Oleh Asep Sumaryana
Program Desa Membangun Menuju Desa Peradaban (Desa Peradaban) di Jawa Barat cukup menarik. Dengan dana seratus miliar rupiah untuk seratus desa yang dibagi rata bisa mempercepat pembangunan desa. Asal saja pembangunan tersebut tidak merusak kehidupan desa dalam jangka panjang, untuk itu kehadiran Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) Jabar perlu ditempatkan pada upaya tersebut dengan penyusunan petunjuk teknis serta melibatkan tokoh masyarakat dan akademisi sebagai tim pendamping (”PR”, 3/5).
Desa yang terpilih memenuhi kategori BPMPD seperti mempunyai sumber daya alam yang dapat dikembangkan serta potensi sumber daya manusia (SDM), memiliki akses transportasi, memiliki profil desa dua tahun terakhir, RPJMDES serta pernah menjadi juara lomba desa di kabupatennya. Dari kategori tersebut bisa saja Desa Peradaban diartikan sebagai penghargaan kepada desa yang selama ini memiliki aktivitas tersebut di atas sehingga ke depan lebih banyak desa yang mengikuti jejak pemenang Desa Peradaban pada tahun ini.
”Rebutan”
Bisa saja rebutan antarpemangku kepentingan desa terjadi. Masing-masing pengurus RW maupun RT bisa saling berebut dengan menetapkan wilayahnya menjadi patut menerima bantuan tersebut. Mungkin saja akhirnya dana dibagi sesuai dengan ajuan dari para pemangku kepentingan. Hanya, hal seperti itu tidak selamanya efektif untuk membangun desa secara keseluruhan. Pencocokan usulan dengan lapangan perlu ditempuh dan dijelaskan oleh tim pendamping agar setiap pemangku kepentingan menjadi mengerti.
Untuk keperluan itu, penyusunan rencana bersama menjadi penting dengan mendudukkan semuanya dengan derajat yang sama. Usulan program dari masing-masing RT/RW dirembukkan dan diwadahi oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Kehadiran tim menjadi penting untuk memediasi seluruh usulan dan memberikan pertimbangan objektif, analitis, dan praktis. Untuk menyinkronisasikannya, kunjungan lapangan secara bersama dilakukan untuk memperoleh gambaran utuh yang dimengerti bersama.
Dengan pemahaman yang utuh, rebutan bisa dikurangi. Yang kalah dalam usulan programnya tidak sakit hati, tetapi menjadi lebih memahami cara menyusun program dan memetakan permasalahan lapangan. Bisa saja program penguatan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) ditolak jika setelah diamati dan disurvei ada program yang lebih penting untuk kemajuan pembangunan desa. Mungkin juga jalan desa yang menghubungkan desa dengan jalur utama ekonomi menjadi pilihan desa tertentu agar arus penjualan produksi petani menjadi lebih cepat.
Dengan semangat kebersamaan, egoisme sektoral di masing-masing pemangku kepentingan desa perlu dicairkan. Komunikasi yang dilakukan dengan bantuan tim harus mampu menjadikan seluruh pemangku kepentingan menjadi satu dalam menyukseskan program apa pun yang disepakati bersama. Oleh karena itu, pemetaan potensi dan permasalahan perlu disusun sebagaimana layaknya sistem yang bertautan satu dengan lainnya. Dengan demikian, semua diminta pertimbangan untuk memulai menggarap subsistem mana yang paling krusial. Mungkin diskusi menjadi hangat, tetapi kapasitas tim yang memadai bisa mendorong semua memahami dan mendukungnya.
Penyelarasan
Konsep Desa Peradaban tidak boleh mendorong desa penerima bantuan menjadi kehilangan jati dirinya. Oleh karena itu, baik juknis maupun tim pendamping perlu memahami dan concern terhadap budaya lokal desa setempat. Penyelarasan juknis dengan kondisi setempat perlu diperhatikan terlebih dahulu agar desa tidak dieksploitasi untuk keberhasilan dalam jangka pendek dan merugi dalam jangka panjang. Keharmonisan masyarakat dan keinginannya tetap tinggal di desa menjadi penting dalam merealisasikan programnya. Dengan demikian, Desa Peradaban menjadi desa ideal yang mampu mengurangi arus urbanisasi sekaligus memperkuat potensi desa yang ada.
Menggali kekuatan masyarakat desa tidak mudah jika dominasi pemerintah atau pemilik dana lebih besar. Masyarakat akan tiarap dengan kondisi itu. Ujungnya keberhasilan bisa semu yang berujung kerusakan dan pembunuhan potensi masyarakat dalam jangka panjang. Menempatkan masyarakat desa sebagai subjek lebih penting dengan mendengarkan beragam masukan dan keluhannya. Untuk sampai pada suasana tersebut, tempat musyawarah mesti diubah dari yang formal ke informal. Suasana masjid atau riungan warga, misalnya, bisa dimanfaatkan guna meminimalisasi tekanan psikologis peserta. Untuk itu forum rembukan ini bisa berjalan fair dan tidak dijadikan media pemaksaan kehendak.
