16 Desember 2009

» Home » Kompas » Kotak Hitam Bank Century

Kotak Hitam Bank Century

Membuka lembar demi lembar hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan terhadap berbagai lembaga yang terlibat dalam kasus Bank Century ibarat membaca hasil analisis terhadap kotak hitam sebuah pesawat yang mengalami kecelakaan. Berdasarkan ”kotak hitam” tersebut, saya berkeyakinan bahwa mungkin Bank Indonesia salah baca situasi. Berikut uraiannya.


Cerita mengenai penjarahan oleh pemilik bank dan pihak-pihak terkait selama lima tahun terakhir bisa pembaca simak dalam laporan BPK. Singkatnya, melalui berbagai modus operandi, jumlah uang yang dijarah oleh pemilik bank, yakni komplotan HAW dan RAR, mencapai Rp 3,115 triliun serta oleh gerombolan RT mencapai Rp 2,753 triliun. Cerdasnya mereka, justru pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) menciptakan kesempatan untuk menggondol uang lebih banyak.
Saya juga memiliki keyakinan, masalah likuiditas yang dihadapi Bank Century pada akhir Oktober 2008 bukan karena rush oleh nasabah. Jumlah dana nasabah pada bulan itu mencapai Rp 10,76 triliun yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi Januari yang mencapai Rp 10,64 triliun. Kesulitan likuiditas lebih disebabkan memburuknya kualitas aset. Hal ini salah satunya ditunjukkan dengan macetnya aset surat berharga valas sebesar 11 juta dollar AS.
Tidak ada ”rush”
Pada 29 Oktober 2008, BI mengeluarkan PBI Nomor 10/26/PBI/2008 yang memberikan peluang penarikan FPJP bagi bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Cerdasnya, sehari kemudian Bank Century mengajukan penarikan FPJP sebesar Rp 1 triliun kepada BI. Kebetulan posisi rasio kecukupan modal (CAR) berada di bawah 8 persen sehingga Bank Century tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan FPJP.
Sejak saat itu, mestinya BI sudah mencurigai bahwa dana talangan kemungkinan akan digerogoti oleh para pemilik bank, seperti yang terjadi dalam kasus BLBI sebelas tahun yang lalu. Menurut Akerlof (1998), yang juga merupakan pemenang Nobel Ekonomi, penyaluran dana talangan akan memicu upaya penjarahan oleh pengurus bank dalam skala yang lebih besar. Sayangnya, kemudian pada 14 November melalui PBI Nomor 10/30/PBI/ 2008 BI melonggarkan syarat CAR menjadi positif sehingga Bank Century memenuhi syarat untuk mengunduh likuiditas dari bank sentral. Antara tanggal 14 sampai 18 November total uang yang disuntikkan BI sebesar Rp 689,4 miliar. Ini sama saja dengan menyerahkan kunci brankas penuh uang kepada maling.
Catatan BPK tidak menunjukkan adanya rush oleh nasabah sampai pertengahan November 2008 sehingga kesulitan likuiditas yang dialami Bank Century pada waktu itu patut diduga telah direkayasa oleh pemiliknya. Tujuannya adalah supaya FPJP segera keluar. Pada 3 November, surat berharga valas yang dikuasai HAW ternyata macet sebesar 45 juta dollar AS sehingga arus kas Bank Century tambah parah dan ini kemudian menyebabkan BI menetapkan bank itu dalam status pengawasan khusus sejak 6 November.
Anehnya, antara tanggal 6 sampai 13 November terjadi pencairan dana oleh pihak terkait sebanyak Rp 344 miliar. Karena penarikan itu, likuiditas bank tersebut makin buruk dan pada hari berikutnya BI memberikan FPJP tahap pertama. Penarikan oleh pihak terkait terus berlangsung sampai 21 November dan kali ini jumlah uang yang digondol sebesar Rp 273,8 miliar. Mestinya, dalam status pengawasan khusus penarikan seperti itu tidak dimungkinkan karena sama saja dengan memberi peluang terjadinya penjarahan.
Bukan sistemik
Kalau uraian di atas benar adanya, bisa dipastikan bahwa bank itu kekurangan likuiditas dan kemudian insolvent tidak ada kaitannya dengan krisis keuangan global ataupun karena hilangnya kepercayaan nasabah terhadap bank tersebut. Ini menjadi penting untuk dipahami karena BI dalam analisis mengenai risiko sistemik menyebutkan bahwa ada 18 peer bank yang berpotensi untuk mengalami rush kalau Bank Century ditutup. Yang dimaksud dengan peer bank adalah bank yang mengalami penurunan dana pihak ketiga (DPK) dan dana mereka beralih ke bank-bank yang dianggap aman (flight to safety).
Saya tak bisa memahami apa dasar dari analisis itu. Di antara 18 bank itu, pada bulan Oktober malahan ada 10 bank yang DPK-nya justru bertambah, bukan menurun seperti yang diperkirakan BI. Lagi pula, pengalaman pada tahun 1997 dan 1998, rush terjadi tanpa pilih-pilih bank. Bank kecil atau besar, bank yang kondisi keuangannya baik ataupun buruk, waktu itu sama-sama kena rush. Pengalaman di negara lain pun menunjukkan bahwa rush selalu tanpa pandang bulu. Systemic run biasanya tidak timbul akibat hilangnya kepercayaan terhadap salah satu bank, tetapi karena hilangnya kepercayaan terhadap ketahanan sistem perbankan.
Keanehan berikutnya dalam analisis sistemik yang dibuat BI adalah mengelompokkan lima BPD yang asetnya mirip dengan Bank Century sebagai kelompok bank yang juga berpotensi bermasalah kalau Bak Century ditutup. Di mata deposan pasti BPD jelas berbeda dengan Bank Century dan tidak ada alasan logis untuk mengelompokkan potensi masalah hanya berdasarkan ukuran aset saja.
Semakin saya menghayati dokumen presentasi BI di rapat KSSK yang berjudul ”Analisis Risiko Sistemik Sistem Perbankan Indonesia”, semakin saya tidak meyakini keabsahan landasan argumen yang dibangun. Ada banyak kontra-argumen yang bisa saya kemukakan, tetapi untuk kali ini cukup dua hal di atas saja. Sekadar untuk menggelitik bahwa mungkin waktu itu BI salah baca situasi.
Nyatanya ”kotak hitam” Bank Century telah menjadi sebuah kotak pandora....
Iman Sugema Ekonom; Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Opini Kompas 17 Desember 2009