APA susahnya minta maaf? Bagi Dipo Alam, barangkali persoalannya bukan susah atau mudah melainkan permintaan maaf itu identik dengan kesalahan. Maka, ketika Sekretaris Kabinet itu merasa tidak bersalah, apapun risikonya ia hadapi. Pantang menjilat ludah sendiri.
Sabtu pekan lalu, Dipo dilaporkan ke Mabes Polri oleh kuasa hukum Metro TV dan Media Indonesia, OC Kaligis, dengan tuduhan melanggar Pasal 18 UU Nomor 40/1999 tentang Pers serta Pasal 51 dan 52 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Musababnya, ia mengeluarkan ancaman boikot terhadap media massa yang ia nilai suka menjelek-jelekkan pemerintahan Presiden SBY, di antaranya Metro TV, TVOne, dan Media Indonesia.
Dipo disomasi tetapi ia balik menantang. ”Kalau Metro TV mau terus, ya saya terus saja. Saya tunggu,” katanya ketika menjadi narasumber diskusi ”Ancaman Boikot Pemerintah, Independensi Pers dan Kepentingan Publik” yang digelar Dewan Pers, Jakarta, Kamis (24/02).Metro TV kemudian menggugat secara perdata Sekretaris Kabinet (Seskab) itu senilai Rp 101 triliun. Sebaliknya, Dipo juga mengadukan Metro TV ke Dewan Pers karena stasiun televisi itu dianggapnya menyebarkan informasi secara sistematis dan masif sehingga menggalang opini bahwa Dipo musuh pers nasional. (SM, 01/03/11)
Siapa kira-kira yang menang, atau lebih tepatnya, siapa yang benar? Biarlah hukum bicara terkait laporan ke Polri; dan biarlah Dewan Pers dan KPI bicara terkait pengaduan Dipo. Hanya Pemred Metro TV Suryopratomo mengklaim, kasus ini bukan delik aduan sehingga polisi mestinya proaktif.
Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan berpendapat, ancaman Dipo itu dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum oleh penguasa atau onrechtmatige overheadsdaad sehingga bisa dituntut ganti rugi sesuai Pasal 1365 KUH Perdata.
Melindungi SBY
Amir Syamsuddin berpendapat, sejauh ini tidak ada bukti nyata telah terjadi pemboikotan terhadap Media Group, dan tidak ada pula informasi yang ditutupi Dipo. Bahkan sebaliknya, Media Group menggunakan frekuensi yang dimiliki untuk membangun opini publik sehingga hal itu merupakan penyerangan yang masif dan sistematis untuk menjatuhkan reputasi kliennya.
Benar belum tentu menang, menang belum tentu benar. Tetapi, siapa pun yang benar ataukah menang kelak, yang menjadi pertanyaan, mengapa kebanyakan media saat ini, bukan hanya Media Group, cenderung memberitakan ketidakberhasilan pemerintah? Apakah pemerintahan SBY memang tidak berhasil sehingga media-media tidak menemukan celah memberitakan keberhasilan? Ataukah keberhasilan pemerintah seperti tergambar dalam iklan-iklan pencitraan sebatas klaim sepihak?
Bila ini ditanyakan kepada tokoh lintas agama, hampir pasti jawabnya: ”Ya, pemerintahan SBY gagal, bahkan banyak melakukan kebohongan”. Sebaliknya, bila ini ditanyakan kepada Dipo maka media-media itulah yang salah.
Mengapa Dipo yang dulu kita kenal sebagai aktivis demokrasi, bahkan pernah dizalimi Orde Baru, kini setelah masuk inner cycle justru menyerang pers yang merupakan pilar keempat demokrasi? Adakah ia terjangkit paranoida? Ada dua kata kunci terkait alasan Dipo melontarkan ancamannya, yakni ”ingin” dan ”harus”.” Ingin” melindungi SBY karena pemerintahan konstitusional ”harus” sampai 2014.
Dipo benar-benar ”ingin” melindungi SBY atau melindungi diri agar kursinya ”harus” selamat sampai 2014? Kita tidak tahu pasti, sebagaimana kita juga tidak tahu pasti apakah SBY memang memerlukan perlindungan Dipo karena sejauh ini SBY belum bersikap. Kita juga tidak tahu pasti agenda setting media massa tersebut terkait sikap kritisnya terhadap SBY. Yang jelas, ungkapan Aung San Suu Kyi, pejuang demokrasi Myanmar, patut kita renungkan. Pemenang Nobel Perdamainan 1991 itu menyatakan, ”Bukan kekuasaan yang merusak watak melainkan ketakutan. Takut kehilangan kekuasaan merusak mereka yang berkuasa, takut dilanda kekuasaan merusak mereka yang dikuasai.”
Siapa pun, Dipo Alam atau pejabat lainnya, jangan pernah takut kehilangan kekuasaan, karena ketakutan itulah yang justru dapat merusak watak sehingga yang semula gandrung demokrasi berubah menjadi antidemokrasi, yang semula kritis terhadap kekuasaan berubah menjadi pembela terdepan kekuasaan. Bagi media, jangan pernah takut dilanda kekuasaan karena ketakutan itu juga merusak watak pers yang merdeka, independen, dan objektif. Tetapi, kebebasan pers adalah kebebasan yang bertanggung jawab. (10)
— Karyudi Sutajah Putra, Tenaga Ahli Anggota Komisi I (Bidang Komunikasi) DPR
Opini Suara Merdeka 2 Maret 2011
01 Maret 2011
Ketakutan Itu Merusak Watak
Thank You!