25 Mei 2010

» Home » Kompas » Potret Para Korban

Potret Para Korban

Di mata banyak orang yang melintasi kawasan padat lalu lintas depan Istana Negara, rombongan orang berbaju hitam yang berdiri di sana setiap Kamis sore mungkin terlihat sebagai pengunjuk rasa yang bikin macet. Bedanya, rombongan yang kebanyakan perempuan setengah baya itu tidak gaduh.
Di sana, mereka berdiri selama satu jam tanpa bicara, dan membiarkan potret dalam gendongan mereka menyampaikan pesan. Pada potret-potret itu terlihat wajah anak atau suami mereka yang hilang diculik atau dibunuh dalam berbagai peristiwa kekerasan politik di negeri ini.
Pekan ini, di tengah acara-acara yang makin tipis tersisa untuk memperingati 12 tahun Reformasi, aksi itu memasuki Kamis ke-160. Kita mengerti, diam adalah isyarat bagi kian tipisnya napas menghadapi pemerintah yang senang menebar omong, tetapi bebal ketika tiba waktu untuk bertindak. Di atas pengalaman keluarga korban, mimpi Reformasi pernah menemukan peluang untuk jadi gerakan. Namun, ketika politik kembali lagi menjadi operasi persekongkolan memperebutkan apa saja yang bisa dijarah, tentu kini bukan saatnya meratap. Inilah waktu untuk diam berpikir, apa yang sebetulnya sedang dipertaruhkan di negeri ini?

 

