16 Desember 2009

» Home » Republika » Meremajakan Hutan

Meremajakan Hutan

Oleh Mohamad Fathollah
(Pegiat Lingkungan)

Salah satu kesepakatan penting yang menyangkut perubahan iklim pada konferensi Kopenhagen pada 7-18 Desember 2009, adalah panduan metodologi Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degredasi Hutan atau REDD yang disepakati di tingkat Badan Pembantu untuk Advis Teknologi dan Sains Pertemuan Para Pihak ke-15.

Bagi negara-negara maju seperti Amerika, kesepakatan ini memberikan daya tawar yang menguntungkan. Namun, bagi Indonesia tentunya sangat murah bila dibanding dengan 'harga' kehidupan di masa mendatang. Skema pengurangan Emisi dan Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang menjadikan hutan sebagai 'alat tawar' penurunan emisi dengan sejumlah uang dan teknologi secara temporer mungkin membahagiakan. Akan tetapi, kebahagiaan tersebut tidak akan bertahan lama ketika hutan kita setiap detiknya digunduli dengan alasan klise sebagai penunjang kehidupan sehari-hari, seperti produksi kertas, perumahan, dan karet.

Keseimbangan ekologis dimulai dari keterjagaan ekosistem hutan. Hutan sebagai bagian penting dari Indonesia mempunyai andil sangat signifikan dalam rangka menjaga keseimbangan ekologis dan geografis. Hutan yang membentang dari timur pulau Indonesia hingga barat merupakan eksistensi sebuah negara yang hijau (green country ). Di samping sebagai wahana alam yang elok dipandang, eksistensi hutan Indonesia sebagai penyeimbang dari ketahanan ekologis lingkungan hidup patut dijaga dan diremajakan.

Menyimak laporan Dirjen Pengawasan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Dephut, Darori, bahwa sebanyak 2.000 kasus kehutanan mulai dari masalah alih fungsi hingga pembalakan liar dalam empat tahun terakhir belum dapat terselesaikan. Kenyataan pahit yang diterima Depertemen Kehutanan ialah dalam rangka menjaga ketahanan ekosistem hutan di sepanjang pulau di Indonesia. Hal ini senada dengan berbagai persoalan pelik lainnya tentang kebijakan ekonomi yang selalu mengalami fluktuasi dan masalah sosial lainnya. Campur tangan negara lain dalam sistem pemerintahan Indonesia mungkin sudah menjadi rahasia umum, namun kenyataan dalam negeri tentang problematika bangsa seakan menjadi noda yang semakin parah dan menjadi virus yang semakin menyebar ke berbagai sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, dan hankam.

Peremajaan Hutan
Sebelum terbentuknya Indonesia sebagai negara kesatuan, pemberlakuan hukum atas peremajaan atau perlindungan hutan sudah berlaku sejak pemerintah kolonial (Belanda). Peraturan ini dibuat dalam rangka melindungi hutan dari tindakan penebangan liar dan tindakan-tindakan lain yang bisa menimbulkan erosi dan penggundulan hutan. Peraturan yang diterapkan pertama kali di tanah Pasundan (Jawa) ini berlaku sejak 1874.

Apabila dilihat dari segi hukum tentang peremajan hutan (lindung), sudah sepantasnya negara mempunyai nilai toleransi dan tanggung jawab serta bersama seluruh elemen masyarakat menjaga dan melindungi kerusakan hutan di kemudian hari.

Penebangan pohon ( illegal logging ), pembakaran hutan, pembalakan liar, penyelundupan, serta alih fungsi dan perambahan hutan, yang terjadi di beberapa hutan di Indonesia sudah mencapai titik kulminasi. Tengok saja alih fungsi hutan atas perseorangan atau kelompok sebagai lahan baru semakin hari membuat ekosistem lingkungan hidup tidak terkendali.

Penebangan liar, baik dalam bentuk formal (alih fungsi hutan) atau nonformal, sering kali tidak mengacu pada dampak yang ditimbulkan secara sosiologis (kemasyarakatan) maupun ekologis (ekosistem lingkungan). Pada akhirnya mengancam kelangsungan hidup satwa, erosi, banjir, dan tanah longsor. Adanya reboisasi sering kali tidak diacuhkan sebagai bagian dari keterjagaan dan peremajaan ekosistem lingkungan.

