06 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Hitam Putih Sri Mulyani

Hitam Putih Sri Mulyani

Oleh Soeroso Dasar

Hidup adalah pilihan, kita berusaha memilih yang terbaik selama menjalani hidup di atas bumi. Islam mengajarkan ”sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain” -- khairunnasi anfaunnaasi. Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Republik Indonesia memilih meninggalkan negeri ini untuk bekerja di Bank Dunia sebagai managing director. Presiden SBY pun ikhlas melepaskannya dengan catatan seluruh persoalan di dalam negeri yang berkaitan dengan jabatannya diselesaikan secara baik. Karena ketika Sri Mulyani memutuskan untuk meninggalkan Indonesia, berbagai permasalahan masih berderet seperti kasus Bank Century dan mafia perpajakan.


Hidup memang penuh dengan rona ketidakpastian dan kepalsuan. Ya, seperti panggung sandiwara yang dipertontonkan secara vulgar. Sri Mulyani, ketika decak kagum dunia diarahkan kepadanya, mengingat prestasinya yang mampu mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi di saat resesi dunia, pada sisi lain di negeri sendiri dihujat dan dicaci maki karena kasus Bank Century. Ketika sebagian anggota DPR sudah tidak mau melihat mukanya dan mendengarkan ucapannya dengan melakukan walk out, tetapi sebagian lagi begitu ngotot membelanya dan pasang badan. Begitulah panggung sandiwara yang diputar di pentas dunia, episode demi episode dipertontonkan sementara rakyat yang miskin menikmatinya. Setelah Muhammad Hatta, Soemitro Djoyohadikusumo, tampaknya Sri Mulyani Indrawati merupakan ekonom negeri ini yang begitu banyak disorot dan populer serta mempunyai karakteristik tersendiri dalam pemikiran-pemikirannya.

Alan Mayne Strout menulis, ”Target pembangunan yang menginginkan dengan kuat terdapatnya pembagian pendapatan secara merata serta aspek lain dari keadilan sosial, tanpa berkaca pada kekuatan sendiri merupakan target pembangunan yang ambisius.” Dilema pembangunan negeri ini bisa jadi terletak pada target-target pembangunan yang dengan ”emosional” ingin mengejar pemerataan dan kesejahteraan secara cepat. Padahal, pemerataan dan kesejahteraan secara merata tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Karena pengejaran itu membutuhkan dana investasi yang pada gilirannya akan memperkuat ketergantungan Indonesia kepada dunia luar. Celakanya, ketika sedikit demi sedikit dana pembangunan dikumpulkan agar bermanfaat bagi orang banyak, di tengah jalan  dijarah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Oleh karena itulah, kebijakan yang diambil seorang ekonom lebih banyak bersifat politis daripada nonpolitis. Sehingga mengharuskan ekonom untuk lebih banyak memahami pengertian politik, moralitas, dan etika politik yang tinggi. Ekonom yang masuk wilayah atau tataran pengambil kebijakan bagi pembangunan negeri ternyata tidak bisa murni mengaplikasikan text book semata seperti di depan kelas. Begitu banyak variabel lain memengaruhi berbagai kebijakan yang diambilnya. Tragisnya, apabila keputusan yang ditempuhnya mengalami kegagalan bukan mustahil akan mengakibatkan ”tragedi nasional” yang besar, gelap, dan sulit dilupakan. Namun, sehebat apa pun kebijakan yang diambil para ekonom, Gunnar Myrdal ekonom Pakistan sudah apriori. Dalam bukunya Asian Drama, ia mengatakan pembangunan ekonomi di negara berkembang justru tidak pernah mewujudkan pemerataan pendapatan, sekalipun semua pemerintahannya mengibarkan bendera keadilan sosial.

Kini Sri Mulyani Indrawati sedang ”menyiapkan koper” untuk berangkat ke Amerika Serikat guna menduduki jabatan baru yang konon take home pay-nya jauh lebih menggiurkan. Setelah diperiksa KPK, Sri mengajukan permohonan untuk dalam waktu yang tidak terlalu lama ketetapan hukum untuknya dapat ditetapkan. Namun, alangkah baiknya bila Sri pergi setelah semua masalah tuntas dan statusnya tidak menggantung. Dengan demikian, Sri bisa lebih tenang bekerja di Bank Dunia tanpa harus terbelah pikirannya. Ketika gonjang-ganjing persoalan Century, banyak yang menyarankan agar Sri Mulyani mengundurkan diri dari Menteri Keuangan. Kini setelah Sri mengajukan pengunduran diri ada pula yang berpendapat beliau tidak bertanggung jawab karena belum menyelesaikan masalah. Begitulah hidup yang sangat sulit ditebak ke mana arah angin akan bertiup. Namun, jangan sampai semuanya ini seperti kisah di Arab tentang seorang ayah, anak, dan untanya. Ketika untanya dituntun mereka dikatakan bodoh, kenapa unta tidak dinaiki. Ketika anaknya naik unta ternyata dihujat karena tidak sopan membiarkan ayahnya berjalan. Namun, ketika ayahnya di punggung unta, orang menghardik dengan ucapan orang tidak tahu diri anaknya dibiarkan berjalan. Semuanya serbasalah....

Tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tanpa ada punya cacat dan cela, dan semua kesalahan ada ganjarannya baik di dunia maupun akhirat, begitu juga dengan  seorang Sri Mulyani. Yang penting adalah bagaimana manusia itu mampu mengakui dan mengubah kesalahannya. Sebuah pengorbanan perlu dicatat walaupun Sri sendiri bukanlah malaikat yang tidak mempunyai cela. Bagi manusia yang baik adalah bagaimana hidupnya diinfakkan untuk kemaslahatan orang banyak, daripada untuk diri sendiri. Ingin saya kutip ucapan Sri Mulyani ketika terus dihujat tentang kepemimpinannya, ”Biarlah sejarah yang akan mencatat tentang apa-apa yang pernah saya buat untuk negeri ini.” ***

Penulis, pengamat sosial tinggal di Bandung.
opini pikiran rakyat 07 mei 2010