Hantu Reformasi
Dua belas tahun lalu, Reformasi diterima sebagai proyek bersama membentuk kembali Indonesia sebagai tatanan politik yang demokratis, adil, hormat pada hukum dan hak asasi manusia, serta bersih dari korupsi. Dengan kata lain, melalui peristiwa Reformasi, politik mau dikembalikan ke tindakan untuk menjelmakan apa yang baik bagi kehidupan bersama.
Berbeda dengan revolusi, reformasi bertumpu di atas urusan menjaga stabilitas agar pembangunan dapat berjalan. Masalahnya, ketika reformasi diciutkan ke semata-mata penyusunan konstitusi, penataan birokrasi dan institusi, kita seperti membangun istana megah tetapi kelakuan penghuninya tidak berubah. Kemegahan istana beralih menjadi sarang operasi tukar tambah tempat kebaikan bersama, stabilitas, dan pembangunan diputar balik dengan cara-cara manipulatif. Sedikitnya ada dua contoh paradoksal bagi gejala ini.
Contoh pertama terkait dengan pelanggaran hak-hak sipil-politik. Dalam bingkai penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, stabilitas disamakan dengan pengabaian dan pelupaan. Alasannya macam-macam. Alasan versi Menhuk dan ham adalah menghindari ”gaduh politik”. Setelah menolak tuntutan keluarga korban penghilangan paksa 1997-1998 dan Tragedi Mei 1998, ia melompat ke tawaran kompensasi. Kendati terdengar sebagai solusi praktis bagi banyak korban yang kondisi ekonominya carut-marut, itulah cara murah untuk mengubur kejahatan.
Para politisi menggunakan alasan serupa, berkelit dari upaya lanjut menangani kasus korupsi, yang sebelumnya gigih mereka usut. Hanya saja, diskriminasi sikap masyarakat terhadap dua pokok Reformasi, yaitu korupsi dan HAM, punya dampak tak kecil. Perhatian, atau boleh jadi keberanian masyarakat menanggapi kasus korupsi jauh lebih besar ketimbang kasus-kasus HAM. Akibatnya, ”gaduh politik” diatasi secara sembunyi-sembunyi. Mereka menyelinap ke pasar gelap, tukar tambah kepentingan partai.
Contoh kedua menyentuh hak ekonomi-sosial-budaya. Karena banyak politisi suka membanggakan Indonesia sebagai negara agraris, kita andaikan dalam agenda kebaikan bersama yang makin sering mereka omongkan ada kebijakan untuk menyejahterakan petani. Bukankah sepertiga warga negara ini adalah petani? Faktanya, produksi pangan meningkat, tetapi petani kian miskin (Kompas, 26/4/2010). Di belakang fakta itu, beroperasi deretan permainan kebijakan yang menguntungkan pemilik modal. Petani tambah miskin karena makin tak punya kebebasan menjangkau akses yang memampukan mereka sebagai petani.
Para korban dan orang miskin akan selalu bersama kita. Masalahnya, politik sibuk dengan pesta serba mewah yang tak punya kaitan dengan urusan orang miskin dan para korban. Tak terkait dengan 35 juta warga miskin atau 7,7 juta anak balita kurang gizi, apalagi 3 juta korban macam- macam bencana atau tragedi politik.
Tentulah kejujuran adalah tabu bagi politik dalam coraknya sekarang. Karena itulah, politik juga tak lagi punya kaitan dengan alasan mengapa kita perlu ”politik”. Itulah mengapa politik mudah melorot jadi operasi mafia. Padahal, para korban dan warga miskin itulah elemen politis kunci paling awal yang memicu reformasi. Di atas kepedulian terhadap kondisi hidup-mati warga miskin dan geram atas ketidakadilan yang meluas, jutaan orang menyatu dalam ”Gerakan 1998”. Di atas ceceran darah kematian para korban, tokoh-tokoh politik ataupun mahasiswa berani menamakan peristiwa itu Reformasi.
Mengenai hari-hari di Mei 1998, pada mulanya adalah keberanian dalam perangkap kinerja rezim yang telah berkarat. Selebihnya, panggilan bagi upaya merawat. Namun, karakter politik sesudahnya melaju tanpa keberanian ataupun agenda merawat. Ini penjara kita hari ini: persoalan baru muncul menekan dengan kesan kemendesakan, sebelum urgensi raksasa lama diselesaikan. Politik jadi kutu loncat sejarah, dan realisme bukan lagi nama bagi pengakuan bahwa kita salah, melainkan pembunuhan massal daya kreatif sendiri.
Menolak takluk
Apa boleh buat. Ketika daya mencerna peristiwa kian lemah, citra jadi lebih penting ketimbang peristiwa nyata. Asal bisa meneruskan informasi, asal bisa omong sedikit tentang informasi yang baru saja tiba di blackberry, orang merasa sudah cukup bekerja. Melalui kawanan tindak itu pula, gerak politik kita pada akhirnya berdiri di atas kekosongan yang gaduh.
Persoalannya sekarang, bagaimanakah harapan para korban dapat ditampung di antara kegaduhan dan kekosongan? Bahwa pertanyaan ini muncul, tentu bukan karena kita tiba-tiba percaya ”yang gaduh” sanggup memahami ”yang diam”, seperti halnya kesangsian maha besar bahwa corak politik gaduh dewasa ini sanggup memahami protes diam kerabat para korban yang minggu ini telah memasuki Kamis ke-160. Pertanyaan itu muncul dari alasan yang lebih sederhana, tapi sangat politis.
Para pelanggar HAM boleh berterima kasih pada waktu yang murah hati, yang selalu memindah berbagai tragedi kemarin ke bawah lapis-lapis peristiwa yang terdengar mendesak hari ini. Mereka bisa pongah menepuk dada: untuk apa mengurus masa lalu yang segera akan lenyap ke balik kabut waktu? ”Kami mau melawan lupa,” kata Bu Marsih dan Suciwati. Bu Marsih adalah ibu dari Wawan, mahasiswa yang ditembak mati dalam Tragedi Semanggi I, dan Suciwati adalah istri almarhum Munir.
By default, korban dan orang miskin dianggap sebagai kelompok yang selalu diam. Akan tetapi, persis karena itu, politik yang tidak mau bersentuhan dengan korban dan dengan solusi bagi ketidakadilan yang mereka tanggung telah kehilangan alasan adanya. Kini, politik negeri ini gaduh dengan urusan koalisi, atau kesibukan melancarkan jargon ”Restorasi Reformasi”. Silakan berkoalisi, dan silakan juga merestorasi reformasi. Namun, potret para korban yang berarak diam setiap Kamis di depan Istana Negara adalah salah satu tolok ukurnya. Mereka adalah titik berangkat mengapa kita butuh politik. Maka, politik yang tidak mendatangi mereka dengan tangan keadilan dapat dikatakan hanya politik para petualang bayaran. Tidak lebih, dan tidak kurang.
Karlina Supelli Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta


Opini Kompas 26 Mei 2010