01 Maret 2011

» Home » Okezone » Opini » Evaluasi Koalisi dan Reshuffle

Evaluasi Koalisi dan Reshuffle

Perbedaan pandangan dan posisi mengenai pembentukan Panitia Khusus Hak Angket Pajak antara Partai Demokrat dengan dua partai utama pendukung pemerintah, Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ternyata berbuntut panjang.

Partai Demokrat berkeinginan mengevaluasi komposisi partai politik anggota koalisi. Dalam voting di Sidang Paripurna DPR, Selasa (22/2/2011), 266 anggota DPR menolak hak angket mafia pajak. Mereka terdiri atas Fraksi Partai Demokrat (145), Fraksi Partai Amanat Nasional (43), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (26), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (26) dan Partai Gerindra (26).

Sedangkan 264 anggota DPR yang menerima hak angket terdiri atas Fraksi Partai Golkar (106), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (84), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (56), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (2), dan Fraksi Partai Hanura (16). Komposisi mereka yang menolak dan yang menentang itu menunjukkan betapa kekalahan tipis dari mereka yang mendukung hak angket terjadi karena Fraksi Partai Gerindra beralih posisi mendekat ke pemerintah dan 10 anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan absen, baik karena sedang menghadapi masalah hukum, ke luar negeri, atau ada keperluan lain.

Kita bertanya, apa yang dimaksud oleh Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Saan Mustopa bahwa koalisi akan ditinjau kembali? Apakah ini terkait dengan dievaluasinya kembali posisi Partai Golkar dan PKS di dalam koalisi, ataukah akan terjadi pembicaraan internal di dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) mengenai bagaimana sebaiknya partai-partai koalisi bersikap dan bertindak? Jika Partai Golkar dan PKS dikeluarkan dari koalisi, akan sulit bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk dapat menguasai parlemen yang 74,6% dikuasai oleh partai-partai koalisi.

Hasil voting itu menunjukkan, mereka yang menolak pembentukan Pansus Hak Angket Pajak hanya menang tipis atas mereka yang menerima. Jika 10 atau paling tidak tujuh anggota PDIP hadir dalam sidang, angka itu tentunya dimenangkan oleh mereka yang menerima pembentukan Pansus Hak Angket Pajak. Ini berarti, jika PDIP tidak mau bergabung dalam Setgab, walau ada kader atau simpatisannya yang masuk kabinet, posisi mereka yang berseberangan dengan pemerintah jumlahnya lebih besar daripada mereka yang mendukung pemerintah.

Ini tentunya berbahaya bagi masa depan pemerintahan Presiden SBY. Pemerintahan SBY-Boediono memang akan tetap bertahan sampai 2014 jika Partai Golkar dan partai-partai lainnya ingin tetap mempertahankan sistem lima tahunan pemerintahan yang dipilih melalui pemilu presiden langsung. Namun, jalannya pemerintahan akan terseok-seok jika jumlah mereka yang berseberangan dengan pemerintah lebih besar dari koalisi partai pemerintah. Ini akan menimbulkan pemerintahan yang lumpuh karena kebijakan-kebijakan politik dan ekonominya dapat terkendala di parlemen.

Presiden SBY sepertinya juga tidak memiliki keberanian penuh untuk mengeluarkan Partai Golkar dan PKS dari koalisi. Keberanian Partai Golkar dan PKS untuk mempersilakan Presiden SBY untuk tidak lagi memasukkan dua partai besar dalam kabinet menunjukkan betapa mereka siap untuk menjalankan fungsi dan perannya di parlemen sebagai partai-partai penyeimbang pemerintah. Kita juga masih menunggu apakah kemudian Partai Gerindra akan masuk ke kabinet dan ada kader-kader PDIP yang juga masuk ke kabinet.

