Perbedaan pandangan dan posisi mengenai pembentukan Panitia Khusus Hak  Angket Pajak antara Partai Demokrat dengan dua partai utama pendukung  pemerintah, Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ternyata  berbuntut panjang.
Partai Demokrat berkeinginan mengevaluasi  komposisi partai politik anggota koalisi. Dalam voting di Sidang  Paripurna DPR, Selasa (22/2/2011), 266 anggota DPR menolak hak angket  mafia pajak. Mereka terdiri atas Fraksi Partai Demokrat (145), Fraksi  Partai Amanat Nasional (43), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (26),  Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (26) dan Partai Gerindra (26).
Sedangkan  264 anggota DPR yang menerima hak angket terdiri atas Fraksi Partai  Golkar (106), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (84), Fraksi  Partai Keadilan Sejahtera (56), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (2),  dan Fraksi Partai Hanura (16). Komposisi mereka yang menolak dan yang  menentang itu menunjukkan betapa kekalahan tipis dari mereka yang  mendukung hak angket terjadi karena Fraksi Partai Gerindra beralih  posisi mendekat ke pemerintah dan 10 anggota Fraksi Partai Demokrasi  Indonesia Perjuangan absen, baik karena sedang menghadapi masalah hukum,  ke luar negeri, atau ada keperluan lain.
Kita bertanya, apa yang  dimaksud oleh Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Saan Mustopa bahwa  koalisi akan ditinjau kembali? Apakah ini terkait dengan dievaluasinya  kembali posisi Partai Golkar dan PKS di dalam koalisi, ataukah akan  terjadi pembicaraan internal di dalam Sekretariat Gabungan (Setgab)  mengenai bagaimana sebaiknya partai-partai koalisi bersikap dan  bertindak? Jika Partai Golkar dan PKS dikeluarkan dari koalisi, akan  sulit bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk dapat menguasai  parlemen yang 74,6% dikuasai oleh partai-partai koalisi.
Hasil  voting itu menunjukkan, mereka yang menolak pembentukan Pansus Hak  Angket Pajak hanya menang tipis atas mereka yang menerima. Jika 10 atau  paling tidak tujuh anggota PDIP hadir dalam sidang, angka itu tentunya  dimenangkan oleh mereka yang menerima pembentukan Pansus Hak Angket  Pajak. Ini berarti, jika PDIP tidak mau bergabung dalam Setgab, walau  ada kader atau simpatisannya yang masuk kabinet, posisi mereka yang  berseberangan dengan pemerintah jumlahnya lebih besar daripada mereka  yang mendukung pemerintah.
Ini tentunya berbahaya bagi masa depan  pemerintahan Presiden SBY. Pemerintahan SBY-Boediono memang akan tetap  bertahan sampai 2014 jika Partai Golkar dan partai-partai lainnya ingin  tetap mempertahankan sistem lima tahunan pemerintahan yang dipilih  melalui pemilu presiden langsung. Namun, jalannya pemerintahan akan  terseok-seok jika jumlah mereka yang berseberangan dengan pemerintah  lebih besar dari koalisi partai pemerintah. Ini akan menimbulkan  pemerintahan yang lumpuh karena kebijakan-kebijakan politik dan  ekonominya dapat terkendala di parlemen.
Presiden SBY sepertinya  juga tidak memiliki keberanian penuh untuk mengeluarkan Partai Golkar  dan PKS dari koalisi. Keberanian Partai Golkar dan PKS untuk  mempersilakan Presiden SBY untuk tidak lagi memasukkan dua partai besar  dalam kabinet menunjukkan betapa mereka siap untuk menjalankan fungsi  dan perannya di parlemen sebagai partai-partai penyeimbang pemerintah.  Kita juga masih menunggu apakah kemudian Partai Gerindra akan masuk ke  kabinet dan ada kader-kader PDIP yang juga masuk ke kabinet.
Kalaupun  itu terjadi, seperti dinyatakan di atas, PDIP belum tentu mengubah  posisinya dari partai penyeimbang pemerintah menjadi partai pendukung  pemerintah karena ini akan bertentangan dengan hasil Kongres Nasional  III PDIP di Bali April 2010 lalu. Kalaupun dua partai itu all out  menjadi pendukung pemerintah, tentunya ini akan semakin meningkatkan  manuver politik Partai Golkar dan PKS dalam menjalankan fungsi  pengawasan DPR.
