25 Januari 2010

» Home » Okezone » Hari-Hari yang Mendebarkan SBY

Hari-Hari yang Mendebarkan SBY

DALAM seminggu ini dua kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbicara soal mosi tidak percaya atau pemakzulan. Isu itu pertama kali dilontarkannya pada 21 Januari lalu di Istana Bogor, di hadapan tujuh pimpinan lembaga tinggi negara.

Katanya, mosi tidak percaya yang berlangsung pada era demokrasi parlementer tidak berlaku lagi pada era presidensial. Yang ada ialah antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif saling mengisi dan mengimbangi. Ucapan senada diulangi lagi pada pertemuan antara Presiden SBY dan para petinggi TNI yang menghadiri Rapat Pimpinan TNI kemarin.

Selain itu, di hadapan para perwira tinggi TNI Presiden SBY menekankan bahwa kebijakan pemerintah tidak bisa dipidanakan. Kita patut bertanya, mengapa Presiden SBY sampai bertubi-tubi bicara soal mosi tidak percaya atau pemakzulan? Apakah benar kebijakan pemerintah tidak dapat dipidanakan?

Pemakzulan

Bila kita perhatikan mimik wajah dan nada Presiden SBY dalam melontarkan isu mosi tidak percaya atau pemakzulan, tampak jelas betapa Presiden SBY berada dalam kegelisahan yang amat besar. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan Presiden SBY gusar.

Pertama, partai-partai koalisi pendukung pasangan SBY-Boediono sejak munculnya kasus Bank Century ternyata kini mengalami perpecahan karena mereka memiliki posisi dan kepentingan politik masing-masing yang tidak jarang berbeda dengan Partai Demokrat, partai Presiden SBY.

Kedua, perpecahan itu membuat skandal Bank Century menjadi bola liar yang sulit dikendalikan di dalam Pansus Hak Angket DPR yang membahas soal itu. Ketiga, tekanan politik terhadap Pansus Bank Century agar menyelesaikan persoalan itu secara jernih, bijak, dan transparan bukan hanya datang dari kalangan intelektual, melainkan juga sudah merambah massa rakyat.

Gelombang demonstrasi merayakan Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember 2009 bukan mustahil akan menjelma menjadi demonstrasi yang lebih besar pada 28 Januari 2010 ini. Untuk meredam sepak terjang para anggota Pansus Bank Century, ada beberapa cara yang dilakukan SBY.

Langkah pertama yang pernah dilakukannya dan gagal ialah mengancam partai-partai anggota koalisi bahwa SBY akan meninjau kembali kontrak politiknya karena tidak sedikit anggota koalisi yang berkhianat atau posisinya berseberangan dengan posisi Partai Demokrat.

Ancaman ini ada yang bersifat terbuka, tapi ada juga yang tertutup, termasuk sebelum mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dipanggil Pansus Hak Angket Bank Century untuk bersaksi dan mengungkapkan apa yang ia ketahui soal bailout bank tersebut. Langkah ini ternyata tidak mampu menekan para anggota koalisi untuk mendukung posisi pemerintah di dalam sidang-sidang pansus tersebut.

Senjata pamungkas kedua yang digunakan Presiden SBY untuk mengendurkan tekanan politik soal impeachment atau pemakzulan ialah dengan mengundang para pimpinan lembaga-lembaga tinggi ke Istana Bogor untuk “memiliki pandangan yang sama bahwa mosi tidak percaya atau pemakzulan tidak berlaku lagi”. Upaya ini ternyata mendapatkan kritik tajam dari berbagai pihak yang menilai bahwa berkumpulnya para petinggi lembaga negara tersebut amat tidak etis.

Apalagi jika ada kesepakatan untuk tidak memberlakukan pemakzulan, sesuatu yang sesungguhnya dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945, yang sudah empat kali diamendemen). Jika benar ada kesepakatan politik tersebut, berarti secara langsung para pemimpin lembaga tinggi negara itu melanggar konstitusi negara! Mari kita tengok Pasal 7A dan Pasal 7B beserta ayat-ayatnya yang mengatur pemakzulan terhadap presiden dan wakil presiden baik secara sendiri-sendiri maupun dalam satu paket.

Meskipun sulit untuk dilaksanakan, pemakzulan adalah suatu yang diatur dalam konstitusi negara kita dan karena itu ia bukanlah “barang haram”. Tak cuma itu, Presiden SBY kemudian juga mengungkapkan soal pemakzulan itu ke Rapat Pimpinan TNI. Kita semua tahu bahwa kebijakan negara memang tidak dapat dipidanakan.

Meminjam pendapat pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin, kebijakan itu hanyalah secarik kertas dan karena itu tak bisa dipidanakan! Namun, jika ada proses yang tidak benar di dalam pengambilan keputusan menuju keluarnya kebijakan negara itu, kita patut mempertanyakan apakah ada penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tersebut.

Pernyataan Presiden di hadapan peserta Rapat Pimpinan TNI juga menimbulkan tanda tanya besar, untuk apa TNI diajak bicara soal suatu kebijakan yang tidak ada kaitannya dengan militer atau pertahanan negara? Ini dapat menarik TNI kembali ke ranah politik, sesuatu yang tidak kita inginkan. Pimpinan TNI memang harus mengerti persoalan politik kenegaraan.

Akan tetapi kita jangan sekali-sekali mengajak TNI untuk terjun ke panggung politik kembali karena ini bertentangan dengan prinsip reformasi internal TNI yang telah berlangsung selama 11 tahun ini. Presiden SBY tampaknya sedang mengalami suatu kegelisahan yang amat sangat. Ia bukan hanya bicara soal pemakzulan atau mosi tidak percaya saja, tapi juga meminta masyarakat untuk mengerti bahwa adanya upaya untuk membunuhnya bukanlah isapan jempol.

Pernyataan ini diulang-ulang oleh SBY dengan nada yang melankolis, sesuatu yang tidak pantas dilakukan oleh seorang presiden di hadapan rakyatnya. Dalam situasi krisis apa pun, seorang pemimpin negara harus tegar dan percaya diri, bukan gelisah atau cengeng! Pemimpin negara harus memimpin dan melindungi rakyatnya, bukan sebaliknya minta dimengerti atau dilindungi oleh rakyatnya.

Jika tidak ada hal-hal buruk yang dilakukan Presiden SBY terkait dengan dana talangan terhadap Bank Century, untuk apa ia sibuk mencari kesepakatan politik di antara para pemimpin lembaga-lembaga tinggi negara soal berlaku tidaknya pemakzulan atau mosi tidak percaya? Mosi tidak percaya hanya ada di dalam sistem parlementer.

Di dalam sistem presidensial diatur bahwa DPR dapat melakukan fungsi pengawasan melalui hak angket Dewan. Ini disusul dengan penyampaian usul dan pendapat Dewan yang juga diatur dalam konstitusi kita. Dari sini DPR dapat mengajukan usul pemberhentian presiden dan atau wakil presiden yang harus didukung sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Usul DPR itu harus diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi.

Jika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum, DPR dapat mengusulkan MPR bersidang. Proses ini tidak mudah dan memakan waktu. Jika SBY dapat mengelola kekuasaannya terhadap partai-partai koalisinya, sebenarnya ia tak perlu takut dengan akan adanya pemakzulan. Lalu, mengapa Presiden SBY amat gelisah belakangan ini? Tanyalah pada rumput yang bergoyang.(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI   

Opini Okezone 26 Januari 2010