03 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Menelisik Kecurangan UN SMA

Menelisik Kecurangan UN SMA

SILANG selimpat atas pro dan kontra pelaksanaan ujian nasional (UN) masih terus bergulir, terlebih setelah diumumkannya hasil ujian SMA Senin pekan lalu. Ketika ada harapan dari pejabat pendidikan, bahwa UN tahun ini harus jujur, dan ketika kejujuran dijadikan prestasi atas pelaksanaan ujian maka turunnya persentase kelulusan tahun ini dijadikan indikator jujurnya pelaksanaan ujian.  Sesederhana itukah bisa disimpulkan? Benarkah UN tahun-tahun lalu penuh kebohongan?

Ketika angka kelulusan menjadi barometer maju dan tidaknya kualitas pendidikan maka berbagai kabupaten/kota melalui Dinas Pendidikan beserta satuan yang ada, berlomba-lomba untuk mendapatkan peringkat atas dalam rata-rata UN-nya. Sampai-sampai segala macam cara pun ditempuh. Tidak heran setiap satuan pendidikan (sekolah) membentuk tim sukses agar pelaksanaan ujian mendapat hasil maksimal.

Bagi sekolah favorit dan unggulan, sekolah bersama komite sekolah yang solid akan membentuk tim sukses pelaksanaan UN. Berbagai target kesuksesan dicanangkan, seperti sukses 100% lulus UN atau sukses mendapat nilai 10 mata pelajaran yang di-UNkan.

Sekolah favorit akan melakukan berbagai bimbingan intensif melalui gurunya. Dipetakan seluruh siswanya. Siswa yang berpotensi mendapat nilai 10 mapel matematika akan dibimbing khusus materi matematika, demikian juga yang berpotensi kimia, fisika, bahasa Inggris, dan seterusnya. Bisa jadi satu siswa mengikuti beragam mapel yang di-UN-kan jika berpotensi mendapat nilai 10 beberapa mapel.


Stimulus pun ditawarkan. Bagi mereka yang berhasil meraih nilai 10, akan diberi reward tabungan. Anggaran untuk reward pun disiapkan. Semua proses berjalan alamiah dan wajar, UN pun berlangsung dengan jujur. Alhasil, sekolah favorit ini bisa meluluskan 100% siswanya di mapel UN. Bahkan anggaran untuk reward sampai defisit, disebabkan peraih nilai 10 melonjak banyak. Inilah upaya yang dilakukan tim sukses UN yang sehat.

Namun gambaran yang ideal tadi, tidak terjadi di semua satuan pendidikan. Sekolah dengan sarana prasarana terbatas, input siswa yang kualitasnya tidak sebagus di sekolah favorit, ditambah visioner kepala sekolah, guru atau komite sekolah yang tidak jelas, tetap saja berjuang agar mendapat hasil kelulusannya baik. Jika dengan cara-cara sehat sulit ditempuh maka lahirlah strategi-strategi curang yang menodai dunia pendidikan. Tak ayal jika beberapa tahun lalu, di Semarang ada seorang guru diskors karena bertransaksi terkait jawaban UN dengan siswanya melalui SMS.

Agak Longgar

Bukan hanya itu, bisik-bisik yang sering terdengar, sekolah tertentu pun membentuk tim sukses dengan mengumpulkan guru mapel UN agar membantu siswanya. Pengarahan diberikan kepada pengawas, yang meskipun silang diminta  agar longgar dalam hal pengawasan.Tim pemantau independen meskipun ada, dilarang keras masuk ke kelas. Belum lagi adanya isu SMS gelap entah dari jaringan apa, tetapi dengan modus bisnis siap memberikan jawaban benar melalui berbagai taktik.

Pernah juga dilaporkan seluruh peserta ujian terlambat dan diketahui berkumpul di sebuah lokasi untuk membahas kunci jawaban. Dan yang mengerikan adalah, siswa-siswa pintar dikumpulkan oleh wali kelas atau guru, atau bahkan kepala sekolah untuk diberi pembinaan, jika pelaksanaan UN agar bersolidaritas dengan kawan-kawannya. Bantu teman yang minta bantuan, agar makin banyak jumlah siswa yang lulus di sekolah ini. Dan masih banyak deretan panjang tentang pelanggaran pelaksanaan UN, yang berujung pada ketidakpercayaan hasil ujian.

Dilihat dari peluang berbuat curang, setidaknya ditengarai ada tiga karakteristik siswa peserta UN tahun ini. Pertama; siswa yang mencoba tidak jujur, dia mengetahui dan memanfaatkan jaringan SMS yang menjanjikan jawaban benar. Kedua; siswa yang sebenarnya berpeluang tidak  jujur tetapi tidak tahu ada jaringan SMS. Ketiga; siswa yang jujur, yang tahu ada jaringan SMS tetapi menolak untuk memanfaatkannya. Karakteristik siswa ketiga ini bahkan akan menolak segala bentuk penyimpangan apapun dalam hidupnya.

Untuk mengukur kejujuran UN tahun ini, jika mau sesungguhnya sangat sederhana. Ambil saja siswa yang mendapatkan nilai 10 atau nilai teratas. Lalu hubungkan dengan nilai harian, ujian mid, dan ujian sekolah lainnya. Jika administrasi penilaian sudah baik, bisa dilihat portofolio siswa yang bersangkutan, bahkan jika perlu lihatlah rekam jejak nilai yang bersangkutan sejak kelas 1 SMA atau kelas 10.

Sangat ironis tentunya, jika ada siswa yang, maaf, kualitas sehari-harinya rendah, bahkan menjadi perhatian guru sebagai siswa bermasalah, justru bisa meraih nilai 10 atau bisa masuk lima besar siswa berprestasi. Wali kelas atau guru, sudah pasti memiliki sensivitas tinggi jika mendapati hasil ekstrem seperti itu.  (10)

— Drs Bambang Prishardoyo MSi, dosen FE Unnes, pengurus Dewan Pendidikan Kabupaten Semarang


Wacana Suara Merdeka 4 Mei 2010