16 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Menghadapi Garis Keras-Bebas

Menghadapi Garis Keras-Bebas

BUKU ”Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia” menarik untuk dibaca. Buku itu diterbitkan atas kerja sama The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, dan Maarif Insitute. Editornya KH Abdurrahman Wahid, dengan prolog Prof Dr Ahmad Syafii Maarif, dan epilog KH A Mustofa Bisri.


Buku tersebut mencerminkan kerja sama antara beberapa tokoh terkemuka NU dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yang berhaluan moderat. Founding fathers dari dua organisasi tersebut memang ikut membidani kelahiran Pembukaan UUD 1945 beserta batang tubuhnya, dan terbentuknya NKRI, sehingga ruh nasionalisme melekat kuat dalam jiwanya.
Kedua organisasi tersebut tidak pernah memberontak terhadap Negara dan Pemerintah Republik Indonesia. Oleh karena itu, sejak berdiri Muhammadiyah (1912) dan NU (1926) dalam muktamar-muktamarnya tidak pernah mencita-citakan terbentuknya negara lain, selain NKRI. 

Selama puluhan tahun, hubungan antara warga dua organisasi itu bisa dikatakan baik-baik saja. Riak-riak kecil persengketaan antara keduanya boleh dikata wajarlah, karena manusia memang tidak selalu sama pendapatnya. Berbeda pendapat boleh-boleh saja dalam Islam, tetapi permusuhan antarsesama muslim dilarang oleh Alquran dan Hadis. Perbedaan kecil dalam masalah ubudiyah (ritual) antara keduanya makin lama makin dimaklumi, dan dengan meningkatnya taraf pendidikan rakyat Indonesia, maka sikap saling menghormati paham keagamaan atau mazhab masing-masing makin lebih diutamakan.

Kegelisahan warga kedua ormas tersebut mulai muncul ketika aset-asetnya, seperti masjid, madrasah, dan sekolah dikuasai atau direbut oleh kelompok lain. Di samping itu banyak warga kedua ormas tersebut dipengaruhi sehingga berpindah ke kelompok tersebut, atau minimal bermuka dua. Jadi, masalah kewaspadaan terhadap ideologi yang dikhawatirkan akan mengganggu ideologi dan keutuhan NKRI serta terganggunya aset-aset dan keutuhan warga kedua ormas tersebut merupakan faktor yang mendorong penerbitan buku tersebut.

Istilah fundamentalisme dalam bidang agama pada mulanya muncul di kalangan umat Nasrani, sebagai reaksi dari segolongan umat tersebut terhadap meluasnya paham modernisme dalam bidang agama. Paham modernisme dalam bidang agama ini mulanya merupakan gerakan pemikiran di kalangan umat Katolik yang muncul akhir abad ke-19. Para pengusung paham ini mempunyai pandangan: (1) Perlu adanya reinterpretasi terhadap Bibel dan reformulasi terhadap doktrin-doktrin tradisional sesuai dengan perkembangan iptek; (2) Menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan metode ilmiah serta berpegang pada hal-hal yang rasional dan empiris; (3) Melakukan kritik terhadap sejarah dan isi Bibel; (4) Menolak kekuasaan gereja yang kaku dan konservatif.

Melihat tren pemikiran kaum modernis ini sebagian umat Nasrani mengkhawatirkan berubahnya ajaran Bibel dari substansi atau fundamen aslinya. Mereka ini kemudian disebut sebagai kaum fundamentalis, yang mempunyai corak pemikiran literalis dan radikal serta bersikap militan. Mereka fanatik membela dan menyiarkan pandangannya dan dalam mencapai tujuannya mereka tidak segan-segan menempuh jalan kekerasan. Akhirnya aliran atau gerakan garis keras itu menjadi stigma bagi kaum fundamentalis.
Dianggap Konservatif Di dunia Barat istilah kaum fundamentalis digambarkan sebagai golongan yang konservatif (menentang pembaharuan), antimodernisme, gigih membela pendiriannya, memahami kitab suci secara harfiah, tidak segan-segan menempuh jalan kekerasan dan ekstrem. 

Berdasarkan pengertian istilah fundamentalisme yang demikian itu, maka publik dan media massa di dunia Barat menyebut gerakan Islam garis keras yang menunjukkan perilaku kekerasan dan ekstrem dengan istilah kaum fundamentalis Islam, seperti organisasi Ikhwanul Muslimin, Al-Qaedah, Jamaah Islamiyah, dan lain-lain.

