16 Desember 2009

» Home » Kompas » Hijrah dari Korupsi

Hijrah dari Korupsi

Momentum tahun baru 1431 Hijriah mempunyai makna yang amat mendalam bagi republik ini. Pasalnya, Pansus Bank Century dan KPK sedang menyelidiki adanya dugaan korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 6,7 triliun.
Hijrah secara etimologis berarti migrasi fisik dari satu tempat ke tempat yang lain, sedangkan secara terminologis merupakan migrasi nilai dari ketertindasan menuju keadilan dan keadaban. Nabi Muhammad SAW yang semula tinggal bersama para pengikutnya di Mekkah memilih melakukan hijrah ke Yatsrib, terutama dalam rangka menyongsong kehidupan baru yang menjunjung tinggi moralitas dan kemaslahatan bersama.


Dalam kurun waktu tidak lama, sekitar dua tahun, Nabi berhasil melakukan perubahan yang menggugah semua penduduk Yatsrib, baik kalangan Muslim, pagan, maupun Yahudi. Yastrib pun diganti menjadi al-Madinah, yaitu kota yang menjunjung tinggi peradaban dan keadaban publik.
Piagam Madinah merupakan salah satu pencapaian politik yang sangat fantastik. Sebab, di dalamnya memuat kesepakatan politik yang menjunjung tinggi kesetaraan, keadilan, dan kedamaian di antara mereka yang terlibat dalam perjanjian.
Piagam Madinah menjadi salah satu model untuk membangun demokrasi deliberatif, yaitu demokrasi yang sangat menjunjung tinggi partisipasi publik dan meletakkan kepentingan publik di atas segala-galanya.
Keteladanan
Pesan penting yang terdapat dalam hijrah adalah keteladanan seorang pemimpin. Tatkala membangun tempat tinggal di Madinah, Nabi memilih membangun rumah yang sangat sederhana sebagai bentuk keteladanan yang paling mulia.
Syaikh Muhammad al-Ghazali dalam Fiqh al-Sîrah menggambarkan rumah Nabi, lantainya dari kerikil dan atapnya dari daun kurma. Tempat tinggal yang dibangun Nabi bersebelahan dengan masjid bersejarah, yang sekarang dikenal dengan Masjid Nabawi.
Dalam hal ini, hijrah bukanlah migrasi yang misinya ingin meraih kemewahan dan kemegahan hidup. Hijrah adalah upaya untuk menanamkan nilai-nilai luhur bahwa seorang pemimpin mesti mempunyai kesungguhan untuk mendahulukan kepentingan umat daripada kepentingan dirinya sendiri.
Kehidupan Nabi yang sederhana dan komitmennya yang begitu kuat terhadap orang-orang miskin telah menjadi kekuatan moral yang sangat ampuh untuk membangun sebuah tatanan sosial yang berkeadilan, berperikemanusiaan, dan berkeadaban. Konsekuensinya, hijrah yang dilakukan Nabi membawa transformasi sosial yang sangat luar biasa.
Kalangan non-Muslim di Madinah pun berdecak kagum karena telah lahir seorang pemimpin yang tidak membangun istana. Seorang pemimpin yang merupakan manifestasi dari umat dan tidak suka menumpuk-numpuk harta. Sebab itu pula, penduduk Madinah menyambut beliau dengan ungkapan yang sangat indah, ”Telah terbit bulan purnama dari bukit Wada’”.
Dalam konteks keindonesiaan, fakta historis tersebut harus menjadi khazanah moral yang mestinya dapat mengatasi masalah korupsi yang makin lama makin mengkhawatirkan. Publik mulai hilang kepercayaan terhadap para pejabat publik.
Persoalan korupsi pada hakikatnya adalah persoalan moral sekaligus mental. Selama ini, kepemimpinan dan pelayanan publik tidak diletakkan dalam konteks rakyat yang dipimpin.
Dalam batasan tertentu, korupsi telah menjadi salah satu keahlian tersendiri bagi sebagian pemimpin dan elite di republik ini. Meskipun mereka berani bersumpah bahwa dirinya tidak melakukan korupsi, publik dapat menilai korupsi sudah mendarah daging dalam birokrasi. Korupsi sangat identik dalam birokrasi kita.
Tanpa mengurangi mereka yang mempunyai anggapan bahwa sistem yang transparan dan akuntabel amatlah penting untuk mengatasi problem korupsi, faktanya, sistem tidak akan bermakna apa-apa jika tidak disertai dengan kesungguhan moral dari para pemimpin dan para elite lainnya untuk menjadikan keadilan dan kesejahteraan sebagai pintu masuk bagi kemajuan dan perubahan sosial.
Momentum hijrah sejatinya dapat mendorong setiap pejabat publik untuk menjadikannya sebagai cermin, terutama dalam rangka mengedepankan kesederhanaan dan kesungguhan untuk memberikan pelayanan publik yang sebaik-baiknya. Kesederhanaan seorang pemimpin akan menimbulkan trust dari publik.
Tingginya ketidakpercayaan publik terhadap elite politik disebabkan mereka yang menjadi pejabat pada umumnya hidup mewah dengan gelimang harta. Jika seandainya pembuktian terbalik dapat dijadikan cara untuk mendeteksi koruptor, hampir bisa dipastikan sebagian besar pejabat publik akan menggunakan seragam koruptor.
Jika Pansus Bank Century dan KPK dapat mengungkap dugaan korupsi, akan menjadi kado yang indah bahwa bangsa ini benar- benar sedang hijrah dari korupsi menuju antikorupsi.
Zuhairi Misrawi Ketua Moderate Muslim Society dan Penulis Buku Mekkah dan Madinah 
Opini Kompas 17 Desember 2009