Pelaksanaan musyawarah setidaknya membuka wawasan baru bagi masyarakat desa untuk mengekspresikan kemampuannya. Bisa jadi idenya lebih brilian ketimbang pejabat pemerintah terkait. Dengan demikian, kontribusi masyarakat menjadi lebih besar. Hanya diperlukan kecerdikan tim untuk memilih dan meyakinkan agar program yang diterima adalah yang terbaik. Beragamnya ide semakin memperbanyak pilihan dalam pemanfaatan dana program. Di samping itu, akan semakin banyak anggota masyarakat yang semakin peduli dengan desanya.
Kesepakatan yang dibuat perlu disosialisasikan secara transparan agar masyarakat mampu memantau dan melakukan koreksi dalam pelaksanaan. Kondisi ini perlu dibangun agar masyarakat merasa diperlakukan manusiawi. Kenyamanan masyarakat terlibat dalam program Desa Peradaban bisa mendorong peningkatan kesehatannya, usahanya, serta kesadaran untuk meningkatkan pendidikannya. Dengan demikian, IPM bisa digarap secara otomatis tanpa harus meninggalkan desanya. Oleh karena itu, Desa Peradaban akan menjadi pendorong masyarakat desa untuk mencintai desa dan kerasan tinggal di desanya ketimbang merantau ke perkotaan.
Keberhasilan program Desa Peradaban akan ditentukan oleh seberapa banyak masyarakat desa terlibat dan merasa memiliki desanya. Mungkin saja pada tahap pertama ada yang gagal dan perlu disadari bersama agar jangan sampai dikaitkan dengan prestise jabatan tertentu. Evaluasi akan menjadi efektif jika kelemahan dan kesalahan dikomunikasikan secara terbuka agar koreksian bisa datang dari banyak kalangan untuk memperbaiki program tersebut di masa mendatang demi kelangsungan hidup anak-cucu desa.***
Penulis, Sekretaris LP3AN dan Lektor Kepala pada Jurusan llmu Administrasi Negara FISIP Unpad.
Penulis:Program Desa Membangun Menuju Desa Peradaban (Desa Peradaban) di Jawa Barat cukup menarik. Dengan dana seratus miliar rupiah untuk seratus desa yang dibagi rata bisa mempercepat pembangunan desa. Asal saja pembangunan tersebut tidak merusak kehidupan desa dalam jangka panjang, untuk itu kehadiran Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) Jabar perlu ditempatkan pada upaya tersebut dengan penyusunan petunjuk teknis serta melibatkan tokoh masyarakat dan akademisi sebagai tim pendamping (”PR”, 3/5).
Desa yang terpilih memenuhi kategori BPMPD seperti mempunyai sumber daya alam yang dapat dikembangkan serta potensi sumber daya manusia (SDM), memiliki akses transportasi, memiliki profil desa dua tahun terakhir, RPJMDES serta pernah menjadi juara lomba desa di kabupatennya. Dari kategori tersebut bisa saja Desa Peradaban diartikan sebagai penghargaan kepada desa yang selama ini memiliki aktivitas tersebut di atas sehingga ke depan lebih banyak desa yang mengikuti jejak pemenang Desa Peradaban pada tahun ini.
”Rebutan”
Bisa saja rebutan antarpemangku kepentingan desa terjadi. Masing-masing pengurus RW maupun RT bisa saling berebut dengan menetapkan wilayahnya menjadi patut menerima bantuan tersebut. Mungkin saja akhirnya dana dibagi sesuai dengan ajuan dari para pemangku kepentingan. Hanya, hal seperti itu tidak selamanya efektif untuk membangun desa secara keseluruhan. Pencocokan usulan dengan lapangan perlu ditempuh dan dijelaskan oleh tim pendamping agar setiap pemangku kepentingan menjadi mengerti.
Untuk keperluan itu, penyusunan rencana bersama menjadi penting dengan mendudukkan semuanya dengan derajat yang sama. Usulan program dari masing-masing RT/RW dirembukkan dan diwadahi oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Kehadiran tim menjadi penting untuk memediasi seluruh usulan dan memberikan pertimbangan objektif, analitis, dan praktis. Untuk menyinkronisasikannya, kunjungan lapangan secara bersama dilakukan untuk memperoleh gambaran utuh yang dimengerti bersama.
