03 Mei 2010

» Home » Jawa Pos » Refleksi Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2010

Refleksi Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2010

SIAPA pun akan sependapat bahwa kinerja pendidikan nasional kita masih jauh dari optimal. Kedisiplinan yang rendah, ketenggangrasaan yang meluntur, keramahan yang menipis, kepekertian yang memudar, keteladanan yang menghilang, dan prestasi belajar yang rendah merupakan aspek yang mudah diamati atas ketidakoptimalan kinerja pendidikan nasional kita tersebut.

Ketidakoptimalan pendidikan tidak pernah dapat tersolusikan secara memadai karena kita sering terjebak pada masalah-masalah teknis, seperti ujian nasional, ujian akhir sekolah bertaraf nasional, ujian masuk perguruan tinggi negeri, dan sebagainya. Energi kita habis untuk memikirkan masalah-masalah teknis yang sering membangkitkan polemik tak berkesudahan itu.

Kita lupa bahwa kunci pendidikan itu ada di tangan guru. Artinya, kalau guru kita tidak banyak terlilit masalah hingga dapat menjalankan tugasnya secara profesional, kinerja pendidikan nasional kita akan memadai. Sebaliknya, kalau guru kita banyak terlilit masalah, sulit merealisasikan kinerja pendidikan yang mantap.

Dua Masalah

Guru kita sekarang tengah dililit banyak masalah yang secara langsung berpengaruh pada kinerja pendidikan. Dua di antaranya masalah gairah mengajar dan profesionalisme.

Sebagian guru kita sekarang kurang bergairah dalam melaksanakan tugas di sekolah. Hal itu disebabkan munculnya kecemburuan terkait dengan tunjangan profesi yang "beredar" secara tidak merata. Ada sebagian guru yang telah menikmati tunjangan profesi yang jumlahnya relatif memadai, tetapi sebagian yang lain belum, dan sebagian lainnya lagi tidak dapat menikmatinya.

Seperti diketahui, dalam tiga empat tahun terakhir, pemerintah memberlakukan kebijakan sertifikasi pendidik sebagai bukti atas profesionalisme dalam menjalankan profesinya. Bagi para guru yang memenuhi kualifikasi, kepadanya diberikan sertifikat pendidik. Dengan sertifikat pendidik tersebut, dia berhak menerima tunjangan profesi yang jumlahnya memadai. Yang tidak memenuhi kualifikasi tidak diberi sertifikat pendidik dan tentu tidak berhak menerima tunjangan pendidik.

Kebijakan tersebut sangat realistis dan konstruktif. Masalah muncul ketika sebagian (kecil) guru menerima tunjangan profesi atas sertifikat pendidik yang dimilikinya dan sebagian (besar) guru yang lain tidak menerima tunjangan profesi tersebut.

Belum seluruh guru menerima tunjangan profesi atau diakui oleh pemerintah. Orang yang paling bertanggung jawab mengenai masalah itu, Achmad Dasuki selaku direktur Profesi Pendidik Kementerian Pendidikan Nasional, menyatakan, baru 600 ribu di antara sekitar 2,6 juta guru yang menerima tunjangan profesi. Artinya, masih sekitar 2 juta guru yang belum menerima tunjangan profesi. Padahal, untuk setiap 100 ribu guru, diperlukan dana sekitar Rp 2,5 triliun untuk membayar tunjangan profesi tersebut.

Dari angka tersebut, terlihat baru satu di antara empat orang guru yang menerima tunjangan profesi. Tiga orang guru yang lain tidak menerima tunjangan profesi. Keadaan itu menimbulkan kecemburuan yang ujungnya telah menurunkan gairah mengajar di sekolah, khususnya terjadi pada guru yang tidak atau belum menerima tunjangan profesi.

Masalah gairah mengajar merupakan masalah yang kompleks dalam dunia pendidikan. Sulitnya membangkitkan, apalagi membangun kembali gairah mengajar guru, merupakan kompleksitas dalam dunia pendidikan nasional. Tanpa gairah mengajar yang memadai, jangan diharapkan hasil mengajarnya memadai. Kalau hasil mengajar para guru tidak memadai, tidak mungkin kinerja pendidikan nasional dapat memadai.

Kompleksitas tersebut semakin intensif karena tiga di antara setiap empat orang guru yang tidak menerima tunjangan profesi itu adalah guru swasta. Realitas tersebut memperkuat dugaan bahwa pemerintah memang sengaja menganakemaskan guru (sekolah) negeri dan menganaktirikan guru (sekolah) swasta. Kalau hal ini benar, pencapaian kinerja pendidikan yang memadai tidak akan semakin lancar, tetapi justru semakin sulit.

Masalah Profesionalisme

Masalah kedua yang dihadapi para guru kita adalah profesionalisme. Banyak guru kita yang penguasaan materi mengajarnya sudah kedaluwarsa. Di sisi lain, banyak pula guru kita yang metode mengajarnya sudah ketinggalan zaman. Dengan penguasaan materi yang kedaluwarsa dan metode mengajar yang ketinggalan zaman, sangat sulit merealisasikan kinerja pendidikan yang memadai.

Bahwa meningkatkan profesionalisme guru tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah kiranya memang benar; namun bukan berarti swasta dilarang untuk berpartisipasi. Salah satu kelemahan kita justru kurang mampu mengakomodasi peran swasta untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan profesionalisme guru.

Kalau kita mau jujur, sebenarnya banyak sekali swasta yang siap untuk berpartisipasi kalau pemerintah mau "mengorangkannya". Sebut saja Tupperware, misalnya, lembaga yang secara konsisten mengadakan program berkelanjutan dari serangkaian kegiatan yang berfokus kepada pendidikan, kebersihan, dan kesehatan anak sekolah.

Di negara-negara Barat, peran swasta dalam dunia pendidikan amatlah dihargai. Keadaan itu membuat swasta lebih terdorong untuk banyak berbuat bagi kemajuan pendidikan di negaranya.

Kalau saja pemerintah mau lebih menghargai swasta dalam partisipasinya untuk memajukan pendidikan nasional, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru, akan lebih banyak lagi swasta yang berpartisipasi. Dengan demikian kinerja, pendidikan yang memadai akan lebih mudah dicapai.

Semogalah hal itu menjadi bahan renungan dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional kali ini! (*)

*) Prof Dr Ki Supriyoko SDU MPd, direktur Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Jogjakarta serta anggota Dewan Kehormatan Guru Indonesia

Opini Jawa Pos 3 Mei 2010