Bisa saja PDIP dan Partai Hanura benar-benar  berpindah posisi politiknya.Namun, kecanggihan berpolitik gabungan  antara Partai Golkar dan PKS tentunya akan jauh di atas kapasitas PDIP  dan Partai Gerindra dalam berpolitik. Risiko politik tentunya akan  menghadang Presiden SBY dalam menjalankan pemerintahannya sampai 2014.  Satu-satunya cara untuk menyelamatkan koalisi adalah dengan  mendiskusikan kembali di antara partai-partai politik di dalam Setgab  mengenai bagaimana langkahlangkah mereka di masa depan.
Presiden  SBY bukan tipe pemimpin yang berani berhadap-hadapan secara langsung  dengan kelompok oposisi. SBY juga mafhum, PKS hingga kini masih  diperhitungkan sebagai representasi dari konstituen Islam, sedangkan  Partai Golkar adalah satu kekuatan lama yang manuver politiknya perlu  diperhatikan. Presiden SBY tentunya tidak ingin menghadapi kendala lebih  besar dengan mengeluarkan Partai Golkar dan PKS dari koalisi.  Partai-partai di dalam Setgab perlu bicara secara terbuka, ada sumbatan  politik apa yang muncul terus-menerus di dalam Setgab.
Apakah  selama ini komunikasi politik di antara Partai Demokrat dan Partai  Golkar serta PKS agak tersumbat? Di dalam Partai Demokrat sendiri ada  orang yang mengakui, komunikasi mereka dengan Partai Golkar tidak  menjadi masalah karena wakil-wakil Partai Golkar yang hadir di dalam  rapat-rapat Setgab selalu membawa mandat dari Ketua Umum DPP Partai  Golkar Aburizal Bakrie.Hanya perbedaan kepentingan politik saja yang  menyebabkan mereka berbeda posisi, namun saling menghormati.
Ini  berbeda dengan PKS yang menurut salah seorang fungsionaris Partai  Demokrat, Saan Mustopa, kurang memiliki sopan santun politik karena  tidak jarang mengirim orang yang bukan penentu di dalam PKS pada  rapat-rapat yang dilakukan Setgab. Jika memang demikian, ini sebenarnya  merupakan persoalan kecil yang dapat diselesaikan secara baik daripada  ributribut atau ancam mengancam akan mengeluarkan Partai Golkar dan PKS  dari koalisi partai pendukung pemerintah.
Partai Golkar dan PKS  juga harus mengurangi pernyataan bahwa mereka hanya menandatangani  kontrak politik dengan pasangan SBYBoediono dan bukan berkoalisi dengan  Partai Demokrat. Pernyataan semacam itu, walau mungkin benar substansi  politiknya, dapat menimbulkan persepsi, mereka hanya mau duduk di  kabinet dan tidak mau mendukung penuh pemerintah di parlemen. Lalu apa  bedanya mereka dengan PDIP jika ada kader-kadernya yang masuk ke dalam  kabinet tapi tak mau bergabung di dalam Setgab?
Dinamika di  parlemen dan isu reshuffle yang tak kunjung usai hanya menimbulkan tanda  tanya besar di dalam masyarakat, apa yang dikerjakan para politikus di  parlemen untuk bangsa ini? Mengapa di antara sesama partai politik  pendukung pemerintah sering ribut karena memperjuangkan kepentingannya  sendiri? Tidakkah pemerintah dibentuk untuk menjalankan mandat dari  rakyat? Lalu, apakah para wakil rakyat itu hanya berpolitik untuk  kepentingannya sendiri dan bukan memperjuangkan nasib rakyat yang telah  memilihnya? Sebagai utusan rakyat, sepatutnya mereka memperjuangkan  kepentingan rakyat dan bukan bertindak atas nama kepentingan diri dan  partainya.
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
Opini Okezone 1 Maret 2011 
01 Maret 2011
Evaluasi Koalisi dan Reshuffle
Thank You!