06 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Neoliberal Sri Mulyani

Neoliberal Sri Mulyani

BILA tak ada aral melintang, 1 Juni mendatang Menkeu Sri Mulyani Indrawati akan hijrah ke Washington DC, AS, dengan posisi baru sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Dia diperkirakan mendapat gaji per bulan Rp 3 miliar lebih, sekitar 347.000 dolar AS.

Robert Zoellick, Presiden Bank Dunia mengungkapkan, bahwa Sri akan menggantikan posisi pejabat Bank Dunia terdahulu yakni Juan Jose Daboub.

Pengunduran diri Sri Mulyani, yang akrab dipanggil Mbak Ani, dari kursi Menkeu mengundang kontroversi, antara lain keterlibatannya dalam pengucuran dana talangan (bail out) Bank Century.

Ada pengamat menilai Ani ingin cari selamat dengan kepindahannya itu, dan dianggap tak punya rasa tanggung jawab di tengah kondisi politik yang menginginkan kejelasan hukum terhadap kasus Century. Langkah itu membuat skeptis masyarakat terhadap keseriusan penentu kebijakan di negeri ini, yang selalu mandul dalam menyelesaikan pelbagai persoalan penting menyangkut kepentingan umum.


Secara tendensius, makin jelas dugaan selama ini terhadap Ani bahwa dia agen neoliberalisme karena bagaimana pun Bank Dunia sebagai simbol neolib. Paket-paket kebijakan seperti pinjaman utang yang selama ini diberikan atau ditawarkan kepada RI, yang berdalih untuk menutupi RAPBN ataupun pembangunan, tak ada hasil memuaskan.
Yang terjadi justru utang kita makin banyak, dan rakyat pula yang akhirnya membayar utang itu.

Menyedot Devisa

Bank Dunia selama ini memang telanjur dijuluki ”lintah” yang menyedot banyak devisa dari negara-negara berkembang melalui paket-paket pinjamannya. Kita tak tahu pasti, maksud dan tujuan Bank Dunia mengangkat Ani sebagai salah satu direktur pelaksananya. Yang baru jelas hingga kini Ani dianggap sebagai dewi penyelamat, yang menghantarkan republik ini lolos dari krisis finansial tahun 2009.

Agenda tersembunyi Bank Dunia terkait pengangkatan Ani  tak banyak diketahui orang. Meskipun demikian, kita patut waspada, apalagi dengan track record Bank Dunia selama ini. Dengan kondisi dunia yang masih dilanda krisis finansial, sementara belum ada solusi cukup mapan, masih banyak kemungkinan tak terduga. Bank Dunia tentu akan bermain dalam momen krisis finansial global ini.

Jika tak mau dikatakan bahwa Bank Dunia sebenarnya ingin mencari peluang-peluang untuk kembali menjerat negara-negara berkembang. Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya masih ’’panik’’ melihat keadaan ini, vis-a-vis dengan kepindahan Sri Mulyani.

Bank Dunia, oleh Stiglitz digambarkan seperti dokter yang hendak mengobati pasiennya, tapi tak pernah berhasil menyembuhkan, bahkan penyakitnya itu makin parah. Stiglitz mengkritik lembaga keuangan internasional itu, yang menurutnya ambisius menjadi dokter, meskipun obat yang akan diberikan sesungguhnya tidak ampuh sehingga tak pernah bisa menyembuhkan.

Pemerintah Indonesia sebenarnya harus belajar dari sejarah pemerintah Orde Baru yang terlalu percaya menjadikan Bank Dunia saat itu sebagai dokter, padahal nyata-nyata klimaksnya pada 1997 di mana Indonesia terkena krisis moneter hebat karena pemerintah saat itu banyak menanggung beban utang.

Pemerintah seharusnya tak terlalu berlebihan berharap dengan kepindahan Ani ke Bank Dunia. Atau apalagi, wanita itu sampai dijadikan economics advisor perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, karena hal itu merupakan kesalahan besar. Makin jelas dugaan sementara orang selama ini bahwa Bank Dunia hanya menjadikan Ani sebagai boneka dalam rangka untuk mengkooptasi pemerintah Indonesia. 

Belajar dari pengalaman Orde Baru, mengapa perekonomian Indonesia sebelum 1997 yang digdaya lalu kemudian terpuruk seketika hanya karena terpaan krisis ekonomi tahun 1998? Menurut Anne Booth (2001) karena biaya regulasi ekonomi nasional apa yang kemudian disebut pola pembangunan itu, sebagian besar disandarkan pada utang-utang yang jumlahnya begitu masif.

Sehingga ketika tiba saatnya terjadi krisis ekonomi global, maka lembaga-lembaga besar seperti Bank Dunia buru-buru menarik investasi dan utang-utang di negara yang menjadi pasiennya. Saat itu, pemerintah Orba  terlalu percaya pada traktat Washington Consensus yang didalangi Bank Dunia.

Salah satu bentuk sikap pemerintah yang harus ditunjukan kini adalah jangan lagi mau tergiur dengan rayuan-rayuan Bank Dunia. Gertakan-gertakan soal kemiskinan, pengangguran dan sebagainya, atau rayuan-rayuannya, hanyalah sebuah perangkap, yang intinya bertujuan supaya pemerintah mau menjadi pasiennya lagi. (10)

— Ismatillah A Nu’ad, peminat historiografi Indonesia modern

Wacana Suara Merdeka 7 Mei 2010