Dalam kamus psikologi, fobia berasal dari bahasa Inggris phobia yang berarti rasa takut (fear), ngeri (dread) atau benci (aversion) pada sesuatu (Arthur Reber, 1985).
Menurut Reber, ada tiga kriteria sehingga rasa takut dapat disebut sebagai fobia. Ketakutan itu bersifat intens, menimbulkan keinginan kuat untuk menghindarinya, dan tidak rasional berdasarkan akal sehat. Karena itu, James D Laird dan Nicholas S Thomson (1992) mengelompokkan fobia sebagai salah satu bentuk psychological disorder; gangguan kejiwaan.
Seseorang yang menderita fobia merasa dihantui oleh sesuatu, tidak pernah tenang. Merujuk kepada Sue & Sue (1985), Laird & Thomson menyebutkan 24 jenis fobia. Di antara fobia adalah ketakutan pada ketinggian (acrophobia), pada kucing (ailurophobia), melihat darah (hematophobia), dan ketakutan kepada orang asing (xenophobia).
Dalam dunia politik, terdapat istilah Islamophobia: ketakutan pada Islam. Pengalaman Perang Salib membuat sebagian masyarakat Barat takut kepada Islam dan melihat kemajuan muslim sebagai ancaman. Dalam bukunya, Islamic Threat: Myth of Reality, John L Esposito menegaskan bahwa ancaman Islam atas Barat hanyalah mitos.
Edward Said dalam bukunya Orientalism, bahkan, mengkritik keras para orientalis yang menjadikan studi tentang Islam dan dunia Timur sebagai subordinat kekuasaan dan ?alat? untuk menaklukkan Islam. Namun Islamophobia meningkat setelah pengeboman dua gedung kembar WTC di Amerika Serikat.
Pengalaman sejarah Barat, terutama Perang Salib, semakin menghantui masyarakat Barat atas ancaman Islam. Melihat perkembangan Islam yang sangat pesat di negara-negara Barat, kelompok-kelompok tertentu merasa terancam dengan eksistensi umat Islam. Kekhawatiran akan adanya balas dendam atau penjajahan negara-negara muslim memunculkan sikap tidak suka baik dalam bentuk rasisme atau rasa tidak suka yang lain.
Kudetafobia
Selain fobia-fobia tersebut, ada jenis fobia lain, yaitu ?kudetafobia?. Orang-orang yang mengalami kudetafobia pada umumnya memiliki kedudukan yang tinggi. Mereka tidak takut berada di tempat yang tinggi (acrophobia). Yang mereka takutkan adalah jatuh dari jabatan tinggi. Orang-orang yang mengalami kudetafobia tidak takut berada di tempat keramaian (sociaphobia).
Sebagian dari mereka yang mengalami kudetafobia adalah orator hebat yang suka berbicara di tengah massa. Mereka suka tampil di depan publik dan berbicara berlama-lama. Banyak pemimpin dunia yang mengidap kudetafobia. Begitu kuatnya dukungan rakyat, bahkan tidak ada seorang pun yang mampu menandingi popularitasnya. Di hadapan para penentangnya, pemimpin yang mengalami kudetafobia adalah orang yang sangat kuat.
Alih-alih melakukan upaya kudeta, para penentangnya tidak percaya diri melakukan kritik secara terbuka. Mungkin karena kekuatan itulah sang pemimpin mengalami kudetafobia. Mereka takut kehilangan kekuasaan dan rakyat yang sangat mencintai dan dicintainya. Adakah pemimpin yang mengalami kudetafobia? Salah satu contoh dari pemimpin besar yang mengidap kudetafobia adalah Firaun.
Di dalam Alquran diceritakan, Firaun adalah pemimpin yang sangat kuat. Nyaris tiada banding, tiada tanding. Saking kuatnya, sampai-sampai Firaun menantang Tuhan dan mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan. Sebagai pemimpin negara, Firaun berhasil membawa rakyat Mesir hidup dalam kemakmuran.
