Oleh Atjep Amri Wahyudi
Tidak henti-hentinya negara kita dilanda berbagai macam badai. Dari sekian banyak badai, paling menonjol dan sekaligus menghebohkan akhir-akhir ini adalah terbongkarnya kasus mafia pajak yang digawangi (mantan) pegawai pajak bernama Gayus Tambunan. Kasus Gayus benar-benar memukul semua sendi kehidupan dan kenegaraan. Semua lapis masyarakat mulai dari presiden sampai wakil rakyat, pengusaha sampai pedagang kaki lima, membicarakan kasus ini. Dan sebagian besar dari mereka apabila ditanya pendapatnya tentang perbuatan Gayus, pasti akan menghujat (bahkan mungkin mengutuk) perbuatannya. Lebih jauh lagi, bahkan para user jejaring sosial seperti Facebook telah membuka blog untuk menghimpun suara penolakan membayar pajak, dengan dalih toh uang pajak digerogoti oleh orang pajak!
Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah hujatan itu semata dikarenakan oleh timbulnya kasus Gayus? Melalui tulisan ini, penulis mencoba mengurainya secara lebih objektif. Bahwa Gayus secara tidak langsung telah merugikan negara, memang tidak dapat dimungkiri -penulis menyebutnya sebagai ”tidak langsung” karena masih perlu dikaji lebih lanjut, dari mana sumber dana yang diperoleh Gayus- tetapi walau begitu dahsyat gejolak yang disebabkan Gayus, sebenarnya kita perlu (tetap) bersikap positif dan jernih mengkritisinya.
Banyak hal yang perlu dikaji lebih jauh atas imbauan penolakan pajak sehubungan dengan mencuatnya kasus Gayus. Benarkah mereka yang menolak membayar pajak, karena murni geram melihat perbuatan Gayus? Untuk menjawab pertanyaan ini dalam skala terbatas, penulis melakukan polling. Ternyata hasil polling menunjukkan, mereka yang setuju untuk mengikuti imbauan menolak membayar pajak (walaupun belum tentu mereka mengakses blog tolak bayar pajak) adalah responden yang merasa kurangnya tanggung jawab pemerintah daerah tempat responden berada (dalam hal ini adalah Pemerintah Kota Bandung) terhadap tugas pokok dan fungsinya untuk membuat warga nyaman. Kongkretnya warga merasa tidak perlu membayar pajak jika di mana-mana jalan macet, berlubang, banjir, sampah menggunung di sudut-sudut kota dan masih banyak lagi aspek lainnya, yang belum mendapat penanganan serius dari Pemkot Bandung. Dalam bahasa yang lain, masyarakat akan tetap menunaikan kewajibannya membayar pajak, jika semua infrastruktur di Kota Bandung tertata dengan baik, tak peduli ada kasus Gayus atau tidak!
Jika penyebabnya karena responden merasa tidak mendapat manfaat langsung dari pembayaran pajak, sebenarnya hal ini sudah sesuai dengan definisi pajak itu sendiri, yakni pembayaran (uang) dari masyarakat kepada negara, di mana masyarakat tidak mendapat kompensasi secara langsung dari negara. Walaupun masyarakat belum tentu tahu makna pajak, tetapi masyarakat semakin cerdas. Mereka tentu mempunyai standardisasi minimal agar kenyamanan sebagai warga kota terpenuhi. Minimal hati tidak kesal, karena mobil mogok terjebak banjir atau warga terjatuh dari motor yang dikendarainya terperosok ke dalam lubang menganga di tengah jalan.
Ekses berikutnya yang ditimbulkan kasus Gayus adalah penolakan terhadap lembaga dan sekaligus pegawai pajak. Dan hal ini tidak kalah mengherankan dibandingkan dengan ekses sebelumnya. Jika masyarakat menolak pajak, karena takut uang pajak ditilep (oknum) pegawai pajak saja masih perlu diperdebatkan, maka alangkah mengherankannya jika masyarakat lantas menolak (bahkan menghujat) lembaga pajak beserta aparatnya. Penolakan ini (walaupun secara implisit) bisa dilihat bagaimana kenek bus kota di Jakarta, apabila sudah sampai di depan Kantor Pusat Pajak menyebut halte di kawasan Gatot Subroto itu sebagai ”Gayus…Gayus”.
Dalam kesempatan ini penulis hanya bisa mengajak semua pihak khususnya para pemangku kepentingan, untuk bersikap positif yakni bersikap introspeksi dan obyektif manakala terjadi suatu kasus yang menimpa (atau lebih tepat ditimbulkan) oleh oknum anak bangsa.
Dalam kasus Gayus misalnya, kenapa resistensi masyarakat begitu hebat terhadap segala aspek yang berbau pajak? Jawaban paling mudah, karena membayar pajak sesuatu yang tidak menyenangkan bahkan bila memungkinkan dihindari! Diakui atau tidak, pajak di negara sedang berkembang seperti di Indonesia keberadaannya masih sebagai beban. Itu sebabnya saat kasus Gayus mencuat, masyarakat seakan mendapat momentum untuk menolak keberadaan pajak. Mungkin masyarakat berpikir, siapa tahu dengan menolak pajak maka kewajiban membayar pajak akan dihapus dalam ketatanegaraan kita. Tentu pemikiran ini (jika ada) sangat keliru.
Namun, di sisi yang lain dengan adanya pemikiran masyarakat seperti ini, harus menjadi pelecut bagi pemerintah agar mengemas pajak menjadi sesuatu yang menarik dan sekaligus membuat masyarakat sadar bahwa pajak adalah simbol kemandirian bangsa. Sekaligus sebagai darah yang akan menghidupi tubuh raksasa Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalaupun NKRI bisa tetap berdiri tanpa pajak, maka bisa dipastikan kita akan menjadi bangsa pengemis yang akan terus menengadahkan tangan mengharapkan bantuan dari negara lain. Sesuatu kondisi yang tentu tidak kita inginkan bersama.
Di lain sisi kita juga tidak bisa terlalu menyalahkan opini negatif, yang berkembang dalam masyarakat menyikapi terjadinya penyimpangan khususnya penyimpangan keuangan. Kita juga harus menyadari, masyarakat sebagai main user mempunyai hak beropini apa saja menyikapi suatu fenomena yang sedang terjadi. Akan tetapi, tentu kita berharap agar sikap itu ditunjukkan dalam batas-batas kewajaran bagi para pemangku kepentingan di institusi pemerintah, tentunya harus dapat mengambil hikmah atas opini negatif masyarakat seperti di atas, yakni momentum untuk berbenah diri agar kasus yang sama tidak terulang, bahkan di institusi yang sama. Semoga!***
Penulis, pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
opini pikiran rakyat 07 mei 2010