Kementerian Pertanian baru-baru ini mencanangkan swasembada daging sapi pada 2014. Untuk memenuhi swasembada ini, sapi potong sebanyak 14,23 juta ekor diperlukan setiap tahun. Jumlah ini tidak termasuk anak sapi yang belum cukup beratnya untuk disembelih serta sapi betina yang masih produktif. Dengan demikian, pada 2014 populasi sapi akan menjadi 30 juta ekor. Lalu, apa efek dari kotoran yang dihasilkan dari jutaan hewan itu terhadap lingkungan, khususnya terkait dengan emisi gas rumah kaca?
Salah satu komponen gas rumah kaca adalah gas metana yang menyumbang 15% dari seluruh komponen penyebab pemanasan global. Sekitar 50% emisi gas metana dihasilkan dari kegiatan pertanian, dengan 20%-60% berasal dari peternakan, terutama ternak sapi. Bertambahnya populasi sapi akan meningkatkan jumlah kotoran sapi. Demikian pula gas metana juga akan bertambah karena kotoran sapi mengandung gas metana. Bila kotoran sapi hanya ditumpuk dan gas metananya tidak 'ditangkap', akan meningkatkan sumbangan gas rumah kaca karena gas metana akan terlepas ke udara.
Saat ini masih banyak sapi yang dipelihara secara tradisional, yaitu sapi yang dilepas berkeliaran sehingga mudah tertular penyakit, peningkatan bobot lambat, mudah dicuri, serta kotorannya tersebar. Akibatnya, gas metana dari kotoran terlepas ke udara bebas sehingga akan menambah kontribusi gas rumah kaca. Seharusnya pemerintah melarang cara pemeliharaan tradisional ini dan menindak tegas pemilik ternak.
Dalam satu hari rata-rata seekor sapi menghasilkan 23,39 kg kotoran. Bila kotoran dicampur air, kemudian disimpan di kantung plastik atau tangki yang tertutup rapat, setelah dua minggu akan terbentuk gas metana yang cukup untuk menyalakan kompor selama 3 jam. Ini sesuai dengan kebutuhan memasak satu hari sebuah rumah tangga sederhana. Cara 'menangkap' gas metana yang sederhana ini telah sukses dilakukan para pemelihara sapi perah di daerah Lembang sehingga dapat juga diterapkan di lingkungan rumah tangga sederhana.
Pemanfaatan gas metana di lingkungan rumah tangga akan meniadakan penggunaan minyak tanah dan kayu bakar untuk memasak sehingga subsidi pemerintah berkurang, Demikian pula pepohonan akan terjaga. Manfaat ini akan sangat berarti untuk Indonesia bila pengolahan kotoran sapi dilakukan jutaan rumah tangga di perdesaan.
Pembakaran gas metana yang sempurna hanya akan menghasilkan panas yang dapat dimanfaatkan dan uap air serta gas karbondioksida yang emisinya dapat diserap oleh pepohonan sehingga tidak ada gas metana yang akan terlepas ke udara. Setelah gas metana di dalam tangki habis, kotoran yang tersisa dapat digunakan sebagai pupuk organik karena mengandung nitrogen, fosfat, dan kalium yang tinggi.
Pemerintah daerah bersama swasta sebaiknya mendirikan badan usaha di beberapa lokasi yang cocok untuk mengolah gas metana, membiakkan, dan memelihara bayi sapi. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, sebaiknya satu ekor anak sapi yang telah disapih digaduhkan kepada satu keluarga di desa terdekat sehingga pada tahun 2014 akan ada belasan juta orang penggaduh.
Badan usaha ini berkewajiban mengolah kotoran dari induk dan anak sapi yang dirawat. Gas metana dan pupuk organik yang didapatkan jumlahnya akan sangat banyak sehingga diperlukan cara yang jauh lebih baik daripada cara yang dilakukan penggaduh.
Gas metana yang cukup banyak dapat digunakan menjadi bahan bakar mesin pembangkit listrik, seperti yang dilakukan peneliti bioelektrik dari Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronika (Telimek) LIPI. Sebuah generator pembangkit listrik berkapasitas 10 kWh di Kecamatan Cilengkrang, Jawa Barat, hanya menggunakan 30% solar karena 70%-nya digantikan gas dari kotoran sapi. Pupuk organik dapat dijual atau digunakan sendiri untuk menyuburkan tanaman pakan seperti rumput atau yang lainnya.
Menekan emisi gas
Hubungan pengolahan gas metana erat kaitannya dengan penyediaan daging sapi dalam negeri. Agar swasembada daging sapi dapat menekan kontribusi emisi gas metana, diperlukan tiga hal. Pertama, jika penggaduh yang jumlahnya belasan juta terbukti meningkat kesejahteraan, bukti ini akan menyebabkan banyak orang ingin menjadi penggaduh. Kedua, pelaksanaan peraturan yang mengharuskan ternak dikandangkan sehingga semua gas metana dari kotoran sapi yang dihasilkan dapat 'ditangkap'. Ketiga, pencerdasan penduduk desa melalui sosialisasi tentang cara memelihara sapi yang terbaik dan pemanfaatan kotoran sapi dengan optimal.
Pembentukan badan usaha dan sosialisasi sebaiknya mulai dipersiapkan dengan baik tahun ini. Sementara pelaksanaan peraturan sebaiknya didahului dengan sosialisasi dan pendekatan yang persuasif, yang juga dilaksanakan tahun ini. Langkah berikutnya, badan usaha sebaiknya telah memelihara sapi betina dan melakukan kawin suntik, terus melaksanakan sosialisasi dengan gencar, dan menerapkan peraturan dengan tegas. Keberhasilan melaksanakan tiga komponen ini akan sangat besar manfaatnya dalam skala nasional karena dilakukan dalam jumlah yang sangat besar.
Untuk mencapai swasembada daging sapi, akan diperlukan peningkatan jumlah sapi sehingga kontribusi emisi gas metana dari sapi akan meningkat. Gagasan dalam tulisan ini diharapkan dapat menurunkan kontribusi gas metana dari sapi. Harapan ini dapat dicapai karena tidak ada lagi kotoran sapi yang tidak diolah sehingga semua gas metana dari kotoran dapat ditangkap dan dibakar. Gagasan pengolahan kotoran dapat juga diterapkan untuk kerbau, kambing, babi, dan kuda karena kotoran dari hewan-hewan ini juga menghasilkan gas metana.
Oleh Harry Jusron, Kepala Bidang Indikator Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional Kementerian Riset dan Teknologi
opini media indonesia 04 mei 2010
03 Mei 2010
» Home »
Media Indonesia » Swasembada Daging Sapi dan Efek Lingkungan
Swasembada Daging Sapi dan Efek Lingkungan
Thank You!