06 Mei 2010

» Home » Kompas » Sri Mulyani dalam Telaah Bourdieu

Sri Mulyani dalam Telaah Bourdieu

Bukan Indonesia namanya jika sepi kontroversi.
Di tengah hiruk-pikuk persoalan politik dan hukum yang melibatkan namanya, Sri Mulyani Indrawati mengumumkan pengunduran diri dari jabatan Menteri Keuangan dan menerima tawaran posisi direktur pelaksana di Bank Dunia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menerima permohonan ini dengan tangan terbuka.
Berbagai kontroversi yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari tindakan sosial yang dilakukan oleh aktor. Kacamata konstruktifis strukturalis Pierre Bourdieu dapat memberikan suatu telaah yang menarik dalam memahami tindakan sosial Sri Mulyani dalam menerima jabatan penting di Bank Dunia dan reaksi bangga masyarakat atas tindakan ini.
Bourdieu mengembangkan konsep habitus dan ranah (field) untuk menengahi oposisi yang terjadi di antara perdebatan agen dan struktur. Dalam batasan sederhana, habitus mengacu pada perspektif dan predisposisi subyektif aktor sosial, sementara ranah mengacu kepada kondisi struktural dari konteks sosial tertentu di mana aktor melakukan tindakannya. Dari hubungan timbal balik antara habitus dan ranah inilah, menurut Bourdieu, tindakan atau praktik sosial muncul (Peter Jackson, 2009).


Habitus dapat juga dipahami sebagai keseluruhan struktur sosial eksternal yang diinternalisasikan oleh aktor untuk memungkinkan struktur berfungsi efektif (Bourdieu, 1977). Posisi sosial, ekonomi, dan pendidikan seseorang yang jadi karakteristik kehidupan sehari-hari memainkan peran penting dalam proses penanaman sikap dari aktor.
Dalam batasan ini, habitus Sri Mulyani sejalan tindakan sosial yang ia jalankan. IMF, Bank Dunia, dan WTO merupakan struktur sosial eksternal, membangun habitus yang terinternalisasi dalam dirinya selama ini. Ia pernah jadi Direktur Eksekutif IMF mewakili 12 negara Asia Tenggara dan anggota kelompok kerja GATS WTO.
Dalam konteks ranah, Bourdieu mendefinisikannya sebagai arena pertarungan tempat aktor bersaing untuk mendapatkan berbagai bentuk sumber kekuasaan simbolik dan material. Tujuan utamanya, mengamankan posisi istimewa (distinction) yang memberikan jaminan atas status sosial aktor dan jadi sumber kekuasaan simbolik untuk digunakan dalam mencapai keberhasilan lebih lanjut (Bourdieu, 1990a).
Tindakan sosial Sri Mulyani dalam bentuk jadi Direktur Pelaksana Bank Dunia, dengan demikian, berjalan di dua ranah. Dalam ranah domestik, terlihat jelas terdapat upaya pengamanan posisi istimewanya sebagai aktor sosial yang makin terancam. Dalam ranah internasional Bank Dunia, jejaring sosial di dalamnya dapat meningkatkan kekuasaan simbolik yang ia miliki guna pencapaian tujuan-tujuan ke depan.
Doxa neoliberalisme
Konsep Bourdieu lainnya yang juga menarik untuk memahami fenomena Sri Mulyani adalah Doxa. Doxa merupakan keyakinan fundamental, mendalam, dan tanpa melalui proses pemikiran, dianggap sebagai terbukti secara universal, yang menginformasikan tindakan dan pemikiran agen di dalam ranah tertentu. Doxa cenderung memihak atau lebih menguntungkan tatanan sosial tertentu dan memberikan perlakuan istimewa pada agen dominan serta menganggap posisi dominan mereka sebagai sesuatu yang terbukti dengan sendirinya dan diinginkan secara universal.
Keyakinan fundamental Sri Mulyani terhadap neoliberalisme merupakan wujud Doxa yang jadi landasan kewajaran mengapa ia terpilih sebagai direktur Bank Dunia. Jika keyakinan akan neoliberalisme tak bersifat fundamental, kecil kemungkinan seorang ekonom dapat menduduki posisi penting di Bank Dunia. Pengalaman Joseph E Stiglitz jadi bukti bagaimana pentingnya Doxa neoliberalisme dalam institusi finansial internasional yang sangat berpengaruh itu.
Perasaan bangga tercurah dari berbagai lapisan masyarakat atas terpilihnya Sri Mulyani sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Namun, dalam pendekatan konseptual Bourdieu, ini bukan kebanggaan, tetapi lebih merupakan wujud kekerasan simbolik yang melanda masyarakat Indonesia.
Kekerasan simbolik adalah salah satu konsep penting yang dikembangkan Bourdieu. Maknanya terletak pada upaya aktor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi dari realitas yang diinternalisasikan aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan absah. Kekerasan ini bahkan tak dirasakan sebagai suatu bentuk kekerasan sehingga dapat berjalan efektif dalam praktik dominasi sosial (Bourdieu, 1991).
Akarnya terletak pada konsep ”kesalahpengenalan” (misrecognition), yaitu kegagalan mengidentifikasi kepentingan ekonomi dan politik yang melekat dalam praktik yang ditampilkan sebagai ”bebas dari kepentingan” (Bourdieu, 1991). Kelompok sosial dominan di tingkat global berhasil menerapkan kekerasan simbolik pada masyarakat Indonesia. Terlepas kenaikan 36 persen angka kemiskinan dunia 1981-2001 sebagai imbas kebijakan restrukturisasi ekonomi ala Bank Dunia, lembaga ini tetap mendapatkan makna sosial positif.
Di sinilah kekerasan simbolik terjadi. Ketika kita bangga, kita jadi lupa nasib jutaan manusia yang jadi miskin sebagai imbas neoliberalisme Bank Dunia. Kepentingan yang melekat di dalamnya perlahan-lahan kabur dan hilang dari pandangan mata kita. Kekerasan tidak dirasakan sebagai kekerasan, yang menyedihkan justru jadi kebanggaan.
Dodi Mantra Dosen Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia

Opini Kompas 7 Mei 2010