Kritik, ancaman, dan tekanan terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono semakin meningkat.
Belum lama berlalu, sembilan tokoh lintas agama dari Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu menyampaikan kritik terbuka di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta (10/1/2011). Mereka menyebut pemerintah telah membohongi rakyat. Sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru. Kebohongan itu antara lain kegagalan mencegah kekerasan, kegagalan melindungi TKI, kegagalan mewujudkan transparansi, kegagalan memberantas korupsi dan mengungkap rekening gendut perwira Polri, kegagalan mewujudkan politik yang bersih, kegagalan memberantas kasus mafia hukum Gayus Tambunan, dan kegagalan menegakkan kedaulatan NKRI.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif mengingatkan pemerintah, mulai presiden hingga kepala desa, untuk membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengar aspirasi rakyat. Bagaimana menyikapi kritik pemuka agama tersebut? Pertama, sejumlah elite garis keras melihat hanya satu jalan keluar, yakni melengserkan Presiden SBY. Sejumlah aktivis LSM dan elite bangsa menyuarakan kehendak tersebut. Lima bulan sebelumnya,kelompok 17 yang dipimpin oleh mantan Wapres/Pangab Jenderal (Purn) Try Soetrisno dan disertai antara lain oleh Wijoyo Suyono, Prof Subroto, dan dr Soelastomo menyampaikan keprihatinannya kepada Ketua MPR Taufik Kiemas di Gedung MPR/DPR bahwa Indonesia semakin buruk dan rakyat semakin menderita.
Perubahan yang dilakukan saat ini tidak jelas. Try Soetrisno pada kesempatan itu menyampaikan tentang kemungkinan melakukan impeachment terhadap Presiden SBY. Sri Sultan Hamengkubuwono X menyatakan aksi massa seperti di Tunisia dan Mesir bisa terjadi di Indonesia. Sementara itu, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengharap (Kompas, 14/2/2011) agar pemerintah belajar dari gejolak politik di Mesir, yang akhirnya berhasil melengserkan Hosni Mubarak dari kursi kepresidenan.
Azyumardi mengatakan: “Jika berbagai masalah— seperti kemiskinan, pengangguran, kelangkaan pangan, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi—tidak diatasi, ini bisa memicu lahirnya konspirasi kesadaran pada kelas menengah Indonesia untuk meruntuhkan pemerintah”. Kedua, pemerintah bantah berbohong. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto di Kantor Kepresidenan (12/1/2011) menegaskan, pemerintah bekerja dengan sungguh-sungguh dan tidak memiliki niat sedikit pun untuk berbohong kepada rakyat. Staf Khusus Presiden Bidang Politik Daniel Sparringa bereaksi: “Pernyataan bahwa SBY dan pemerintahannya bohong adalah tuduhan serius. Pemerintah menolak disebut berbohong kepada publik.”
Reaksi Sekretaris Kabinet Dipo Alam lebih keras (12/2/2011). Dia mengatakan: “Saya melihat ulah tokoh lintas tersebut melakukan kegiatan politik praktis dengan label gerakan moral. Saya menilai tokoh agama eksklusif seperti Din Syamsuddin, Syafii Maarif, dan Romo Benny Susetyo sebagai gagak hitam pemakan bangkai yang tampak seperti merpati berbulu putih.” Apa kata media massa atas kritik pemuka agama tersebut? Secara umum media cukup berimbang, selain menyiarkan kritik-kritik tersebut juga memberitakan pendapat kalangan pemerintah.
Namun, menarik mencermati hasil salah satu media massa nasional. Setelah Pemilu Presiden (8 Juli 2010) hasil menunjukkan angka kepuasan 58,8%, yang paling mendekati hasil akhir pemilu. Kemudian, menyikapi benturan pendapat antara pemuka lintas agama dan kalangan pemerintah hasil jajak pendapat yang diselenggarakan pada 26-28 Januari 2011 menunjukkan data bahwa 71,4% responden tidak puas atas penyelenggaraan pemerintahan saat ini.