Dengan pemahaman yang utuh, rebutan bisa dikurangi. Yang kalah dalam usulan programnya tidak sakit hati, tetapi menjadi lebih memahami cara menyusun program dan memetakan permasalahan lapangan. Bisa saja program penguatan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) ditolak jika setelah diamati dan disurvei ada program yang lebih penting untuk kemajuan pembangunan desa. Mungkin juga jalan desa yang menghubungkan desa dengan jalur utama ekonomi menjadi pilihan desa tertentu agar arus penjualan produksi petani menjadi lebih cepat.
Dengan semangat kebersamaan, egoisme sektoral di masing-masing pemangku kepentingan desa perlu dicairkan. Komunikasi yang dilakukan dengan bantuan tim harus mampu menjadikan seluruh pemangku kepentingan menjadi satu dalam menyukseskan program apa pun yang disepakati bersama. Oleh karena itu, pemetaan potensi dan permasalahan perlu disusun sebagaimana layaknya sistem yang bertautan satu dengan lainnya. Dengan demikian, semua diminta pertimbangan untuk memulai menggarap subsistem mana yang paling krusial. Mungkin diskusi menjadi hangat, tetapi kapasitas tim yang memadai bisa mendorong semua memahami dan mendukungnya.
Penyelarasan
Konsep Desa Peradaban tidak boleh mendorong desa penerima bantuan menjadi kehilangan jati dirinya. Oleh karena itu, baik juknis maupun tim pendamping perlu memahami dan concern terhadap budaya lokal desa setempat. Penyelarasan juknis dengan kondisi setempat perlu diperhatikan terlebih dahulu agar desa tidak dieksploitasi untuk keberhasilan dalam jangka pendek dan merugi dalam jangka panjang. Keharmonisan masyarakat dan keinginannya tetap tinggal di desa menjadi penting dalam merealisasikan programnya. Dengan demikian, Desa Peradaban menjadi desa ideal yang mampu mengurangi arus urbanisasi sekaligus memperkuat potensi desa yang ada.
Menggali kekuatan masyarakat desa tidak mudah jika dominasi pemerintah atau pemilik dana lebih besar. Masyarakat akan tiarap dengan kondisi itu. Ujungnya keberhasilan bisa semu yang berujung kerusakan dan pembunuhan potensi masyarakat dalam jangka panjang. Menempatkan masyarakat desa sebagai subjek lebih penting dengan mendengarkan beragam masukan dan keluhannya. Untuk sampai pada suasana tersebut, tempat musyawarah mesti diubah dari yang formal ke informal. Suasana masjid atau riungan warga, misalnya, bisa dimanfaatkan guna meminimalisasi tekanan psikologis peserta. Untuk itu forum rembukan ini bisa berjalan fair dan tidak dijadikan media pemaksaan kehendak.
Pelaksanaan musyawarah setidaknya membuka wawasan baru bagi masyarakat desa untuk mengekspresikan kemampuannya. Bisa jadi idenya lebih brilian ketimbang pejabat pemerintah terkait. Dengan demikian, kontribusi masyarakat menjadi lebih besar. Hanya diperlukan kecerdikan tim untuk memilih dan meyakinkan agar program yang diterima adalah yang terbaik. Beragamnya ide semakin memperbanyak pilihan dalam pemanfaatan dana program. Di samping itu, akan semakin banyak anggota masyarakat yang semakin peduli dengan desanya.
Kesepakatan yang dibuat perlu disosialisasikan secara transparan agar masyarakat mampu memantau dan melakukan koreksi dalam pelaksanaan. Kondisi ini perlu dibangun agar masyarakat merasa diperlakukan manusiawi. Kenyamanan masyarakat terlibat dalam program Desa Peradaban bisa mendorong peningkatan kesehatannya, usahanya, serta kesadaran untuk meningkatkan pendidikannya. Dengan demikian, IPM bisa digarap secara otomatis tanpa harus meninggalkan desanya. Oleh karena itu, Desa Peradaban akan menjadi pendorong masyarakat desa untuk mencintai desa dan kerasan tinggal di desanya ketimbang merantau ke perkotaan.
Keberhasilan program Desa Peradaban akan ditentukan oleh seberapa banyak masyarakat desa terlibat dan merasa memiliki desanya. Mungkin saja pada tahap pertama ada yang gagal dan perlu disadari bersama agar jangan sampai dikaitkan dengan prestise jabatan tertentu. Evaluasi akan menjadi efektif jika kelemahan dan kesalahan dikomunikasikan secara terbuka agar koreksian bisa datang dari banyak kalangan untuk memperbaiki program tersebut di masa mendatang demi kelangsungan hidup anak-cucu desa.***
Penulis, Sekretaris LP3AN dan Lektor Kepala pada Jurusan llmu Administrasi Negara FISIP Unpad.
opini pikiran rakyat 04 mei 2010