16 Desember 2009

» Home » Jawa Pos » Angket Century di DPR, Kepentingan Rakyat atau Konglomerat?

Angket Century di DPR, Kepentingan Rakyat atau Konglomerat?

KEKHAWATIRAN publik bahwa hak angket Bank Century bakal menjadi alat tawar-menawar politik (political bargain) oleh berbagai kekuatan politik dan ditunggangi kepentingan ekonomi para konglomerat makin hari makin kelihatan. Pernyataan Sri Mulyani di harian Wall Street Journal tentang perseteruannya dengan Aburizal Bakrie terkait masalah perpajakan membuka mata kita bahwa tidak pernah ada yang murni dalam dinamika politik kita.

Pencekalan terhadap pejabat PT Kalimantan Prima Coal (KPC) yang merupakan perusahaan Kelompok Bakrie karena tunggakan pajak Rp 2,1 triliun membuktikan bahwa aksi politis dengan menjadikan Sri Mulyani sebagai target juga berlatar belakang kepentingan perpajakan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Sri Mulyani adalah sosok tegas yang berani menolak permintaan diskon pajak oleh para konglomerat.

Benang merah itu menjadi ujian bagi anggota DPR untuk serius mengungkapkan kasus Bank Century. Para politisi di Senayan harus mampu mengungkapkan apa sebenarnya yang terjadi. Umpamanya, benarkah keputusan penyelamatan Bank Century ada kaitannya dengan tim kampanye partai tertentu untuk mendapatkan uang?

Audit BPK yang kita harapkan menjadi penjernih masalah ternyata telah menimbulkan masalah baru. Ada kesan lembaga audit negara itu tidak bebas lagi dalam melakukan audit dan pelaporan. Persyaratan independensi seperti pemilihan area yang awalnya untuk membongkar aliran dana ternyata lebih menjadi area investigasi prosedur di Bank Indonesia. Tuntutan publik agar aliran dana dibongkar juga tidak satu pun disajikan. Audit BPK pun akhirnya dicium beberapa pihak beraroma kepentingan politis sekadar memenuhi hasrat panitia angket yang ingin mengoreksi kebijakan KSSK yang waktu itu memutuskan penyelamatan Bank Century.

Hal tersebut dikuatkan dengan kenyataan bahwa sebagian besar anggota pimpinan BPK berasal dari parpol sehingga cerita berbau politik itu pun klop. Keadaan tersebut diperparah lagi oleh adanya tudingan pelampiasan kekesalan pribadi ketua BPK terhadap Sri Mulyani dan Darmin Nasution ketika tersingkir waktu itu dari Dirjen Pajak, Depkeu. Artinya, ada permainan para politisi untuk menggiring opini, baik di DPR maupun di BPK.

Saat ini, agaknya, ada upaya besar untuk mendiskreditkan Sri Mulyani sebagai menteri keuangan dan Boediono yang (saat itu) menjabat gubernur Bank Indonesia. Juga mendiskreditkan lembaga yang mereka pimpin sebagai lembaga yang tidak kredibel dan korup. Karena itu, sudah sewajarnya jika keduanya, baik secara pribadi maupun kelembagaan, memberikan informasi yang jelas dan benar kepada publik demi menghindarkan publik dari upaya sistematis melakukan penyesatan informasi.

Sri Mulyani merupakan sosok yang tegas, bersih, dan telah membuat banyak konglomerat tidak berdaya ketika berurusan dengan Departemen Keuangan. Artinya, sikap demikian telah mengganggu para konglomerat yang selama ini dengan mudah memperoleh priveledge tertentu berupa pengurangan pajak ataupun fasilitas lain.

Kalau diperhatikan, cerita dan isu yang berkembang terkait isu Bank Century seperti cerita novel saja. Banyak intrik, penuh dengan misteri, dan dibumbui kisah asmara serta dendam pribadi sehingga ''novel'' itu laku keras di pasar. ''Novel'' tersebut akhirnya memasuki tahap baru, yaitu masuk ke ruang ''bioskop politik'' di Senayan.

Kita seharusnya melihat masalah Bank Century secara jernih. Keputusan menyelamatkan Bank Century terjadi saat krisis global berada pada posisi puncak. Di banyak negara, penyelamatan perekonomian dilakukan dengan menyelamatkan bank. Pemerintah Irlandia saat itu menasionalisasi Anglo Irish Bank, yang merupakan bank ketiga terbesar di Irlandia. Pemerintah Inggris melakukan nasionalisasi terhadap Royal Bank of Scotland (RBS), Lloyd Bank, dan Halifax Bank of Scotland (HBOS) senilai £ 37 miliar ditambah penjaminan untuk melindungi bank dari kredit macet. Pemerintah Prancis menyetujui suntikan modal ¤10.5 miliar (Rp 130 triliun) ke perbankannya. Demikian juga pemerintah Amerika.

Pertanyaannya, wajarkah menilai keputusan yang diambil saat krisis dengan situasi yang normal saat ini. Pasti kita dengan gampang menyalahkan keputusan yang diambil saat itu. Tetapi, seandainya Bank Century ditutup dan menimbulkan krisis ekonomi, apakah yang mengkritik penyelamatan Bank Century juga akan bertanggung jawab. Bisa jadi, pemerintah disalahkan karena tidak melakukan penyelamatkan Bank Century.

Tuduhan bahwa BI melakukan rekayasa aturan tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek (FPJP) yang memungkinkan Bank Century mendapatkan fasilitas sebagai upaya sistematis untuk menyelamatkan Bank Century saja juga tidak tepat. Bahkan, respons publik dan bankir setelah penyelamatan pada November 2008 juga positif sebagai upaya mencegah jangan sampai kepercayaan publik terhadap sistem perbankan hancur. Mekanisme perubahan peraturan di internal BI sangat panjang dan melibatkan diskusi yang cukup serta pertimbangan kepentingan nasional.

Jangan membebankan masalah kejahatan oleh manajemen Bank Century kepada pejabat ekonomi karena mereka tidak terkait. Keputusan menyelamatkan Bank Century adalah keputusan dengan pertimbangan stabilitas ekonomi nasional. Jadi, bukan untuk menyelamatkan manajemen bank. Kejahatan ekonomi yang dilakukan pemilik dan pengurus bank tetap harus diusut dan jangan dibebankan ke pejabat negara. Sayang, harapan publik bahwa pemilik dan pengurus Bank Century mendapatkan hukuman setimpal tidak terbukti. Kalau di Amerika penjahat keuangan mendapatkan hukuman ratusan tahun, di sini cukup beberapa tahun saja.

Meski demikian, kalau memang dalam kasus tersebut ada unsur pidana, pasti KPK akan melakukan penyelidikan. Karena itu, pemikiran mengganti menteri keuangan dan bahkan wakil presiden bukan menyelesaikan masalah, tetapi malah menimbulkan masalah baru yang lebih luas. Kepercayaan terhadap Indonesia akan merosot dan ini menyulitkan upaya pemulihan ekonomi nasional. Kami berharap jangan sampai kita mengorbankan kepentingan rakyat banyak demi kepentingan ekonomi konglomerat dengan melakukan upaya destabilisasi psikologis dan ekonomis terus-menerus. Mari mengembalikan fokus kita ke membangun ekonomi dan kemakmuran rakyat. (*)

*) Abdul Mongid , pengajar di Pascasarjana STIE Perbanas Surabaya
Opini Jawa Pos 17 Desember 2009