Oleh Nana Jiwayana
Hasil Ujian Nasional (UN) tingkat SMA dan sederajat di Jawa Barat yang diumumkan beberapa waktu lalu cukup mengecewakan karena tingkat kelulusan siswa menunjukkan penurunan. Persentase kelulusan tahun ini hanya mencapai 97,14 persen, sementara tahun lalu bisa mencapai 99,30 persen. Ironisnya, banyak siswa gagal di bahasa Indonesia, satu pelajaran yang bukan merupakan pelajaran menakutkan bagi kebanyakan siswa kita.
Selain itu, angka rata-rata bahasa Indonesia ini pun menjadi nilai rata-rata terkecil dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya dan hal ini terjadi di semua program sekolah baik IPA, IPS, maupun di program bahasa. Di Kabupaten Bandung Barat, bahkan ditemukan siswa yang mendapatkan nilai 1,2 untuk pelajaran bahasa Indonesia. Kenyataan ini cukup aneh sehingga Dinas Pendidikan setempat berencana mengajukan klarifikasi pemindaian dan skoring kepada Dinas Pendidikan Jawa Barat. Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung Barat bahkan merencanakan pengecekan ulang lembar jawaban secara manual dengan melibatkan Universitas Pendidikan Indonesia.
Kenyataan bahasa Indonesia menjadi pelajaran yang menjatuhkan nilai siswa ini memang sangat ironis. Persoalannya bukan saja bahasa Indonesia merupakan bahasa sehari-hari siswa, namun bahasa Indonesia telah menggeser pelajaran lain seperti pelajaran eksakta dan bahasa Inggris sebagai pelajaran yang menakutkan. Lantas apa yang salah dengan pelajaran bahasa Indonesia ini? Mungkinkah soal-soal bahasa Indonesia di UN lalu memiliki tingkat kesulitan yang tinggi atau mungkinkah terjadi kesalahan penilaian dari mata pelajaran ini?
Jika kita mencermati soal-soal yang diujikan di UN lalu, sebenarnya tingkat resultan pelajaran bahasa Indonesia sedang-sedang saja. Kalaupun dibutuhkan analisis yang ekstra, itu terjadi pada soal-soal analisis teks. Namun hal ini pun bukan sesuatu yang baru. Baik di sekolah maupun di lembaga bimbingan belajar, analisis teks sering kali diajarkan. Soal-soal yang menuntut siswa untuk mencari fakta, opini, kalimat topik, kalimat utama, atau kesimpulan dari suatu teks merupakan hal biasa dalam pelajaran bahasa Indonesia sehingga alasan soal bahasa Indonesia pada UN terlalu sulit, bukan alasan pokok.
Lalu, jika soal yang diujikan tidak begitu sulit, apakah mungkin terjadi kesalahan penilaian komputerisasi pada mata pelajaran bahasa Indonesia ini? Hal ini mungkin terjadi meskipun tidak juga bisa dikatakan sebagai alasan utama dari merosotnya nilai bahasa Indonesia tersebut. Jika memang terjadi kesalahan pada penilaian secara komputerisasi ini, seharusnya hal ini juga terjadi pada pelajaran lainnya karena sama-sama dinilai secara komputerisasi.
Jika kita lebih mencermati persoalan ini, sebenarnya ada faktor lain yang mungkin menjadi persoalan pokok dari merosotnya nilai bahasa Indonesia ini. Faktor pertama, harus diakui, kebanggaan berbahasa Indonesia di kalangan remaja sudah luntur. Hal ini setidaknya dapat kita lihat pada kondisi objektif generasi muda kita lebih bangga menggunakan bahasa asing atau bahasa Indonesia yang diselingi bahasa asing (baca: Inggris). Lunturnya kebanggaan terhadap bahasa Indonesia ini berdampak pada hilangnya motivasi belajar siswa pada pelajaran bahasa Indonesia. Oleh karena itu, pelajaran yang bisa kita ambil dari keadaan ini adalah sedini mungkin kita harus kembali menanamkan kebanggaan berbahasa Indonesia kepada generasi muda kita agar motivasi belajar mereka kembali meningkat.
Hilangnya motivasi belajar karena lunturnya kebanggaan berbahasa Indonesia itu sangat berpengaruh pada penurunan prestasi siswa. Siswa menjadi enggan atau malah memandang remeh pada bahasa Indonesia sehingga akhirnya pembelajarannya tidak pernah optimal dicerna siswa. Dengan tumbuhnya kebanggaan terhadap bahasa Indonesia yang bisa kita pupuk sejak dini ini, diharapkan sikap siswa tidak lagi meremehkan pelajaran bahasa Indonesia dan menganggap penting seperti pelajaran-pelajaran lainnya.
Faktor lain adalah tidak sinerginya tujuan pembelajaran bahasa Indonesia beserta metode pembelajarannya dengan cara penilaian di UN. Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan pada penguasaan dan penggunaan bahasa Indonesia. Karena tujuan itu, pembelajarannya pun diarahkan pada kecakapan siswa menggunakan bahasa ini. Siswa diarahkan agar mampu menulis, berbicara, membaca, berpidato, dan kecakapan bahasa lainnya. Sayangnya, di UN yang diujikan adalah ”pengetahuan” tentang bahasa Indonesia, bukan kecakapan seperti yang diajarkan di kelas. Guna menghindari ketidaksinergisan ini, ke depan pemerintah diharapkan memiliki metode pengujian bahasa Indonesia yang lebih komprehensif dibandingkan dengan metode UN.
Selain itu, kegagalan pada UN disinyalir karena adanya kunci jawaban palsu yang menyesatkan siswa. Hal ini harus segera diantisipasi dengan cara memberikan kepercayaan diri kepada siswa agar mereka tidak mudah percaya kepada orang lain dan tentunya lebih mengandalkan kemampuan dirinya. Dengan semua usaha tadi, diharapkan pada UN susulan nanti siswa bisa mendapatkan nilai UN, khususnya bahasa Indonesia yang jauh lebih baik. Semoga.***
Penulis, guru bahasa Indonesia di Lembaga Bimbingan Belajar Neutron Bandung. Koordinator Lingkar Studi Partere (LSP) Universitas Pendidikan Indonesia.
opini pikiran rakyat 07 mei 2010