Kalaupun itu terjadi, seperti dinyatakan di atas, PDIP belum tentu mengubah posisinya dari partai penyeimbang pemerintah menjadi partai pendukung pemerintah karena ini akan bertentangan dengan hasil Kongres Nasional III PDIP di Bali April 2010 lalu. Kalaupun dua partai itu all out menjadi pendukung pemerintah, tentunya ini akan semakin meningkatkan manuver politik Partai Golkar dan PKS dalam menjalankan fungsi pengawasan DPR.

Bisa saja PDIP dan Partai Hanura benar-benar berpindah posisi politiknya.Namun, kecanggihan berpolitik gabungan antara Partai Golkar dan PKS tentunya akan jauh di atas kapasitas PDIP dan Partai Gerindra dalam berpolitik. Risiko politik tentunya akan menghadang Presiden SBY dalam menjalankan pemerintahannya sampai 2014. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan koalisi adalah dengan mendiskusikan kembali di antara partai-partai politik di dalam Setgab mengenai bagaimana langkahlangkah mereka di masa depan.

Presiden SBY bukan tipe pemimpin yang berani berhadap-hadapan secara langsung dengan kelompok oposisi. SBY juga mafhum, PKS hingga kini masih diperhitungkan sebagai representasi dari konstituen Islam, sedangkan Partai Golkar adalah satu kekuatan lama yang manuver politiknya perlu diperhatikan. Presiden SBY tentunya tidak ingin menghadapi kendala lebih besar dengan mengeluarkan Partai Golkar dan PKS dari koalisi. Partai-partai di dalam Setgab perlu bicara secara terbuka, ada sumbatan politik apa yang muncul terus-menerus di dalam Setgab.

Apakah selama ini komunikasi politik di antara Partai Demokrat dan Partai Golkar serta PKS agak tersumbat? Di dalam Partai Demokrat sendiri ada orang yang mengakui, komunikasi mereka dengan Partai Golkar tidak menjadi masalah karena wakil-wakil Partai Golkar yang hadir di dalam rapat-rapat Setgab selalu membawa mandat dari Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie.Hanya perbedaan kepentingan politik saja yang menyebabkan mereka berbeda posisi, namun saling menghormati.

Ini berbeda dengan PKS yang menurut salah seorang fungsionaris Partai Demokrat, Saan Mustopa, kurang memiliki sopan santun politik karena tidak jarang mengirim orang yang bukan penentu di dalam PKS pada rapat-rapat yang dilakukan Setgab. Jika memang demikian, ini sebenarnya merupakan persoalan kecil yang dapat diselesaikan secara baik daripada ributribut atau ancam mengancam akan mengeluarkan Partai Golkar dan PKS dari koalisi partai pendukung pemerintah.

Partai Golkar dan PKS juga harus mengurangi pernyataan bahwa mereka hanya menandatangani kontrak politik dengan pasangan SBYBoediono dan bukan berkoalisi dengan Partai Demokrat. Pernyataan semacam itu, walau mungkin benar substansi politiknya, dapat menimbulkan persepsi, mereka hanya mau duduk di kabinet dan tidak mau mendukung penuh pemerintah di parlemen. Lalu apa bedanya mereka dengan PDIP jika ada kader-kadernya yang masuk ke dalam kabinet tapi tak mau bergabung di dalam Setgab?

Dinamika di parlemen dan isu reshuffle yang tak kunjung usai hanya menimbulkan tanda tanya besar di dalam masyarakat, apa yang dikerjakan para politikus di parlemen untuk bangsa ini? Mengapa di antara sesama partai politik pendukung pemerintah sering ribut karena memperjuangkan kepentingannya sendiri? Tidakkah pemerintah dibentuk untuk menjalankan mandat dari rakyat? Lalu, apakah para wakil rakyat itu hanya berpolitik untuk kepentingannya sendiri dan bukan memperjuangkan nasib rakyat yang telah memilihnya? Sebagai utusan rakyat, sepatutnya mereka memperjuangkan kepentingan rakyat dan bukan bertindak atas nama kepentingan diri dan partainya.

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Opini Okezone 1 Maret 2011