Dalam buku itu disebutkan lebih banyak, yaitu Wahabi, Ikhwanul Muslimin, Al-Qaedah, Jamaah Islamiyah, Hizbut Tahir, dan Tarbiyah, dan ada juga beberapa kritik terhadap MUI. Penulis buku itu juga menyerukan agar umat Islam Indonesia mewaspadai infiltrasi paham organisasi-organisasi yang dianggap membawa ide transnasional tersebut ke Indonesia.

Seorang penulis Barat, Olivier Roy, membedakan antara Islam mainstream dan fundamentalis. Yang disebut kedua ini lebih gigih dalam melawan budaya barat yang dianggapnya merusak, seperti busana (banyak yang tidak menutup aurat), dasi, ketawa-tawa ria, bentuk-bentuk salam model barat (cipika cipiki ), berjabat tangan (antara orang lelaki dan perempuan yang bukan muhrim), dan sambutan tepuk tangan.

Sedangkan Islam mainstream, misalnya Maududi, tidak segan-segan menghadiri upacara Hindu, Khomeini tidak pernah menyarankan status dzimmi bagi orang Iran Kristen ataupun Yahudi, orang Armenia di Iran diakui sebagai penduduk Iran, termasuk mengikuti kewajiban bela negara dan membayar pajak, mempunyai hak pilih, demikian juga Jamaat Afghan menyatakan sah-sah saja menggunakan tenaga ahli nonmuslim.

Pada abad ke -15, 16, dan 18 di Eropa timbul kesadaran umat manusia yang cukup tinggi, yaitu dengan kemunculan paham reformasi dalam bidang keagamaan  (abad ke-15). Manusia digiring ke arah pemikiran teosentris seraya mengadakan perubahan dan pembaharuan atas hal-hal yang dipandang menyimpang dari kitab suci. Kemudian muncul pula Renaissance (abad ke-14-16), kebangkitan dalam bidang penalaran, manusia diarahkan pada pemikiran antroposentris, yang mengedepankan paham humanisme, suatu paham yang menjunjung tinggi harkat, martabat, kemerdekaan dan kemuliaan manusia. Manusialah penentu segala-galanya.

Akhirnya (abad ke-18) muncul masa Aufklarung, manusia memuja ilmu pengetahuan dan teknologi, merasa dirinya otonom dan menolak dominasi kekuasaan gereja. Sejak masa inilah paham liberalisme tumbuh dan berkembang sehingga muncul pula neoliberalisme. Liberalisme yang semula hanya menyangkut bidang ekonomi dan politik, akhirnya meluas ke bidang-bidang lain, termasuk agama.

Kemunculan paham liberalisme dalam bidang agama Kristen menimbulkan kehebohan di kalangan mereka sehingga banyak tokoh mereka yang menentangnya. Liberalisme, yang berintikan kebebasan berpendapat, berpikir, dan berkeyakinan banyak menabrak doktrin-doktrin tradisional. Aliran garis bebas ini misalnya menyatakan bahwa Bibel bukan wahyu Tuhan, melainkan catatan pengalaman orang-orang Ibrani; Yesus bukan Tuhan, melainkan manusia biasa yang saleh; dan Yesus bukan satu-satunya juru selamat.

Paham liberalisme memang sangat beragam pendapat-pendapatnya, ada yang masih terkendali dan ada yang sudah kebablasan, namun semuanya menunjukkan garis bebas. Sejauh mana kebebasan berpikir dalam bidang agama itu dapat ditoleransi, apakah ada batas yang mengendalikannya, belum ada yang dapat meramalkan.

Paham garis bebas dalam bidang agama itu juga merembes ke masyarakat Islam. Sekadar menyebut beberapa pendapat mereka yang menghebohkan misalnya orang lelaki muslim setelah bercerai juga punya iddah; Alquran adalah karya manusia; tidak ada hukum Allah yang ada adalah sunnatullah; jilbab bukan ajaran Islam melainkan budaya Arab.

Untuk menghadapi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, secara umum Allah memberi petunjuk sebagaimana tersebut dalam tiga ayat Alquran dalam Surah:

1. Al-Hujurat ayat 10: Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.

2. An-Nisa’ ayat 59: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan RasulNya (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

3.Al-Jatsiyah ayat 23: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya, dan Allah telah mengunci mati pendengarannya dan hatinya dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk (sesudah membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (10)

- H Ibnu Djarir, Ketua MUI Provinsi Jawa Tengah
Wacana Suara Merdeka 17 Desember 2009