Menurut Darori, penebangan hutan liar pada 2007 saja sudah 600 kasus belum terselesaikan. Masalahnya macam-macam, mulai dari penyelundupan, alih fungsi hutan, perambahan, dan pembalakan liar. Melalui Balai Konservasi yang bertugas menginventarisasi perhutanan selayaknya memberikan peran yang maksimal bagi keterjagaan hutan yang kian hari kian meresahkan. Apalagi, kenyataan masyarakat desa hutan minim pengetahuan tentang pembalakan dan alih fungsi hutan.

Maka, kemudian penting kiranya mengadakan pendampingan terhadap masyarakat dalam peremajaan hutan dan atau alih fungsi hutan. Sebab, Hak Guna Usaha yang melegitimasi perusahaan untuk melakukan pembalakan kadang sumbernya ilegal. Hal itu timbul karena perbedaan tinjauan dari Dephut dan Badan Pertahanan Nasional mengenai GHU (Hak Guna Usaha). BPN (Badan Pertahanan Nasional) selaku pemegang lisensi Perhutani menganggap areal hutan masuk ke areal masyarakat sehingga dapat diganti rugi oleh perusahaan.

Apabila hal tersebut dibiarkan, tidak ada tanggung jawab yang subversif bagi kepekaan hukum perhutanan, tidak ayal ketentuan hukum yang berlaku selalu menemukan titik buntu, dan hutan Indonesia semakin menjadi kambing hitam pemanasan global.

Selain itu, kenyataan tentang produktivitas kehutanan mungkin harus dikaji lebih mendalam. Sebab, hal ini bukan hanya menyangkut hutan lindung, kawasan konservasi, dan hutan produksi besar-besaran, namun pada areal yang lebih general, yaitu pemberdayaan masyarakat desa hutan dan masyarakat dunia. Acap kali masyarakat desa hutan menemukan kendala apabila berhadapan dengan ketentuan hukum dan pihak perusahaan yang melakukan proses penggundulan di kawasan mereka.

Perlindungan ( protection ) terhadap proses peremajaan hutan dan pembimbingan ( guidance ) terhadap masyarakat perlu dijadikan tolok ukur bagi ketentuan hukum perhutanan. Sehingga, pembalakan liar, alih fungsi hutan yang serampangan, dan masalah lainnya tidak menjadi pekerjaan rumah Dephut yang makin menumpuk.

Tegas
Masalah-masalah seperti ledakan penduduk, meningkatnya jumlah kaum miskin, menderasnya arus urbanisasi, telantarnya tanah-tanah pedesaan dan pembangunan industri yang tidak mengindahkan ketahanan sumber-sumber daya alam sangat memprihatinkan menimbulkan keresahan di tengah-tengah ancaman pemanasan global ( global warming ).

Ketegasan adanya kepekaan atau  vulnerability dari lingkungan menjadi syarat mutlak bagi pemberlakuan hukum perhutanan. Sebab, tidak dapat dimungkiri, seperti yang dikatakan Budi Prasetyo G (2007), bahwa hukum perhutanan sering kali memberikan diskresi kepada eksekutif (daerah) untuk mengurus keadaan hutan di daerahnya dengan mengeluarkan perda yang tidak memihak pada kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat desa hutan.

Maka, kemudian untuk pemberlakuan hukum yang koheren dibutuhkan analasis dampak lingkungan yang jelas dan transparan guna mengayomi masyarakat dan peremajaan hutan lebih terjaga. Bukan lantas ketentuan hukum yang memihak pada yang 'berkantong tebal'.

Secara yuridis-sosiologis, seperti diungkapkan Abdul Hakim GN (1988:131), bahwa PIL (Penyajian Informasi Lingkungan) dan Amdal (Analisis Dampak Lingkungan) merupakan sarana bagi instansi pemerintah untuk mengendalikan dan mengarahkan agar kegiatan pembangunan tidak menimbulkan gangguan pada keseimbangan ekologi.

Di samping peremajaan hutan, melalui ketentuan hukum yang tidak memihak pada perusahaan soyogianya masyarakat desa hutan ikut terangkat naik perekonomiannya melalui pemberdaayan yang masif. Di sinilah harga 'murah' yang dapat diterima masyarakat hutan di Indonesia melalui REDD.

Opini Republika 16 Desember 2009