januari 2010

» Home » Jawa Pos » Spekulasi ke Arah Pemakzulan

Spekulasi ke Arah Pemakzulan

SKANDAL Bank Century benar-benar mengguncang aras politik nasional. Bahkan, dalam beberapa hari terakhir, spekulasi ke arah impeachment (pemakzulan) berembus semakin kencang. Ini terutama setelah dilakukan pertemuan antara sejumlah ketua lembaga tinggi negara dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Bogor.

Apalagi, jauh sebelum diselenggarakan "pertemuan adat" Bogor, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengesahkan peraturan MK mengenai tata cara sidang pemakzulan. Karena itu, banyak kalangan menengarai bahwa pertemuan Bogor merupakan langkah antisipasi Presiden SBY menghadapi hasil Pansus Century mendekati gerbang pemakzulan.

Benarkah hasil Pansus Century dapat berkembang menjadi pemakzulan?

Syarat Konstitusional

Salah satu bentuk purifikasi sistem presidensial yang dihasilkan dalam perubahan UUD 1945 (1999-2002) memperjelas mekanisme pemakzulan presiden/wakil presiden. Sesuai karakter sistem presidensial, meski masa jabatan yang tetap (fix-term), tidak berarti bahwa presiden/wakil presiden tidak bisa diberhentikan di dalam masa jabatannya.

Dalam teori hukum tata negara (constitutional-law theory), pemberhentian di tengah masa jabatan merupakan a legal process of removing an undesirable person from public office (Iwan Satriawan, 2003). Langkah pemakzulan tersebut dapat dikatakan sebagai upaya luar biasa untuk menerobos karakter fix-term dalam sistem presidensial.

Sebagai sebuah langkah extra-ordinary untuk mendakwa pejabat publik (public officials), termasuk presiden/wakil presiden, menurut Jody C. Baumgartner dan Naoko Kada, pemakzulan bukan perkara biasa. Dalam pandangan mereka, pemakzulan dapat dikatakan sebagai political earthqueke dan extra-ordinary political event (Denny Indrayana, 2007). Karena itu, perlu pengaturan sedemikian rupa sehingga presiden dan/atau wakil presiden hanya dapat dimakzulkan jika melanggar hukum yang secara tegas diatur dalam konstitusi.

Pengalaman sebelum perubahan, UUD 1945 tidak membatasi secara jelas bentuk pelanggaran yang dapat bermuara pada tindakan pemakzulan. Presiden/wakil presiden dapat dimakzulkan bila sungguh-sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan UUD atau MPR. Karena itu, pelaksanaan Sidang Istimewa MPR sangat bergantung pada tafsir pelanggaran haluan negara yang dilakukan presiden. Dengan ketidakjelasan tersebut, penilaian subjektif mayoritas anggota DPR menjadi dominan dalam pengajuan Sidang Istimewa MPR. Penilaian demikian, sesungguhnya, yang mengakhiri kekuasaan Presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid.

Untuk menghindari ketidakjelasan tersebut, UUD 1945 hasil perubahan membuat syarat pemakzulan yang jauh lebih jelas dan ketat. Pasal 7a UUD 1945 menyatakan, presiden/wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR dengan alasan: pertama, apabila terbukti telah melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, atau perbuatan tercela. Kedua, apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden.

Tidak Mudah

Membaca persyaratan dalam pasal 7a UUD 1945, skandal Bank Century hanya mungkin bergerak ke arah pemakzulan jika DPR menemukan cukup bukti bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan tindak pidana korupsi dan/atau penyuapan. Kunci untuk menemukan adanya kedua tindak pidana tersebut sepenuhnya berada di tangan Pansus Century.

Secara konstitusional, sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden, ruang yang tersedia dalam pasal 7a UUD 1945 memungkinkan adanya pemakzulan. Gerbang menuju pemakzulan akan semakin dekat jika ada upaya memberi tafsir lebih longgar atau terbuka terhadap pasal 7a UUD 1945. Namun, bagaimanapun, tafsir demikian berpotensi menggagalkan pemakzulan. Sebab, secara konstitusional, asumsi DPR akan dinilai oleh hakim konstitusi dalam sidang MK.

Sebetulnya, kerja pansus tidak sepenuhnya dimulai dari langkah pertama atau titik nol. Setidaknya, merujuk hasil audit invetigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pengelolaan Bank Century penuh dengan rekayasa dan praktik tidak sehat. Meski demikian, Lembaga Penjamin Simpanan tetap mengucurkan dana penyertaan modal ke Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Tidak hanya itu, juga terungkap masih ada aliran dana penyertaan modal sementara (Rp 2,866 triliun) setelah 18 Desember 2008. Padahal, saat itu pemerintah gagal mendapatkan persetujuan DPR terhadap Perppu No 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

Sampai sejauh ini pansus belum menemukan pola dan strategi yang tepat guna membongkar segala bentuk penyimpangan dalam skandal Bank Century. Secara jujur harus diakui, hampir semua kekuatan politik di pansus masih terjebak dalam logika masing-masing. Yang terjadi kemudian, banyak perkembangan di pansus justru memicu polemik.

Selain persoalan substansi, komposisi politik di DPR membuat skandal Bank Century tidak mudah mendekati gerbang pemakzulan. Dalam hal ini, pasal 7b Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa usul pengajuan permintaan DPR ke MK dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya dihadiri dua pertiga anggota DPR. Dari jumlah itu, dua pertiganya harus menyatakan setuju. Jika koalisi pendukung pemerintah solid, dapat dipastikan, kuorum tersebut tidak akan terpenuhi.

Mendekati Pemakzulan

Gerbang menuju pemakzulan akan semakin dekat jika mayoritas partai politik pendukung koalisi meninggalkan koalisi mereka dan bergabung kekuatan politik lain. Melihat perjalanan koalisi sebelumnya, bukan tidak mungkin terjadi perpecahan di partai politik pendukung koalisi. Biasanya, pecah-kongsi koalisi akan semakin cepat terjadi jika publik semakin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah yang berkuasa. Apalagi, dalam sistem presidensial, koalisi lebih rentan perpecahan.

Tanpa kedua kondisi itu, tidak akan ada gerbang menuju pemakzulan. Gerbang itu akan menjadi imajiner jika hasil Pansus Century dijadikan alat bargaining oleh sejumlah elite partai politik dengan cara melakukan tukar-guling skandal Bank Century dengan kasus lain. Jika hal itu yang terjadi, ujung Pansus Century adalah cincai. (*)

*). Saldi Isra, guru besar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND), Padang

Opini Jawa Pos 25 Januari 2010