MUNDURNYA Sri Mulyani Indrawati dari jabatan menteri keuangan merupakan keputusan yang cukup mengejutkan. Walaupun, hal tersebut sepenuhnya bisa diprediksi. Kalau Sri Mulyani mundur begitu saja tanpa embel-embel, mungkin shocking effect-nya tidak sebesar saat ini. Embel-embel yang menempel itu, Sri Mulyani dikabarkan ditawari jabatan yang cukup bergengsi di lembaga keuangan internasional, Bank Dunia, untuk posisi managing director.
Faktor apa yang menggerakkan sampai muncul hal itu? Banyak spekulasi yang muncul. Terlepas dari kemelut politik yang mungkin membelit kasus tersebut, sudah banyak anggapan yang muncul bahwa ditariknya Sri Mulyani ke jajaran pimpinan Bank Dunia tidak terlepas dari prestasinya menghindarkan perekonomian Indonesia dari krisis ekonomi global. Bank Dunia dikabarkan menginginkan Sri Mulyani bisa membawa pengalamannya dalam mengelola perekonomian Indonesia ke Bank Dunia.
Sri Mulyani telah dianggap berhasil dalam mengarahkan perekonomian Indonesia. Banyak fakta yang mendukung hal itu. Salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dianggap cukup tinggi di tengah-tengah perekonomian dunia yang tidak menentu. Lebih dari itu, ekonomi Indonesia tetap tumbuh dalam ukuran yang cukup substansial, sekitar 5 persen, saat tingkat bunga kredit rata-rata kurang lebih 14 persen. Dengan tingkat bunga setinggi itu, susah dibayangkan bagaimana ekonomi suatu negara bisa tumbuh.
Faktor itulah yang mengakibatkan para pejabat Bank Dunia terkagum-kagum. Sebab, hal tersebut tidak mungkin terjadi dalam mindset mereka. Hal itu benar-benar menjadi sesuatu yang misterius.
Seberapa misteriuskah? Untuk mengetahui hal ini perlu pemgkajian secara mendalam dan tentu saja menggunakan perspektif yang berbeda. Penggunaan perspektif yang berbeda ini penting karena perspektif ekonomi arus utama (mainstream) tidak mampu menjelaskan fenomena tersebut.
***
Pemikiran ekonomi saat ini telah terkooptasi oleh suatu pendekatan yang bersifat transaksional. Karena itu, hal tersebut dianggap bisa diwakili angka-angka saja. Padahal, kalau diingat bahwa ekonomi berbasis perilaku manusia, hal itu tidak bisa dilepaskan dari budaya tempat manusia tersebut berada. Untuk itu, sudah semestinya hal tersebut kembali didudukkan pada domain yang tepat.
Orang tidak bisa memperoleh banyak dinamika dari perilaku ekonomi yang terjadi ketika melihat inflasi hanya melalui data angka. Ambil contoh sektor makanan tradisional di Jogjakarta. Orang bakal terheran-heran melihat Jogjakarta. Dengan hanya uang Rp 5.000, orang bisa makan dengan kenyang di warung makan. Hal tersebut bisa terjadi karena tidak terlepas dari budaya yang sudah terbentuk bertahun-tahun.
Kalau menengok sejarah, Sultan HB VI pernah membuat dekrit ekonomi yang berisi imbauan kepada seluruh rakyat agar tidak mengambil keuntungan berlebihan dalam menjual makanan dan sejenisnya demi kemanfaatan bersama. Didorong rasa cinta yang mendalam dari rakyat Jogjakarta kepada sang raja, imbauan itu telah membentuk perilaku masyarakat Jogjakarta yang sampai sekarang masih bisa dirasakan.
Hubungan antara budaya dan ekonomi tersebut juga bisa digunakan untuk melihat ekonomi kontemporer Indonesia saat ini. Rakyat Indonesia punya kebiasaan menjaga hubungan kekerabatan atau perkawanan yang kemudian diekspresikan dalam bentuk saling mengabari satu dengan lainnya. Bahkan, hal tersebut telah berubah dengan kebiasaan ngerumpi.
Ketika fasilitas komunikasi memudahkan, mereka bisa ngerumpi melalui telepon, baik bercakap-cakap langsung ataupun SMS-an. Karena itu, tidak mengherankan sektor komunikasi telah tumbuh dalam tingkat yang cukup substansial dan menyumbangkan jumlah yang signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, terlepas dari tingkat bunga yang tinggi.
***
Fenomena lain adalah budaya korupsi dan pencucian uang. Korupsi di Indonesia yang masif diyakini diikuti dengan kegiatan pencucian uang. Bentuk yang populer, pencucian dilakukan dengan seolah-olah menginvetasikan uang hasil korupsi tersebut di sektor produksi atau riil. Karena lebih bersifat mencuci daripada berbisnis yang sesungguhnya, hitungan kelayakan bisnis tidak terlalu menjadi perhatian. Karena itu, investasi tetap jalan walaupun sebenarnya tidak menguntungkan. Hal tersebut menjelaskan mengapa ekonomi tetap tumbuh meskipun berada pada tingkat bunga yang tinggi.
Hal lain yang mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah underground economy. Sektor itu diprediksi punya ukuran yang cukup besar walaupun tentu saja tidak ada data pendukung. Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya kasus narkoba yang bisa dibongkar. Penegakan hukum yang lemah telah menjadikan Indonesia sebagai surga bagi pengedar, bahkan produsen narkoba.
***
Sekarang, jika Bank Dunia ingin merekrut Sri Mulyani dengan alasan untuk menularkan pengalamannya dalam memberikan solusi bagi negara-negara miskin yang terbelit berbagai masalah, hal tersebut tidaklah sepenuhnya memiliki argumen yang kuat.
Memang disadari, Bank Dunia kini kerepotan menemukan pola dasar untuk mengentaskan negara-negara dalam pengaruhnya dari kubangan kemiskinan. Namun, pola dasar tersebut belum kunjung ditemukan atau mungkin tidak pernah ditemukan. Sebab, masalah yang dihadapi suatu negara sangat khas sehingga memerlukan solusi yang khas pula.
Mempertimbangkan sifat itu, pengalaman Indonesia belum cukup untuk bisa diangkat sebagai pola dasar atau umum yang dimaksud Bank Dunia. Apalagi, keberhasilan Indonesia -jika dianggap sebagai keberhasilan- lebih disebabkan dorongan budaya ekonomi setempat daripada formulasi kebijakan pemerintah. (*)
*). Munrokhim Misanam PhD, direktur Program Pascasarjana FE UII Jogjakarta dan alumnus Rensselaer Polytechnic Institute, New York, AS
Opini Jawa Pos 7 Mei 2010
06 Mei 2010
Menyoal Keberhasilan Sri Mulyani
Thank You!