Widi Muryono
Peneliti Paradigma Institut Kudus
Mimpi terburuk bagi kehidupan bumi sekarang ini adalah krisis ekologis sebagai akibat ekoterorisme, kejahatan lingkungan. Persis seperti terorisme mazhab radikal, kejahatan lingkungan ini juga dibumbui dogma agama.
Manusia mendapat kehormatan sebagai pusat kehidupan bumi, khalifah fil ardl. Manusia memiliki hak dan tanggung jawab terhadap alam, seperti disebutkan dalam Q.S.2 : 30 bahwa segala yang di langit dan di bumi ditundukkan oleh Allah kepada manusia.
Sayangnya, posisi ideal manusia dalam lingkar kearifan lingkungan tidak dipahami dengan utuh. Hubungan manusia-alam disetir dan bermuara pada perbuatan semena-mena terhadap alam. Mengelola tidak dipahami sebagai balance antara hak dan kewajiban.
Peruntukan alam bagi manusia dalam doktrin agama cenderung bersifat antroposentris, manusia berposisi sebagai penguasa alam. Ini secara tidak langsung mengajarkan sikap superioritas manusia atas makhluk lainnya. Ini seperti dikuatkan oleh teks kitab suci yang menyebutkan penciptaan bumi adalah untuk kepentingan manusia (Q.S. 22:65).
Kode-kode peruntukan alam bagi manusia lebih dimengerti sebagai legal doctrin perilaku eksploitatif. Paradigma ini kemudian menjadi semacam legitimed of volience act, agama dijadikan sebagai rujukan untuk melakukan eksploitasi dan kegiatan yang bersifat destruktif terhadap lingkungan.
Antitesis
Kapitalisme teologi lingkungan ini adalah sebuah kecelakaan besar bagi masa depan bumi. Menempatkan agama sebagai triggering factor bagi tindakan ekoterorisme batas adalah kesalahan. Ini akan mendistorsi makna perennial agama sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Dalam situasi ini, kebutuhan mendasar agama-agama di dunia adalah menciptakan seperangkat nilai kepercayaan (system of beliefs) yang sebangun dengan paradigma ekosentrisme. Distorsi ajaran yang antroposentris itu perlu didekonstruksi ke dalam cara pandang yang lebih holistik dan arif, dengan membuka kanal gagasan tentang doktrin teologi lingkungan berbasis ekosentrisme sebagai antitesis.
Paradigma ekosentrisme ini harus memosisikan manusia sejajar dengan makhluk hidup lainnya. Manusia memiliki kepentingan terhadap alam dan sebaliknya. Kehidupan manusia ditopang oleh persediaan alam, dan manusia memiliki kesadaran tanggung jawab menjamin kelestariannya.
Situasi ideal ini akan mejadi mungkin terjadi jika manusia menghimpun cara pandang religius terhadap alam. Agama perlu mengeksplorasi ajaran yang memiliki keberpihakan terhadap alam. Seperti ditawarkan Paul Ehrlich (1986), bahwa manusia butuh ajaran penyelamatan bumi yang bersifat semi religius, yang memikirkan kebutuhan perubahan nilai yang selama ini mengendalikan kegiatan manusia, agar kebudayaan kita tetap bertahan.
Etika Lingkungan
Memindai masalah lingkungan ini, agama bertugas merumuskan ajaran autentik dalam bentuk etika (al wajibat al akhlaqiyyah) untuk keadilan ekologis. Rumusan ajaran ini menjadi penting dan menemukan relevansinya di tengah selera hidup manusia yang tidak bisa melepaskan diri dari kecenderungan berpusat pada tuhan.
Ajaran etika lingkungan ini bermuara pada satu ketentuan agama yang mengatur pola interaksi manusia-alam. Hubungan manusia dan alam perlu diterjemahkan pada nilai kepercayaan (system of beliefs). Kepercayaan ini akan menjadi blueprint bagi perilaku manusia terhadap alam. Inilah yang diyakini Greetz (Greetz,1973:87), bahwa system of beliefs adalah model for perilaku manusia, dan perilaku manusia merupakan model of system of beliefs.
Nilai-nilai ini dipercaya memiliki kemampuan tinggi dalam memengaruhi world-view pemeluknya dan memengaruhi perilaku manusia. Sebab itu, dalam konteks umat beragama, kepedulian terhadap lingkungan amat tergantung pada bagaimana ajaran agama mengenai lingkungan disajikan dan dieksplorasi menjadi satu bentuk etika lingkungan.
Asumsi ini berpangkal pada perangai manusia sebagai penghuni bumi memiliki tugas untuk menghamba (abid) dan pengelola bumi (khalifah). Dari lingkaran interaksi manusia itu, melestarikan alam termasuk dalam term ibadah. Sebaliknya, melanggar etika lingkungan adalah dosa. Setidaknya bangunan etika lingkungan seperti ini menjadi sense of future untuk memperbesar kapasitas peran agama dalam kepentingan ekologis. Seperti keyakinan Mustafa Abu Sway (1998) bahwa menjaga lingkungan merupakan tujuan tertinggi. Ini adalah suatu terobosan ijtihad dan starting point merencanakan rahmatan lil alamin yang berkeadilan.
opini lampung post 07 mei 2010