KALAU ada kecamatan di Kabupaten Batang yang belum memiliki terminal dan pasar, itulah Wonotunggal. Artinya, moda ekonomi di kecamatan ini belum memadai. Jika dibandingkan dengan kecamatan lain seperti Limpung, Tersono, Subah, Batang dan lainnya, Wonotunggal masih tertinggal. Bagaimana mengangkatnya agar sejajar dengan kecamatan lain?
Keberadaan pasar dan terminal menjadi indikator kemajuan ekonomi suatu daerah. Selama ini masyarakat Wonotunggal hanya bisa memanfaatkan Pasar Manis di Desa Kedungmalang yang notabene merupakan pasar desa. Lumayan, pasar yang beroperasi lima hari sekali ini bisa sedikit menggairahkan ekonomi masyarakat Wonotunggal meskipun belum memuaskan.
Memang, kini sudah dibangun beberapa los pasar di Tugu Mulya, tak jauh dari kantor kecamatan. Tapi entah kenapa pembangunannya berhenti di tengah jalan. Puluhan bangunan los dibiarkan mangkrak dan dan kanan-kirinya ditumbuhi semak-semak.
Semenjak terjadi pro-kontra soal lokasi, pembangunan Pasar Wonotunggal terkatung-katung. Padahal masyarakat telah lama menunggu hadirnya pasar yang cukup representatif di daerahnya sendiri. Masyarakat tentu iri dengan Limpung, Subah, Tersono, Bandar dan kecamatan lainnya yang sudah memiliki pasar induk sebagai pusat perbelanjaan yang ramai.
Dalam melaksanakan kegiatan jual-beli, selama ini masyarakat memanfaatkan dua pasar di kecamatan yang berbeda yakni Pasar Kota (Batang) dan Pasar Bandar. Tidak heran jika dua pasar ini mengalami perkembangan cukup pesat, tampak dari mobilitas ekonomi warga yang ramai setiap harinya.
Akibatnya, potensi ekonomi Kecamatan Wonotunggal akhirnya terserap ke kecamatan lain. Padahal secara ekonomis Kecamatan Wonotunggal sebenarnya tidak kalah dengan kecamatan lain, terutama hasil buminya. Potensi tersebut hanya bisa dikelola dengan baik jika kecamatan ini memiliki pasar sendiri.
Dengan memiliki pasar sendiri, aktivitas ekonomi masyarakat bisa berjalan lebih optimal dan efektif. Sebagian warga kecamatan bermukim di desa-desa kawasan perbukitan dan dikelilingi hutan. Mereka harus menempuh perjalanan cukup jauh jika hendak ke Pasar Bandar.
Pembangunan Pasar Wonotunggal perlu dilakukan lebih serius. Pro-kontra soal lokasi pasar sudah saatnya diakhiri agar para pengambil kebijakan lebih mudah menentukan sikap. Apapun statusnya (pasar desa atau pasar kecamatan) yang penting masyarakat memiliki sarana untuk mengembangkan potensi ekonomi yang dimiliki. Setidaknya, mereka tak perlu jauh-jauh mengunjungi pasar lain kecamatan jika jika sudah punya pasar sendiri.
Pasar Manis Ada alternatif yang lebih rasional jika pembangunan Pasar Wonotunggal gagal, yakni dengan memanfaatkan Pasar Manis secara optimal. Menjelang hari pasaran (Manis), pengunjung pasar ini cukup banyak. Hanya saja, sarana dan prasarananya belum memadai.
Pasar yang tumbuh dari kreativitas masyarakat ini perlu dihidupkan (dikembangkan) dengan menambah unit-unit perbelanjaan yang lebih representatif. Saat ini tempat berjualan masih sangat sederhana dengan menfungsikan bangunan lama yang sudah mulai lapuk.
Dilihat dari kondisi saat ini, Pasar Manis menunjukkan prospek yang cukup bagus sebagai pasar induk di kecamatan. Belakangan ini muncul tanda-tanda perkembangan yang cukup menggembirakan, setidaknya bisa dilihat dari antusiasnya warga setempat dalam membangun unit-unit usaha baru secara mandiri.
Hadirnya sebuah pasar memang tidak harus menunggu uluran tangan pemerintah. Masyarakatlah yang bergerak membangun pasar sesuai kemampuan yang ada. Itulah sisi budaya yang tak boleh diabaikan. Bahwa masyarakat memiliki kreativitas dan budaya kerja dengan menciptakan peluang-peluang usaha yang rasional. Masyarakat Wonotunggal secara diam-diam namun penuh kesungguhan berusaha membangun wadah ekonomi (pasar) sesuai keyakinannya sendiri.
Kebetulan letak bangunan pasar (yang kini mangkrak) dengan lokasi Pasar Manis tidak terlalu jauh, hanya berjarak sekitar 1 kilometer. Kenyataan yang terjadi saat ini, Pasar Wonotunggal masih sepi. Los-los yang dibangun belum difungsikan, bahkan sebagian bangunan mulai rusak. Sementara Pasar Manis dengan kekuatan tradisionalnya justru menunjukkan tanda-tanda kehidupannya. Sayang keramaiannya hanya terjadi lima hari sekali. (10)
— Kawe Shamudra, aktivis Komunitas Pena Batang
Wacana Suara Merdeka 4 Mei 2010