Action Ditunggu
Menyikapi gambaran keadaan seperti itu, kebijakan apa yang sepatutnya ditempuh Presiden SBY? Terkesan SBY lebih unggul sebagai a man of ideas, tapi lemah sebagai a man of actions. Dalam beberapa minggu terakhir menghadapi berbagai permasalahan bangsa, SBY telah mengeluarkan beberapa instruksi yang tepat. Namun, pelaksanaannya belum jalan. Terkait merebaknya kritik dan ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, SBY tidak salah belajar dari almarhum Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta 1965-1976. Dia adalah a man of ideas, juga a man of actions. Dia mengapresiasi kritik publik dan berita-berita negatif oleh pers.
Bagi dia, kritik dan berita negatif tersebut adalah masukan untuk melakukan actions perbaikan dan penyesuaian kebijakan demi peningkatan kinerja Pemda DKI Jakarta. Fakta menunjukkan dia sangat berhasil memajukan Jakarta. Ternyata kebijakan Presiden Amerika Serikat tidak berbeda dengan kebijakan Ali Sadikin. Dalam bukunya, All Too Human,Penasihat Senior Presiden Bill Clinton masa bakti pertama untuk urusan Kebijakan dan Strategi, George Stephanopoulos menulis, kritik-kritik publik dan berita-berita negatif media digunakan untuk memperbaiki kebijakan dan menyesuaikan strategi guna meningkatkan kinerja pemerintahan.
Clinton adalah salah satu Presiden AS yang paling sukses mengurangi jumlah pengangguran dan efektif meningkatkan kemakmuran bangsanya. Ketika pemuka lintas agama melontarkan kritik dan temuan pers menyatakan ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan semakin meningkat, Presiden SBY patut mempertimbangkan paling tidak dua hal berikut. Pertama, sebagai seorang demokrat mestinya menyikapi kritik dan temuan pers tersebut bukan hanya sebagai peringatan dini, tapi juga menggunakan bahan-bahan tersebut sebagai masukan untuk perbaikan kebijakan dan penyesuaian strategi.
Kedua, lebih tampil sebagai a man of actions. Dalam kondisi seperti sekarang ini, SBY memerlukan publicitystunt, suatu terobosan yang jika dilakukan dapat menghapus tuduhan sebagai berbohong dan kembali menumbuhkan kepercayaan publik. Saat ini musuh nomor satu rakyat adalah korupsi oleh pejabat, politisi, dan pengusaha. Korupsi selama ini telah menguras dana yang seharusnya mengurangi kemiskinan, dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan. “12 Instruksi Presiden untuk Menuntaskan Kasus Gayus” (17/1/2011) berisi gagasan cemerlang. Sebulan lebih sudah berlalu, actions-nya belum ada. Padahal instruksi nomor 5, “tingkatkan efektivitas penegakan hukum dengan metode pembuktian terbalik”, jika ditindaklanjuti, pemberantasan korupsi dapat diupayakan lebih efektif.
Fakta menunjukkan UU No 20/2001 yang juga berisi ketentuan pembuktian terbalik sangat tidak efektif menjerat yang diduga korupsi sehingga diperlukan UU khusus berisi pembuktian terbalik. Kalau Presiden Obama bisa langsung memimpin kampanye untuk menggolkan UU Kesehatan yang pro 30 juta rakyat miskin AS, tidakkah patut dipertimbangkan agar Presiden SBY langsung memimpin pembuatan UU pembuktian terbalik, dengan mengoperasikan Fraksi Partai Demokrat di DPR sebagai pelopor. Saya yakin pers akan mendukung. Jika sejumlah parpol menolak, Presiden SBY berwenang menerbitkan Perppu tentang Pembuktian Terbalik.
Dengan UU atau Perppu tersebut, penegak hukum seperti KPK dapat lebih efektif memerangi korupsi. Siapa saja pejabat, politisi yang memiliki harta miliaran rupiah atau rekening gendut yang tidak dapat membuktikan asal sah hartanya, dialah koruptor. Melakukan terobosan seperti itu adalah sesuai janji SBY ketika dilantik menjadi Presiden RI pada 20 Oktober 2004. Dalam pidato kenegaraan pertama, SBY berjanji akan memimpin langsung perang melawan korupsi.(*)
Sabam Leo Batubara
Wartawan Senior
Opini Okezone 24 Februari 2011
01 Maret 2011
Menyikapi Kritik
Thank You!