Konon Indonesia adalah negara yang paling hebat di dalam tidakkejujuran di dunia, bahkan negara terkorup pun disematkan. Sebuah lembaga survei memberikan hasil investigasinya bahwa korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua. Karena itu dari tahun ke tahun posisi Indonesia sebagai negara terkorup selalu menduduki peringkat 10 besar dunia dalam indeks persepsi korupsi (CPI) menurut data dari Transperenscy International. Sakit sosial yang melanda bangsa ini telah melewati nalar kemanusiaan kita sebagai manusia yang beradab. Di tandai dengan fenomena markus, koruptor, dan sebagainya.
Salahnya Konstruksi Pendidikan
Negara ini tidak pernah mengajarkan korupsi. Tidak ada kurikulum mata ajar korupsi di sekolah mana pun di negeri ini. Lantas mengapa fenomena ini mencuat. Markus-markus dan koruptor semakin lihai memerankan perannya dan secara kuantitas semakin meningkat.
Tidak ada yang salah dengan pendidikan, karena sejatinya pendidikan menghasilkan manusia-manusia yang cerdas, bermoral dan berakhlak mulia. Hanya saja, berbagai kebijakan pendidikan, seperti kurikulum, evaluasi pembelajaran, standar pendidikan, dan sertifikasi guru belum menyentuh substansi yang dibutuhkan negeri ini. Ditambah lagi kebijakan tambal sulam yang tidak jelas grand design-nya. Contoh kasus kebijakan Ujian Nasional (UN).
Pelaksanaan UN juga telah mengubah makna pendidikan yang sebenarnya, hal ini dapat dilihat pada sekolah-sekolah yang sibuk mengadakan bimbingan-bimbingan belajar tambahan pelajaran yang akan diuji UN serta pelatihan soal-soal ujian yang sudah pernah keluar di UN sebelumnya. Ini menandakan bahwa kosentrasi telah beralih fungsi kepada sekadar hanya lulus UN saja. Pada bimbingan belajar hanya berlatih mengerjakan soal ujian saja, tidak ada bimbingan pengembangan kreativitas pola berpikir, rasa ingin tahu, wawasan, sikap, dan moral. Hal ini cenderung meninggalkan tujuan pendidikan itu sendiri.
UN hanya mengedepankan sisi kognitif semata yang semestinya melibatkan aspek psikomotorik dan afeksi. Dengan kata lain, UN hanya mengedepankan nilai-nilai materialistik yang berpotensi menjauhkan anak didik dari nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. UN juga menjadikan Peserta didik dan Guru mengambil jalan pintas untuk dinyatakan Lulus (membeli lembar jawaban, lembar contekan, dan lain-lain). Di lain pihak guru sibuk dengan sertifikasi. Dan yang terpenting pula baginya adalah anak didiknya lulus dengan UN.
Belum lagi jika berbicara tentang dampak negatif UN, di mana anak-anak stres, bunuh diri, membakar sekolahnya sendiri sebagai luapan kekecewaan. Dan masih banyak perilaku-perilaku lainnya misalnya Perilaku Bermasalah (problem behavior), perilaku menyimpang (behaviour disorder), penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment), perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder).
Perilaku-perilaku negatif tersebut tidak ada yang diajarkan di sekolah. Tetapi konstruksi kebijakan pendidikan kita lebih mengedepankan kualitas angka dan mengabaikan sisi-sisi lainnya sehingga melahirkan perilaku-perilaku negatif tersebut. Pendidikan hanya dijadikan barang komoditas. Pendidikan tidak dijadikan sarana dan upaya pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas baik dari aspek akademis maupun moral.
Pembenahan Moralitas
Kondisi objektif pendidikan nasional memerlukan perhatian dan penanganan bersama. Besarnya populasi usia anak sekolah sebagai generasi andalan bagi kemajuan bangsa, baik populasi yang terdiri dari pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Kultur pendidikan kita yang semakin bobrok dan semakin jauh dari norma dan tatanan moral, secara perlahan namun pasti akan menjelma bom waktu yang menggiring bangsa ini ke lembah keterbelakangan dan jurang kehancuran.
Jika hal ini dibiarkan terus-menerus maka bukan tidak mungkin generasi ke depan adalah generasi-generasi markus pengemplang pajak dan koruptor-koruptor berdasi. Bila semenjak kecil dan remaja, anak didik diajarkan tidak bekerja keras, mendapatkan segala sesuatunya dengan instant; mencontek atau melakukan ketidakjujuran maka tak ayal lagi akan muncul markus-markus baru. Koruptor-koruptor yang memakan uang rakyat, dan penjahat-penjahat intelektual lainnya. Generasi penerus yang gemar memilih jalan pintas tanpa memahami makna proses. Dan kepribadian anak didik yang perampok, pencuri dan pembunuh nurani akan dengan sendirinya merobohkan moral bangsa dan menggadaikan masa depan negeri ini.
Mempertanyakan kembali moralitas kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, mutlak dilakukan. Kita tidak perlu merasa rendah diri. Apalagi merasa malu untuk memperbaiki keadaan yang sudah sedemikian rusaknya. Sebaiknya, kita merasa kehilangan kehormatan. Ketika bangsa lain mengarahkan telunjuk dengan sinis kepada kita sebagai bangsa yang tidak mampu memperbaiki diri. Mereka akan bertanya di mana nilai-nilai dan pranata masyarakat kita sebagai bangsa yang diwarnai adat ketimuran.
Sekurang-kurangnya ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bekal untuk memperbaiki kondisi saat ini. Pertama, kebijakan internal sekolah, yang meliputi pembaruan sistem pendidikan di sekolah, mulai tingkat dasar sampai dengan tingkat lanjutan atas. Pendidikan moral dan akhlak harus menjadi acuan untuk membentuk moral anak didik. Pembentukan moral sejak awal ditegaskan untuk menjadikan anak sebagai manusia merdeka, bertanggung jawab dan berakhlak. Bukan untuk mencetak anak sesuai kehendak kekuasaan.
Salah satu cara lain yang tidak bisa dijauhkan adalah pendidikan lingkungan keluarga. Peran agama dan keyakinan lebih mengena ketika disampaikan dalam wujud pengertian-pengertian orang tua kepada anak. Tetapi hal inipun menjadi kendala ketika orang tua kurang memperhatikan anak atau tidak dapat memberi keteladanan yang sebagaimana mestinya.
Hari Pendidikan Nasional adalah saat yang tepat untuk membenahi semua ini. Konstruksi pendidikan yang ajeg berdasarkan visi dan misi yang jelas merupakan hal mutlak. Visi tersebut sebagai ruh melaksanakan berbagai kebijakan yang ada sehingga tidak keluar rel. Pemerintah dalam hal ini harus memfasilitasi pembenahan moralitas tersebut dan tidak membiarkan masyarakat melakukan pembenahan dengan gayanya sendiri. Sehingga tidak ada lagi moral yang tercabik di masa mendatang.
Herlini Amran, MA
Anggota Komisi X FPKS, Dapil Kepri
opini okezone.com 03 mei 2010
03 Mei 2010
Korupsi dan Pendidikan Moral yang Tercabik
Thank You!