06 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Sejarah dari Toponim Kartasura

Sejarah dari Toponim Kartasura

PUSAT-PUSAT kota merupakan lingkungan buatan yang  berharga karena mereka adalah bagian tertua dari kota dengan sejarah ratusan tahun yang lalu.

Secara teoretik pembahasan tentang sejarah kota seharusnya menyadarkan kita bahwa ruang kota bukanlah sesuatu yang alamiah yang ada begitu saja atau diatur oleh invisible hand yang tidak memihak. Ruang kota memiliki alur sejarah dengan proses pembentukannya yang dapat dilacak dan dianalisis secara jelas.

Kota Kartasura  menarik dibicarakan bukan saja karena sejarah yang telah dimainkannya selama kurun waktu ratusan tahun lalu, tetapi juga keberadaannya yang memiliki peran penting bagi sejarah berdirinya dua kerajaan Dinasti Mataram yaitu Surakarta dan Yogyakarta.


Sejarah Kartasura diawali munculnya pemberontakan Trunajaya (tahun 1650) terhadap Sunan Amangkurat I di Keraton Plered yang menyebabkan Sunan melarikan diri ke Imagiri (Imogiri) dan meneruskan perjalanannya ke arah barat. Namun, ia meninggal di Wanayasa (daerah Banyumas) pada 10 Juli 1677.

Tiga hari kemudian jenazahnya di makamkan di Tegalwangi, Kabupaten Tegal. Sebelum meninggal, Sunan Amangkurat I mengangkat Pangeran Adipati Anom sebagai penggantinya dengan gelar Sunan Amangkurat II. Putra lain Sunan Amangkurat I yaitu Pangeran Puger melarikan diri ke arah Bagelen (Purworejo) dan mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Susuhunan Ing Alaga. Setelah kembali ke Plered, ia menobatkan dirinya menjadi raja Mataram.

Dengan bantuan VOC, Sunan Amangkurat II berhasil melenyapkan pemberontakan Trunajaya. Ia kemudian memilih Wanakerta sebagai lokasi calon istana baru . Secara ekologis, Wanakerta dipilih dengan pertimbangan wilayahnya datar, daerahnya subur dan terlindung oleh Gunung Merapi dan Laut Selatan.  Keraton di Wanakerta secara resmi mulai ditempati tahun 1680 Oleh Sunan Amangkurat II, dan nama Wanakerta diganti Kartasura Hadiningrat.
Toponim Luas kota Kartasura di masa lampau  diperkirakan mencakup seluruh wilayah Kecamatan Kartasura saat sekarang ditambah beberapa kawasan yang masuk wilayah Kabupaten Boyolali dan Karanganyar. Saat sekarang, Kartasura  menjadi kota kecamatan biasa. Melalui peninggalan sejarah  berupa reruntuhan bangunan, toponim serta beberapa tradisi budaya masyarakat, maka masih dapat ditelusuri mengenai struktur kota ataupun masyarakatnya yang bermukim.

Sebagai suatu kota praindustri seperti penggolongan Sjoberg,  maka struktur sosial  dan faktor kepercayaan masih sangat berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang kota untuk permukiman dan mobilitas penduduk, walaupun sebenarnya sebagai suatu kota tidak dapat lepas dari tiga prasyarat utama, yaitu ekologi yang mendukung, teknologi yang cukup berkembang dan struktur sosial yang berkembang (Sjoberg : 1960).

Peninggalan sejarah yang masih dapat dijumpai di situs Keraton Kartasura berupa reruntuhan bangunan dan nama-nama tempat (toponim). Toponim sebagai suatu jejak sejarah masa lampau  tentang keberadaan sebuah kota, merupakan salah satu penanda yang bermanfaat bagi penghuninya dalam memahami filosofi kota yang telah dicanangkan pendirinya.

Dalam arsip peta Kartasura yang dimiliki Reksapustaka Mangkunegaran disebutkan beberapa nama tempat di wilayah Keraton Kartasura seperti Alun-alun Lor, Pagelaran, Sitinggil, Sripanganti, Masjid Agung, Keputren, Bakalan, Krapyak, Sanggrahan, Segarayasa (Gunung Kunci), dan Alun-alun Kidul.

Di luar wilayah keraton terdapat nama-nama  dalem pangeran, pesanggrahan, pesanggrahan kabupaten, kabupaten dan nama kampung. Nama dalem pangeran di antaranya Pangeran Blater (Blateran), Pangeran Puger (Kapugeran), Pangeran Hangabehi (Ngabean), Pangeran Mangkunegara (Mangkunegaran), Pangeran Mangkubumi (Mangkubumen), Patih Natakusuma (Natasuman) dan sebagainya.

Kartasura sebagai kota bersejarah di Indonesia memiliki warisan budaya yang kaya warna. Warisan budaya merupakan potensi yang luar biasa guna meningkatkan kesejahteraan hidup penduduknya. Tanpa kepedulian dari semua pihak terutama stakeholder ataupun masyarakat setempat, maka warisan budaya di Kartasura akan semakin punah seiring derasnya arus ekonomi global.

Warisan budaya harus kita lihat sebagai suatu potensi ekonomi dan wisata yang berguna dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kartasura di masa kini dan masa yang akan datang. (10)

— Himawan Prasetyo, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta

Wacana Suara Merdeka 7 Mei 2010