Namun, Firaun ternyata mengidap kudetafobia. Suatu hari Firaun bermimpi ada seorang anak dari Bani Israil yang mencabut jenggotnya. Karena merasa aneh dengan mimpinya, Firaun bertanya kepada ahli nujum. Menurut ahli nujum, mimpi Firaun merupakan isyarat politik bahwa suatu saat nanti akan ada seorang anak laki-laki dari Bani Israil yang akan menjatuhkan kekuasaannya.
Sejak itulah Firaun positif mengidap kudetafobia. Khawatir akan kehilangan kekuasaan, Firaun kemudian mengambil langkah politik yang sangat kejam. Firaun mengalami ?Israilofobia?. Demi mempertahankan kekuasaannya dari segala kemungkinan kudeta, Firaun memerintahkan kepada para punggawanya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir dari Bani Israil dan membiarkan hidup bayi-bayi perempuan.
Pada akhirnya, Firaun memang jatuh dari kekuasaannya karena perlawanan yang dipimpin oleh Nabi Musa yang merupakan keturunan Israil. Namun, Musa tidak menjatuhkan Firaun karena ingin berkuasa. Musa melawan Firaun lebih karena kesombongan dan kekejaman yang dilakukannya kepada sesama manusia, khususnya Bani Israil. Peristiwa ini disebutkan di dalam Alquran sebagai peringatan kepada Bani Israil agar senantiasa ingat anugerah Allah (QS 2, Al- Baqarah: 49; 14, Ibrahim: 6).
Politik Kontemporer
Adakah kudetafobia dalam politik kontemporer? Mantan Presiden Soeharto mungkin dapat dikelompokkan sebagai pemimpin yang mengidap kudetafobia. Sebagai presiden, Soeharto sangat khawatir akan ancaman kudeta dari kelompok ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Ekstrem kiri diidentifikasi sebagai kekuatan komunis yang akan mengganti Pancasila dengan ideologi komunis.
Ekstrem kanan adalah kelompok muslim yang berusaha mengganti dasar negara Pancasila dengan syariat Islam. Demi membuktikan dan meyakinkan masyarakat bahwa ancaman kudeta bukan isapan jempol, Soeharto berusaha melakukan indoktrinasi dan screening politik. Soeharto berusaha menjaga kemurnian dan kesaktian Pancasila melalui penataran Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) bagi setiap warga negara.
Nugroho Notosoesanto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mewajibkan mata pelajaran baru: pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB). Mata pelajaran ini berisi koreksi total atas pemerintahan Presiden Soekarno dan pentingnya selalu mewaspadai ancaman kudeta dari ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Setiap calon pegawai negeri harus ?bersih lingkungan?: bersih diri dan keluarga dari segala kemungkinan atau potensi pengaruh ekstrem kiri atau kanan.
Sampai pada akhirnya dia turun dari kursi presiden dan wafat, tidak ada satu pun ekstrem kiri atau kanan yang melakukan kudeta. Ancaman kudeta tampaknya hanyalah mitos yang dikembangkan karena kekhawatiran akan kehilangan kekuasaan. Soeharto pada akhirnya jatuh, bukan karena PKI atau NII, tapi oleh gerakan mahasiswa.
Dalam periode kepemimpinannya yang kedua, sudah dua kali Presiden SBY membuat pernyataan publik bahwa ada pihak-pihak yang ingin membunuhnya dan akan melakukan kudeta. Pernyataan pertama disampaikan setelah pengeboman Hotel JW Marriott. Pernyataan kedua disampaikan menjelang hari peringatan korupsi sedunia, 9 Desember. Sampai sekarang, situasi di Tanah Air normal-normal saja. Apakah pernyataan Presiden SBY tersebut merupakan pertanda kudetafobia? Semoga saja tidak!(*)
Abdul Mu?ti
Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation Among Civilisations
Opini Okezone 16 Desember 2009