01 Maret 2011

» Home » Okezone » Opini » Quo Vadis Pemberantasan Tindak Pidana Suap di Indonesia

Quo Vadis Pemberantasan Tindak Pidana Suap di Indonesia

Gebrakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada beberapa pekan lalu, dalam melakukan penahanan atas sejumlah politisi/ anggota DPR yang diduga telah menerima suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI), telah membuat suhu politik di negeri ini kian memanas.

Tanpa mempermasalahkan motif dari penyidikan yang dilakukan KPK atas perkara suap DGS BI tersebut, entah bermuatan politis atau benar–benar murni untuk menegakkan hukum (memberantas korupsi), maka sudah saatnya kita semua memikirkan tentang bagaimana Republik ini keluar dari “lingkaran setan” praktek suap, yang hampir–hampir mustahil untuk diberantas di Indonesia.
   
Suap atau “salam tempel” bukanlah barang baru di negeri ini. Sejarah mencatat bahwa pada jaman penjajahan kolonial Belanda, suap dalam bentuk konvensional sudah mulai dipraktekkan, antara lain: penyuapan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda kepada orang–orang pribumi untuk memberitahukan rahasia kerajaan dan untuk mengadu domba  raja – raja di pulau Jawa. Tidak berhenti sampai di zaman itu, efek buruk dari suap konvensional tersebut malah semakin berakar kuat dan membudaya di hampir semua kalangan atau profesi di negeri ini, sehingga sudah tidak relevan apabila perilaku suap diindentikan dengan keberadaan etnis atau profesi tertentu saja. Sebut saja, dalam melakukan pengurusan KTP tanpa adanya “uang pelicin” atau “uang rokok”, maka KTP tersebut akan diperlambat proses penerbitannya.

Tanpa disadari, secara perlahan namun pasti, perilaku suap dengan tujuan agar penerima suap melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan, atau agar penerima suap tidak melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan, adalah suatu kejahatan (malus) yang menggerogoti kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat, dan dalam jangka waktu panjang akan merusak kepercayaan masyakat pada hukum itu sendiri. Penulis berpandangan bahwa rusaknya penegakkan hukum dalam jangka pendek adalah pengrusakkan terhadap stabilitas ekonomi dan politik dalam jangka panjang.

Suap (bribe) adalah salah satu jenis tindak pidana yang paling sulit pembuktiannya, hal mana karena baik pemberi suap (aktif) maupun penerima suap (pasif) adalah sama-sama pelaku tindak pidana itu sendiri, oleh karena itu dalam pemberantasannya, besar kemungkinan bahwa pemberi suap dan penerima suap akan saling melindungi satu sama lain, agar tindak pidana tersebut menjadi tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Dalam satu perkara suap, seharusnya baik penerima suap maupun pemberi suap mendapat hukuman. Adalah suatu ketidakadilan bila hanya penerima suap yang dihukum, karena pemberi suap adalah sama – sama pelaku kejahatan (suap).

Dalam sebuah diskusi hukum pidana berskala internasional, pernah dibahas mengenai tingkat pertanggungjawaban pidana dari pemberi dan penerima suap sebagai pelaku kejahatan. Dalam artian, siapakah yang “lebih jahat”, pemberi atau penerima suap?  Dalam diskusi tersebut disimpulkan bahwa penerima suap (pasif) adalah “lebih jahat” dari pemberi suap (aktif). Adapun argumentasi dari pakar–pakar hukum pidana tersebut adalah karena Penerima Suap (pasif) adalah pihak yang memiliki wewenang untuk menentukan, mengubah atau membelokkan suatu keadaan.

Faktanya, kendala terbesar dalam pemberantasan tindak pidana suap di negeri ini adalah karena pihak-pihak yang melakukan  tindak pidana suap adalah oknum-oknum aparat penegak hukum sendiri (oknum advokat, polisi, jaksa, hakim) dalam suatu sistem peradilan, maupun pihak–pihak yang memiliki jabatan atau wewenang yang strategis, seperti pejabat eksekutif maupun anggota legislatif. Dalam pemberantasan tindak pidana suap, peran pengacara (advokat) sebagai salah satu pilar penegak hukum adalah sangat vital, alasannya adalah karena advokat harus berhadapan dengan setiap oknum di atas dalam tingkat insitusi yang berbeda, sehingga advokat menjadi terhimpit diantara kepentingan (keinginan) klien dan integritas dalam penegakkan hukum itu sendiri.

Gambaran penulis diatas tentunya bukan sekedar isapan jempol, karena dalam praktek, sangat sulit untuk membedakan antara penyuapan (bribery) dengan pemerasan (extortion), misalnya dalam tindakan penahanan sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Celakanya klasula yang berbunyi: “Penahanan tersebut dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa…” dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP seringkali dipakai oleh oknum aparat penegak hukum untuk menyalahgunakan wewenangnya untuk menahan atau tidak menahan seorang tersangka atau terdakwa yang memberikan uang kepada oknum-oknum tersebut. Dalam hal ini, secara berimbang  juga terdapat kemungkinan pihak tersangka maupun terdakwa-lah yang memang mengiming-imingi oknum tersebut dengan sejumlah pemberian (suap).

Dalam suatu perkara perdata, suap yang diberikan oleh pemberi suap (pihak yang berperkara) kepada oknum penegak hukum (penerima suap) pada tingkat pertama, sesungguhnya merupakan sebuah “kemenangan” yang bersifat fatamorgana (ilusi) dari “lingkaran setan” penyuapan tersebut, karena bagi pihak yang dirugikan oleh perilaku suap tersebut telah disediakan upaya hukum baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Pada akhirnya kebenaran pun akan didapat oleh pencari keadilan, meskipun dalam waktu yang lama.

Perubahan dan pembaharuan hukum, seperti pembaharuan UU yang terkait dengan pemberantasan korupsi dan hukum acara pidana (KUHAP) sebagai ujung tombak penegakkan hukum pun sangat dinanti – nantikan oleh masyarakat, sehingga diharapkan dapat menutup celah – celah bagi oknum yang nakal. Selain itu yang tidak kalah penting adalah integritas dari aparat penegak hukum itu sendiri, sebab apakah yang dapat diharapkan lagi, jika aparat penegak hukum sendiri pun melanggar hukum.
Fiat justitia ne pereat mundus (tegakkanlah keadilan supaya dunia tidak runtuh)

Albert Aries, SH, MH
Penulis adalah Advokat pada kantor Jauhari, Albert & Partners (“JAP Law Firm).
Jalan Mandala Raya No.16, Tomang, Jakarta Barat

Opini Okezone 21 Februari 2011