Dalam acara bincang pagi Metro TV tanggal 1 Mei lalu, yang membahas kesejahteraan buruh, datang yang melayani minuman dengan berjalan merunduk-runduk. Serta merta masuk SMS pribadi secara beruntun. Inti komentarnya, "Masih ada pelayan 'laku dodok'?"
Penonton-penonton itu keliru. Merunduk-runduk bukan 'laku dodok'-berjalan sambil berjongkok-tetapi untuk menghindari sorotan kamera supaya para pembahas yang sedang diliput tidak terhalang. 'Laku dodok' kuno dan feodalistis. Tidak sesuai dengan sikap egaliter.
Buruh informal yang membudak
Namun, memang, di keluarga-keluarga kelas atas yang tradisional, khususnya dari generasi tua yang feodalistis, pelayanan gaya itu masih ada. Sampai sekarang pun masih banyak PRT (pembantu rumahtangga) bekerja sebagai budak. Jam kerja berlebihan, tidak mendapat libur mingguan, dan tidak memiliki jaminan pengayoman dari majikan. Hari demi hari mereka bekerja membudak sebagai tukang masak, tukang cuci atau tukang kebun. Dapat dimengerti bahwa mereka pindah-pindah kerja untuk mencari majikan yang lebih cocok dan manusiawi. Sebagai buruh informal, mereka umumnya tidak memiliki ikatan batin dengan majikan.
Banyak TKW atau TKI mengalami nasib serupa ketika bekerja di perantauan, sekalipun upah mereka memang lebih tinggi. Masalahnya, tidak ada peraturan yang melindungi buruh informal. Mereka tenaga lepas dan mungkin bahkan liar, sesuai hasrat, kebutuhan, serta bekal pendidikan yang mereka miliki. Tidak ada catatan resmi berapa jumlah mereka. Mudah-mudahan sensus tahun ini bisa membantu pengelompokan mereka. Tetapi sesuai angka-angka Badan Pusat Statistik, mereka termasuk di antara 71 juta buruh sektor informal, dari kira-kira 114 juta tenaga kerja Indonesia. Kondisi mereka memprihatinkan mengingat mayoritas tenaga kerja kita (sekitar 88%) hanya berpendidikan SMA ke bawah. Bahkan masih ada (5,5%) yang sama sekali tidak berpendidikan. Dapat dipastikan yang disebut terakhir itu bekerja di sektor informal.
Hikmah hari buruh
Makna Hari Buruh 1 (Satu) Mei, yang diperingati seluruh dunia, tidak banyak dikenal kaum buruh Indonesia umumnya. Kita bersuka ria merayakannya tanpa tahu asal-usulnya. Kita juga tidak banyak tahu bahwa 1 Mei akhirnya terpilih sebagai Hari Buruh Sedunia setelah perjuangan lebih dari satu abad; sejak Revolusi Industri di Eropa Barat dan Amerika pada abad 18-19 melahirkan industrialisasi yang pada prosesnya menanamkan benih-benih sistem kapitalisme. Sistem tersebut dalam perkembangannya dianggap mengeksploitasi kelas buruh.
Pemilihan 1 Mei bermula dari penetapannya sebagai hari perjuangan kelas pekerja/buruh dunia di Kongres Federation of Organized Trades and Labour Unions AS pada tahun 1886, yang menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari (dari 15 jam sehari), terinspirasi oleh aksi buruh di Kanada tahun 1872. Pada bulan Juli 1889, Kongres Sosialis di Paris menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai Hari Buruh Sedunia. Mereka mengeluarkan resolusi agar pada suatu hari yang disepakati bersama, mereka menyelenggarakan aksi internasional besar-besaran di semua negara dan berbagai kota, menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam sehari dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Prancis. Sejak tahun 1890,tanggal 1 Mei diperingati kaum buruh di berbagai negara.
Hari buruh di masa reformasi
Hari Buruh yang mulai diperingati di Indonesia tahun 1920, berhenti diperingati di masa Orde Baru. Bukan tanpa alasan. Gerakan Buruh semasa itu dihubung-hubungkan dengan gerakan dan paham komunisme. Trauma masa lalu mematikan spirit 1 Mei yang waktu itu berkonotasi ideologi komunis.
Sekalipun di masa reformasi kekhawatiran itu masih ada, tetapi perayaan memperingatinya kembali marak di berbagai kota. Tahun ini, misalnya, untuk kesiagaan telah disiapkan sekitar 15 ribu petugas untuk mengawal demo di Jakarta. Ini untuk mengantisipasi kemungkinan tidak terkendalinya perilaku demonstran yang diperkirakan berjumlah mendekati 100 ribu dari 11 organisasi massa.
Faktanya, sejak 1999 sampai saat ini, perayaan 1Mei tidak pernah rusuh atau bersifat merusak, walaupun keinginan dan tuntutan buruh untuk meningkatkan kesejahteraan tidak pernah hilang. Tahun ini, misalnya, mereka menuntut realisasi berbagai regulasi untuk menjalankan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Program Jamsostek hanya melindungi 24% pekerja. Sisanya belum memiliki jaminan sosial.
Direktur Jenderal Organisasi Buruh Internasional (ILO), Juan Somavia dari Cile, yang terpilih untuk masa jabatan ketiga sejak 2008, menyatakan, "Keadilan sosial adalah cara terbaik untuk menjamin perdamaian yang berkelanjutan dan untuk menghapuskan kemiskinan. Dan saya percaya akan (manfaat) orang berkumpul untuk berorganisasi, bergabung bersama, dan membuat agar suara mereka didengar."
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Reaksi Media Group
opini media indonesia 07 mei 2010