25 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Masyarakat "Cyber"

Masyarakat "Cyber"

Oleh Dede Syarif
Sejumlah peristiwa nasional, seperti koin solidaritas untuk Prita, solidaritas Bibit-Chandra, serta pembobolan rekening sejumlah nasabah bank, menjadi penanda datangnya sebuah "masyarakat baru". Disebut masyarakat baru karena peristiwa-peristiwa tersebut berlangsung dalam cara, situasi, dan realitas yang baru. Koin solidaritas untuk Prita misalnya, terbentuk melalui jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, yang kemudian menyebar dan menggugah simpati banyak pihak. Sebuah peristiwa yang sejauh ini tidak pernah terjadi di masyarakat kita.

 

Fenomena penggunaan media internet juga menjadi kunci sukses kemenangan Presiden Barack Obama. Seperti dilansir sejumlah media, tim pemenangan Barak Obama menggunakan short massage service (SMS) dan jejaring sosial sebagai media kampanyenya. .
Penggunaan teknologi informasi seperti televisi, internet, dan telefon seluler oleh masyarakat merupakan basis bagi munculnya masyarakat cyber. Perangkat teknologi informasi tadi mendorong revolusi terbentuknya masyarakat cyber. Kehadiran masyarakat tersebut sesungguhnya sudah diwartakan para ahli jauh-jauh hari. Namun, realitasnya baru benar-benar dirasakan masyarakat Indonesia ketika sejumlah kasus tadi mengemuka.
Hilangnya batas sosial
Dalam tinjauan sosiologi, munculnya masyarakat cyber berakibat hilangnya batas-batas sosial. Pada era globalisasi dan abad virtual seperti sekarang, banyak konsep sosial seperti struktur sosial, interaksi sosial, integrasi, dan solidaritas kelompok menjadi kehilangan realitas konkretnya. Unsur-unsur pembentuk masyarakat menjadi tak lebih dari mitos belaka. Dalam masyarakat cyber, berbagai realitas sosial yang berkembang dalam skala global –terutama yang diakibatkan kemajuan teknologi informasi- justru menggiring masyarakat pada wilayah nirsosial.
Lenyapnya batas sosial, menurut Alan Touraine dalam bukunya Two Interpretations of Social Change (1992), disebabkan laju modernisasi yang telah mencapai titik ekstremnya. Situasi tadi disebutnya sebagai era hiper modernisasi kontemporer. Kehidupan sosial telah kehilangan kesatuannya. Hal itu kini tak lebih dari sebuah arus perubahan yang terus-menerus yang di dalamnya para pelaku (actors), baik sebagai individu mapun kolektif, tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial (Yasraf A. Piliang: 1998). Acuan tindakan mereka tidak lain adalah strateginya masing-masing agar dapat survive di tengah derasnya proses perubahan global. Oleh karena itu, tindakan mereka sulit dikontrol institusi resmi seperti agama dan negara.
Warga dalam masyarakat cyber ini bertegur sapa di ranah dunia maya. Perangkat-perangkat media dan informasi (televisi dan internet) menciptakan berbagai relasi sosial semu. Oleh karena itu, prinsip eksistensi (ada dan mengada) dalam masyarakat cyber berpusat di media. Diktumnya berbunyi, "Saya masuk TV, maka saya ada!". Dengan prinsip seperti ini, kita dapat memafhumi alasan kenapa para politisi, dai, dan selebritis berlomba menguasai citra simulacra di layar kaca. Artinya, jika anda melihat layar kaca, maka masyarakat dihadapkan pada realitas ganda: fakta dan fiksi. Kemunculan dalam layar kaca tak lebih dari citra, iklan, dan rekaan belaka.
Tidak ada lagi batas sosial pada masyarakat cyber, yang ada adalah transparansi. Semua orang boleh berpartisipasi, mengkritik, mencaci, atau berkhotbah. Di kalangan masyarakat cyber, tata sosial yang sebelumnya menopang masyarakat menjadi pudar. Batas-batas sosial antara dunia anak-anak dan orang dewasa tak berlaku di hadapan situs-situs porno yang tersebar di internet. Di dunia cyber, sulit dibedakan antara borjuis dan proletar, penegak hukum dan penjahat, penguasa dan teroris, nasabah dan pembobol bank, serta jaksa dan koruptor. Semuanya tampak sumir.
Kehadiran masyarakat cyber merupakan konsekuensi dari globalisasi, dan kita telanjur menjadi bagian di dalamnya. Yang terpenting adalah menentukan sikap agar di tengah arus deras ini, masyarakat dan pemerintah tidak limbung menentukan arah. Jangan sampai kita hanyut dalam strategi le strategy de fatale model J. Baudlirrad yang paradoks: tidak menerima, tidak menolak, tidak mengkritik, tidak menyanjung, tetapi hanyut di dalam setiap ekstasinya. Masyarakat dikepung informasi, koran, majalah, televisi, ponsel, gosip, fakta, fiksi, hiburan, data, dan peristiwa. Kita seperti tak sanggup membendung arus deras informasi tadi. Anehnya, dalam masyarakat cyber, semakin banyak informasi, justru semakin bingung kita dibuatnya.
Sepertinya inilah satu realitas dibalik tidak jelasnya rentetan peristiwa skandal Bank Century, kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, dan pembobolan rekening nasabah bank. Absurd!
Selamat datang di masyarakat cyber.***
Penulis, pengajar sosiologi dan peneliti, Fak. Ushuluddin, UIN Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 26 Januari 2010